Follow us:

Benang Kusut Label ‘Radikal’ dan Pembelahan Masyarakat

DARUSSALAM.ID, Jakarta – Palu itu akhirnya diketok. Surat yang diketok oleh Direktur Jenderal Direktur KSKK Madrasah Kementerian Agama RI itu memutuskan implementasi Pedoman Kurikulum Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab di Mardarah dan KMA. Poin kontroversial yang diputuskan antara lain terkait pembahasan Pemerintahan Islam (Khilafah) dan Jihad yang tercantum di KMA 165 tahun 2014 dinyatakan tidak berlaku dan diperbaiki dalam KMA 183 tahun 2019.

Selanjutnya seluruh materi ujian yang mengandung konten khilafah dan jihad ditarik dan diganti sesuai ketentuan yang diatur. Seperti diketahui, Kemenag melakukan penulisan 155 buku pelajaran agama Islam dari jenjang kelas 1 sampai 12 karena kontennya sudah ketinggalan, sekaligus mencegah masuknya paham radikal melalui lingkungan sekolah.

Konten khilafah kini tak lagi masuk pelajaran fikih, tetapi Sejarah Kebudayaan Islam (SKI). Selain khilafah, penyesuaian juga dilakukan dalam materi pelajaran tentang jihad. Materi ini diharapkan tidak semata membahas perkembangan perjuangan Islam sejak zaman Nabi, Khulafaurrosidin, sampai ulama, tapi juga tentang dinamika jihad kontemporer.

Umar, Direktur KSKK Madrasah pada Kemenag menjelaskan bahwa setiap materi ajaran yang berbau tidak mengedepankan kedamaian, keutuhan dan toleransi juga dihilangkan. Dia menerangkan, dulu Rasulullah mengajarkan semangat perjuangan. Tapi semangat perjuangan dalam konteks saat ini tidak lagi model perjuangan perang. Nanti dalam sejarah kebudayaan Islam tetap membahas Rasul pernah berperang.  Umar juga menjelaskan di Indonesia khilafah ditolak, maka tidak mungkin mengajarkan materi yang konteksnya membangun khilafah yang bertentangan dengan Indonesia.

Kebijakan ini meski tidak mengejutkan, tetapi mengherankan. Menimbulkan tanda tanya besar. Mencermati penarikan mater ini, apakah berarti paham radikal masuk ke lingkungan sekolah melalui pelajaran agama yang telah dikeluarkan pemerintah sendiri? Sebab, jika tidak bermasalah, tentu konten tersebut tidak akan ditarik.

Apakah selama ini, puluhan tahun Indonesia berdiri, telah terjadi kesalahan penyampaian ajaran agama Islam yang justru dibuat sendiri oleh pemerintah? Apakah berderet Menteri Agama yang telah menjabat selama ini, telah lengah mengawasi bahkan menyetujui konten yang ternyata bermasalah? Pertanyaan ini harus diajukan, sebab alasan penarikan bukan hal sepele, yaitu “ajaran yang berbau tidak mengedepankan kedamaian, keutuhan dan toleransi juga dihilangkan.”

Penyesuaian bahan ajar tentu bukan hal yang aneh. Misalnya dalam pelajaran sejarah, ketika ada data yang lebih  valid maka lazim penyesuaian dilakukan. Atau dalam hal sains yang terus berkembang, satu materi bisa saja ditarik dan tidak berlaku lagi. Tetapi yang terjadi saat ini bukan demikian. Yang ditarik adalah materi dalam fikih. Ajaran fikih seperti jihad tidak berubah. Setidaknya tidak ada hal baru yang krusial dan diperbincangkan para ulama dunia saat ini dalam soal fikih seperti jihad atau khilafah. Berarti ada yang salah dalam fikih yang selama ini dipelajari.

Hal ini tentu sangat fatal. Entah selama ini Kemenag telah keliru menyampaikan materi fikih kepada masyarakat atau Kemenag kali ini merasa ajaran fikih yang diterima umat Islam secara global (misal dalam bab jihad) tidaklah benar, karena alasan berbau tidak damai dan tidak toleran tadi.

Jika hal ini benar, maka Kemenag Republik Indonesia telah melakukan satu tindakan yang luar biasa besar dampaknya. Ia hendak menyelisihi perkara fikih dengan para ulama lain di seluruh dunia mengenai bab ajaran fikih (misalnya dalam soal jihad).

Merujuk pada penjelasan Umar, berarti selama ini setidaknya Kementerian Agama termasuk Menteri Agama lalu, Lukman Hakim Saifuddin telah secara keliru memasukkan ajaran Agama Islam yang bertentangan dengan pandangan tentang Indonesia. Benarkah demikian? Kementerian Agama perlu menjawab dampak dari pernyataan dan kebijakan yang mereka telurkan sendiri.

Pemindahan materi khilafah dan jihad dari fikih ke sejarah pun akan menimbulkan efek domino. Murid perlahan akan menyerap bahwa materi seperti jihad hanyalah perkara sejarah belaka dan tidak ada implikasi terhadap ajaran agama dan kehidupan mereka saat ini. Bukan tidak mungkin jihad dianggap sebagai produk sejarah semata. Tanpa berpikir panjang, kebijakan ini memiliki dampak yang mengakar pada sejarah nasional Indonesia saat ini.

