BERINTERAKSI DENGAN AL-QURAN
Oleh:Ustadz Muhammad Fadlan Hasan
Di antara shalat-shalat yang ada, shalat subuh adalah yang mengawali hari. Ia adalah shalat yang paling penting yang harus dijaga betul pelaksanaannya, sebab tidak semua orang bisa konsisten.
Dari Jundab bin ‘Abdillah Radhiallahu Anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,
مَنْ صَلَّى الصُّبْحَ فَهُوَ فِى ذِمَّةِ اللَّهِ فَلاَ يَطْلُبَنَّكُمُ اللَّهُ مِنْ ذِمَّتِهِ بِشَىْءٍ فَيُدْرِكَهُ فَيَكُبَّهُ فِى نَارِ جَهَنَّمَ
“Barangsiapa yang shalat subuh, maka ia berada dalam jaminan Allah. Oleh karena itu, janganlah menyakiti orang yang shalat Shubuh tanpa jalan yang benar. Jika tidak, Allah akan menyiksanya dengan menelungkupkannya di atas wajahnya dalam neraka jahannam”. (HR. Muslim)
Makna berada dalam jaminan Allah adalah dalam lindungan, penjagaan, dan pemeliharaan dari-Nya. Sungguh itu semua adalah rahmat, yang kalau menaungi kita, maka semua kepedihan berubah menjadi harapan. Sungguh itu semua adalah kelembutan Allah, yang jika turun kepada kita akan sanggup menjadikan api menjadi dingin dan damai.
Tujuan dari berpuasa adalah menjadikan seseorang selalu berada dalam ketakwaan. Dan takwa merupakan sebuah kedudukan yang mulia di mata Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dengan bulan Ramadhan ini Allah Ta’ala menjadikannya sarana untuk mencapai derajat takwa tersebut. Ramadhan juga bulan istimewa, karena disebutkan dalam alquran dengan rangkaian ayat yang berurutan.
Allah Ta’ala menurunkan alquran pada bulan dan kepada nabi yang mulia. Dan diantara hal yang mesti diperbuat dalam Ramadhan adalah meningkatkan interaksi dengan alquran. Baik dengan membacanya, merenungkannya, menghayati dan mengimplementasikan nilai alquran di dalam kehidupan. Inilah pesan dan inti dari diturunkannya alquran.
Bulan Ramadhan Adalah Bulan Alquran
Al-Qur’an diturunkan pertama kali pada bulan Ramadhan maka sangat tepat sekali kalau bulan ini kita manfaatkan untuk banyak membaca Al-Qur’an. Allah Ta’ala berfirman:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
“Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil).” (Al-Baqarah: 185)
Dalam hal ini, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam sendiri telah memberikan contoh kepada umatnya. Beliau mempelajari Al-Qur’an tiap malam bersama Jibril Alaihissalam, sebagaimana yang tersebut dalam hadits Ibnu Abbas Radhiallahu Anhuma:
وَكَانَ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ
“Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bertemu dengan Jibril setiap malam Ramadhan untuk mempelajari Al Qur’an”. (HR Bukhari)
Rasulullah adalah seorang yang paling dermawan dan kedermawanan beliau bertambah pada bulan Ramadhan. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dijelaskan:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَجْوَدَ النَّاسِ، وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ، وَكَانَ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ، فَرَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَجْوَدُ بِالْخَيْرِ مِنَ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam adalah orang yang paling dermawan, dan kedermawaan beliau akan bertambah pada bulan Ramadhan ketika bertemu dengan Jibril. Beliau bertemu dengan Jibril setiap malam Ramadhan untuk mempelajari Al-Qur’an, dan Rasulullah lebih dermawan dari angin yang bertiup kencang.” (HR. Bukhari)
Interaksi salafusshalih dengan alquran juga meningkat sedemikian rupa ketika masuk bulan Ramadhan. Dulu Al-Imam Az-Zuhri Rahimahullah apabila telah masuk bulan Ramadhan, beliau mengatakan: “Tidak lain bulan ini adalah bulan untuk tilawatul qur`an dan memberi makan.”
Ibnu ‘Abdil Hakim berkata:
“Dulu Al-Imam Malik Rahimahullah kalau sudah masuk Ramadhan, maka beliau berhenti dari membacakan hadits-hadits Nabi dan duduk bersama para ahli ilmu, untuk beliau konsentrasi membaca Al-Qur`an dari mushaf.”
Para sahabat Rasululah adalah mereka yang selalu menyertai beliau dalam setiap kondisi. Merekalah yang merasakan, melihat dan berinteraksi langsung dengan alquran, karena Allah Ta’ala sendiri yang meluruskan kekeliruan mereka dengan menurunkan ayat-ayat-Nya. Dengannya Allah Ta’ala menjadikan mereka sebagai umat terbaik. Padahal mereka sebelumnya adalah orang-orang yang sesat dengan kesesatan yang nyata.
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولاً مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ (الجمعة: 2)
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul diantara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata”. (Al Jumu’ah: 2)
أَوَ مَن كَانَ مَيْتاً فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُوراً يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَن مَّثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِّنْهَا كَذَلِكَ زُيِّنَ لِلْكَافِرِينَ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ (الأنعام: 122)
“Dan apakah orang yang sudah mati, kemudian dia kami hidupkan dan kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya? Demikianlah kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan”. (Al An’am: 122)
Bilal Bin Rabah Radhiallahu Anhu
Kalau sekiranya bukan karena alquran, tentu manusia tidak akan mengenal seorang Bilal bin Rabbab Radhiallahu Anhu. Siapakah beliau??
Semasa Jahiliyah, Bilal Bin Rabah tidak lebih dari seorang budak yang telah kehilangan arti kemanusiaannya. Ia tidak lagi memiliki harkat, martabat, dan kehormatan sebagai manusia. Ia layaknya hewan peliharaan yang harus siap menerima perintah tuannya. Ia bagaikan sebuah barang yang sewaktu-waktu dapat diperjual belikan dengan harga dan nilai yang telah ditentukan oleh sang majikan, tak ada hak pribadi yang dimiliki nya. Ia hanya pasrah pada nasib yang membawanya.
Bilal baru memahami arti kemanusiaannya setelah ia bersentuhan dengan Islam yang memiliki kitab panduan hidup nya adalah al Qur’an. Apa-apa yang disampaikan Rasulullah Muhammad SAW telah menyadarkannya bahwa bahan dasar seluruh manusia adalah sama. Berasal dari keturunan yang sama, dan diciptakan oleh Tuhan yang sama. Bahwa perbudakan seperti yang dialaminya merupakan pelanggaran hak-hak manusia yang paling mendasar. Tidak ada yang istimewa dari seorang manusia disisi Allah. Apa pun warna kulitnya, jabatan dan status sosialnya, miskin dan kaya semua sama di mata Allah, kecuali mereka yang bertaqwa. Kesadaran itulah kemudian membawa perubahan besar pada diri Bilal. Sejak itu, ia bukan lagi seorang budak, walaupun secara fisik ia belum mampu melepaskannya. Karena untuk melepaskan diri dari perbudakan ketika itu, harus ditebus dengan uang yang cukup besar.
Sejak mengenal dan memeluk agama Islam, sikap mental Bilal pun berubah. Ia tetap menaruh hormat kepada majikannya Abu Lahab, tetapi tidak dengan menyerahkan dirinya secara bulat-bulat. Di depan majikannya ia bisa mengangkat kepala, tidak lagi merunduk, membungkuk, merangkak seperti sebelum ia memeluk Islam. Kini ia bisa dan berani menatap mata sang majikan sebagaimana majikannya selalu mempelototi dirinya dengan pandangan hina.