Siswa selanjutnya akan terheran-heran bagaimana bisa lahir Hari Santri yang dilatarbelakangi Resolusi Jihad K.H. Hasyim Asy’ari. Ajaran apa dalam Islam yang telah membuat K.H. Hasyim Asy’ari melahirkan fatwa tersebut? Mereka tentu akan bertanya-tanya, apakah itu jihad?

Akhirnya pengajaran sejarah nasional Indonesia mugkin akan mengalami keterputusan. Ketika para pahlawan Indonesia seperti Tuanku Imam Bonjol, Cut Nyak Dien, Pangeran Diponegoro berjuang atas landasan ajaran jihad, tetapi di lain sisi, para siswa akan kebingungan, karena hanya menerima bahwa jihad (dalam arti berperang) hanyalah satu fase dalam sejarah yang sudah tak relevan lagi saat ini.

Hal ini sesungguhnya amat fatal. Karena pengajaran jihad dalam Islam akan terus ada, baik dalam masa damai maupun masa berperang. Hanya karena masa damai, bukan berarti ajaran tersebut kemudian tidak relevan. Bagaimana kita akan menjelaskan, ayat-ayat tentang berperang akan tetap ada di Al-Qur’an sampai kapanpun? Bagaimana kita akan menjelaskan mengapa hadist-hadist tentang berperang akan tetap ada jika jihad hanya dianggap sebagai produk masa lalu yang saat ini sudah tidak relevan?

Akankah Indonesia akan memutuskan sendiri sejarahnya, ketika ulama nusantara, Abdusshomad al-Falimbani, menulis kitab jihad Nashihah al-Muslimin wa Tazkirah al Mu’minin fi Fadha’il al-Jihad fi Sabilillah wa Karamah al-Mujahidin yang berisi faidah-faidah berjihad dalam memerangi kolonialisme?

Proklamator RI, Presiden Sukarno sendiri pada tahun 1966 pernah mengucapkan keinginannya mencontoh Nabi Muhammad SAW,
“Segala perbuatannya, segala pikirannya, segala ucapannya, segala diamnya, contoh. Sampai sampai sedapat mungkin aku pelajari. Muhammad itu bagaimana, kalau nyisir rambut itu bagaimana? Lho Muhammad itu bagaiaman kalau gosok gigi?….
Bagaimana caranya dia berperang. Contoh.”
  (Sukarno: 1984)

Berbeda dengan Sukarno, cara pandang sempit mencerminkan ketidakmampuan para birokrasi untuk menyikapi situasi yang berkembang dan malah menimbulkan kebijakan kontraproduktif. Kementrian Agama melihat ajaran jihad (berperang) dalam Islam sebagai sesuatu yang tidak relevan lagi, sehingga harus disingkirkan dan disesuaikan. Ajaran tersebut mungkin dilihat sebagai suatu masalah yang bisa jadi penyebab aksi intoleransi.

Cara pandang seperti ini sangat disayangkan. Seandainya saja para elit birokrasi tersebut mampu membaca lebih luas, maka ajaran jihad tak kehilangan relevansinya di era moderen ini. Ajaran jihad khususnya hukum perang dalam Islam justru sejalan-sebangun dengan Hukum Humaniter Internasional yang tercakup dalam Konvensi Jenewa. (Lihat kata pengantar Din Syamsuddin dalam buku Hukum Perang Islam karya Ahmad al-Dawoody, 2014)

Moh. Natsir, salah satu tokoh Islam terkemuka, yang menjadi sosok dibalik Mosi Intergral yang menyatukan Republik Indonesia, mengungkapkan pendapat yang menarik. Ajaran jihad justru menjadi salah satu sisi penyangga dalam sistem pemerintahan moderen. Ajaran jihad menjadi landasan bagi warga negara untuk mengoreksi pemerintahan agar tak berlaku sewenang-wenang. Aspek ‘demokratis’ dalam Islam ini menurut Natsir dilandasi oleh hadist Rasulullah tentang jihad di depan penguasa yang zalim, yang berbunyi “Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata yang baik) di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Daud) (M. Natsir: 1978)

Kita dapat menelusuri berbagai kebijakan yang tak sinkron seperti ini jika melihat dari sudut pandang yang lebih luas. Hal ini akibat kebijakan pendidikan yang dicampuradukkan dengan persoalan politik. Persoalan pengajaran fikih yang seharusnya tak tercemar unsur politik akhirnya memunculkan kebijakan tunggang langgang seperti ini.

Sejak semula Kementerian Agama kabinet baru ini memang menganggap persoalan yang harus dituntaskan adalah radikalisme. Soal pemberantasan radikalisme ini pun diakui Menteri Agama Fachrul Razi adalah pesan utama dari Presiden Joko Widodo. Meski Fachrul Razi mengakui semua agama menyimpan potensi radikalisme, namun berbagai kebijakan terkait pemberantasan radikalisme sejauh ini hanya ditujukan kepada umat Islam. Mulai dari isu cingkrang dan cadar, radikalisme di Masjid hingga soal penarikan materi khilafah dan jihad dan ikut sertanya Kementerian Agama menyepakati Surat Keputusan Bersama (SKB) 11 instansi pemerintah tentang penanganan radikalisme bersamaan dengan peluncuran portal pengaduan aduanasn.id.