Bilal yang sebelumnya tidak pernah mempunyai cita-cita dan harapan, bahkan tidak juga sekedar keinginan. Sejak ia bersentuhan dengan al Qur’an, tumbuhlah semangat hidup, motivasi, dan harapan masa depan yang lebih baik. Seolah ia baru hidup, sepertinya ia baru dilahirkan setelah menyadari eksistensi (keberadaan) kemanusiaannya. Surah al ‘Alaq itu sangat menyentuh hatinya, “ Bacalah dengan nama Tuhan mu yang menciptakan. Dia menciptakan manusia (al insan) dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhan mullah Yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia (Allah) mengajarkan manusia (al insan) apa yang tidak diketahuinya. Ketahuilah, sesungguhnya manusia melampaui batas. Karena ia melihat dirinya serba cukup ( istaghna) ”.
Bahkan terompah Bilal telah mendahuluinya masuk surga. Rasul Shallallahu Alaihi Wasallam pernah memanggil Bilal, lalu bersabda:
“Hai Bilal, mengapa engkau mendahuluiku masuk surga? Sesungguhnya ketika aku msuk surga tadi malam (malam Isra’), aku mendengar suara terompahmu dihadapanmu”.
Bilal menjawab: “Wahai Rasulullah, tidaklah sekali-kali aku menyerukan adzan, melainkan terlebih dahulu aku melakukan shalat dua rakaat dan tidak sekali-kali aku mengalami hadats, melainkan aku berwudhu sesudahnya, kemudian mengerjakan shalat dua rakaat sebagai kewajibanku kepada Allah”. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, bersabda: “Karena kedua-duanya”. Dan, Billal tidak menjawab: “Karena aku punya harta, anak, dan kedudukan atau pangkat”.
Demikian itu, karena kedudukannya adalah taqwa kepada Allah. Jika kita ingin menjadi masyarakat dan komunitas yang mulia maka mau tidak mau, kita harus meningkatkan komitmen dengan nilai-nilai alquran.
Interaksi Sahabat Dengan Alquran
Sebuah riwayat menyebutkan terkait turunnya ayat,
لِّلَّهِ ما فِي السَّمَاواتِ وَمَا فِي الأَرْضِ وَإِن تُبْدُواْ مَا فِي أَنفُسِكُمْ أَوْ تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُم بِهِ اللّهُ فَيَغْفِرُ لِمَن يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَن يَشَاءُ وَاللّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (البقرة: 284)
“Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehandaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu“. (Al Baqarah: 284)
Menurut Ibnu Katsir dalam ayat ini Allah menyatakan kebesaran-Nya yang meliputi langit dan bumi serta mengetahui semua yang terang maupun yang tersembunyi dalam hati dan tiada yang mengetahui kecual Allah sendiri, dan Allah mengancam akan mengadakan perhitungan terhadap semua perbuatan lahir bathin, terang dan samar. Allah dapat mengadakan perhitungan atas semua itu.
Turunnya ayat ini dirasa berat oleh para sahabat dan para sahabat merasa khawatir (takut0 kalau dituntut atas semua perasaan dan gejolak dalam hati yang tidak dapat ditahan. Ini merupakan cerminan (contoh) betapa tingginya tingkat keimanan para sahabat Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam.
Abu Hurairah Radhiallahu Anhu menuturkan, bahwa ketika ayat 284 surat Al Baqarah ini turun, terasa berat bagi sahabat Nabi, maka mereka datang bersimpuh dihadapan nabi. Dan berkata ” Ya Rasulullah saw., kami diwajibkan melaksanakan beberapa amal yang dapat kami lakukan, yaitu salat, puasa, zakat, jihad, dan kini telah turun ayat yang kami tidak sanggup melaksanakannya.” Demi mendengar hal itu kemudian Rasulullah bersabda, “Apakah kalian akan berkata sebagaimana ahli kitab yang sebelummu: ‘Kami mendengar, tapi kami melanggarnya‘. Sebaliknya kalian harus berkata, ‘Kami mendengar dan taat. Kami mohon ampun kepada-Mu dan kepada-Mu kami akan kembali‘.” Ketika mereka mengucapkan kalimat itu berulang-ulang, Allah menurunkan ayat lanjutannya.