BACA JUGA  Muhammadiyah: Kalau Majelis Taklim Harus Didaftar, Lama-lama Seperti Gereja

SKB ini segera menuai kontroversi. SKB ini dianggap sebagai legalisasi tuduhan radikal. Kritik terhadap pemerintah dikhawatirkan akan diputarbalikkan sebagai aksi radikal. Hal ini sendiri sudah dikritik oleh Ketua PP Muhammadiyah, Haedar Nashir yang dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Sosiologi, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Haedar mengkritik penanganan radikalisme yang menjadikan umat Islam sebagai terdakwa dalam stigma radikalisme. Hal senada diungkapkan tokoh NU yang juga cucu K.H. Hasyim Asy’ari, yaitu, K.H. Sholahuddin Wahid yang menganggap kata Islam radikal menjadi kata yang distigmatisasi.

Suara-suara protes ini bukannya tanpa alasan. Kate Grealy dari Australia National University menuliskan kekhawatirannya dalam The Politics of The Label Radical bahwa politik label radikal digunakan sebagai cara untuk membungkam kritik. Kate Grealy yang bekerja pada Lembaga terkait kontraterorisme di Australia ini menunjuk tuduhan radikal kepada Novel Baswedan dan sejumlah pihak dalam Komsisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut Grealy momentum tuduhan radikal pada KPK dan Novel menjadi penting disaat revisi UU KPK sedang diajukan.

“Kecuali kebijakan pro-nasionalis/anti-‘radikal’ ini diklarifikasi, dan definisinya dibuat jelas, maka hal ini akan berdampak pada budaya politik demokratik Indonesia dan kebebasan politik dari pusat institusi demokratiknya,” demikian jelas Kate Grealy.

Ary HermawanManaging Editor dari The Jakarta Post juga mengekspresikan kekhawatirannya. Menurutnya,

“Retorika dan kebijakan yang ditunjukkan pemerintah saat ini lebih mirip pada propaganda dan witch hunt (perburuan penyihir) daripada kebijakan yang dirancang secara hati-hati untuk mengedukasi masyarakat tentang empat pilar bangsa…”

Orkestrasi Membelah Masyarakat

Kate Grealy sangat tepat memakai istilah politik labelling. Saat ini begitu mudah memberikan label radikal pada pihak-pihak yang secara politik tidak sejalan atau kritis. Tudingan terhadap KPK adalah salah satu bukti betapa berbahayanya labelling ini sehingga mengaburkan pengusutan penganiayaan terhadap penyidik Novel Baswedan dan membuat masyarakat percaya akan tuduhan absurd tersebut.

Tazreena Sajjad, dari American University, Washington, menyebutkan bahwa label dapat mengkonstruksi dunia kita, memberi jalan kepada kategorisasi sosial yang memungkinkan tekanan atau pembasmian terjadi. Proses memberi label (labelling) tak terhindarkan dari keterlibatan kekuasaan yang memungkinkan aktornya menggunakan label itu untuk mempengaruhi isu dan perlakuan terhadap orang-orang yang yang terlibat dalam konteks dan waktu yang berbeda. (Tazreena Sajjad: 2018)

Labelling pada akhirnya memberi jalan pada polarisasi masyarakat. Di Amerika Serikat, polarisasi masyarakat semakin meningkat terutama ketika melibatkan proses psikologis yang membentuk cara kita mengenali identitas atau kelompok, Antara liberal dan konservatif, Republikan dan Demokrat. Polarisasi tadi mengental lewat identifikasi tersebut. Masyarakat Amerika telah melihat semua perdebata kebijakan sebagai pertarungan Kita melawan Mereka, dan berhenti melihat kebijakan karena konten sebenarnya. (Cameron Brick dan Sander van der Linden: 2018)

Kita harus menyadari bahwa sejak Pilpres 2014, masyarakat sudah semakin terbelah. Istlah ‘cebong’ dan ‘kampret’ terus bergulir di tengah masyarakat bahkan hingga istilah ‘kadal gurun’ – ‘togog.’ Pembelahan masyarakat akan semakin ekstrim ketika politik labelling ditabuh semakin kencang lewat label radikal yang disematkan secara serampangan.

Masyarakat akan semakin terperosok ke dalam pusaran saling tuduh dan kecam. Padahal politik label radikal ini sudah membuat kebijakan-kebijakan absurd lahir, seperti penarikan materi ajar oleh kemenag yang penuh kontroversi. Haruskah masyarakat juga menanggung dampak dari politik labelling radikal ketika tanpa disadari mereka terbelah dibawa orkestrasi polarisasi?.(Hud/ Kiblat.Net)

 

Leave Your Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copyright 2023, All Rights Reserved