Sebenarnya bisikan hati itulah yang kaum muslimin tidak sanggup mengelakkannya, sehingga diterangkan oleh Allah, bahwa yang dimaksud ialah perbuatan atau perkataan.
Abu Hurairah Radhiallahu Anhu mengatakan, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah memaafkan untukku dan umatku apa-apa yang tergerak dalam hati, selama belum dikatakan atau dilakukan.” (HR. Bukhari, Muslim, dan Jama’ah)
Abu Hurairah Radhiallahu Anhu juga mengatakan, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: “Allah berfirman: ‘Jika hamba-Ku berniat akan berbuat dosa, maka jangan dicatat. Dan jika dikerjakan, maka catatlah satu dosa. Jika ia berniat berbuat baik dan tidak dikerjakan catatlah untuknya satu kebikan. Dan jika dikerjakan, catatlah untuknya sepuluh kebaikan‘.” (HR. Bukhari-Muslim)
Pernikahan Zaid dan Zainab Radhiallahu Anhum
Zaid adalah seorang budak yang diberikan kepada Khadijah Radhiallahu Anha sebagai hadiah pernikahannya dengan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Bapaknya bernama Haritsah bin Syurahbil dan ibunya bernama Sa’ad bin Tsa’labah.
Suatu ketika Zaid diajak oleh Ibunya berkunjung ke wilayah Bani Ma’an bin Thay. Pada saat itu Ibunya tidak mengetahui bahwasannya Bani Ma’an sedang diserang oleh Bani Qaim. Bani Ma’an mengalami kekalahan dan ditawanlah orang-orang yang ada di dalamnya termasuk Zaid. Bani Qaim membawa Zaid ke pasar budak untuk dijual yang akhirnya dibeli oleh seseorang yang bernama Hakim bin Hizam.
Suatu ketika Zaid dijodohkan oleh Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dengan Zainab binti Jahsyi anak dari Ummyah binti Muthollib. Paman dari paman Rasulullah.
Semula Zainab membenci Zaid dan menolak untuk menikah dengannya, begitu juga dengan saudara laki lakinya. Menurut mereka, bagaimana mungkin seorang gadis cantik dan terhormat menikah dengan seorang budak? Rasulullah menasihati mereka dan beliau menjelaskan posisi Zaid di hati beliau, sehingga turunlah ayat kepada mereka:
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS Al-Ahzab: 36)
Akhirnya Zainab menikah dengan Zaid sebagai pelaksanaan atas perintah Allah, meskipun sebenarnya Zainab tidak menyukai Zaid. Melalui pernikahan itu Rasulullah ingin menunjukan bahwa tidak ada perbedaan di antara manusia kecuali dalam ketakwaan dan amal perbuatan mereka yang baik. Pernikahan itu pun bertujuan untuk menghilangkan tradisi jahiliah yang senang membanggakan diri dengan keturunan. Akan tetapi, Zainab tidak dapat menerima pernikahan tersebut karena perbedaan yang jauh di antara mereka berdua. Di depan Zaid, Zainab selalu membangga banggakan dirinya sehingga menyakiti hati Zaid. Zaid mengadukan hal tersebut kepada Rasulullah dan Rasulullah menyuruhnya untuk bersabar, dan Zaid pun mengikuti nasihat beliau. Akan tetapi, dia kembali menghadap Rasulullah dan menyatakan bahwa dirinya tidak mampu hidup bersama Zainab. Mendengar perkataan itu Rasulullah bersabda:
“Pertahankan terus istrimu itu dan bertakwalah kepada Allah.”
Kemudian beliau mengingatkan betapa pentingnya pernikahan yang merupakan perintah Allah. Zaid berusaha menenangkan diri dan bersabar, namun tingkah laku Zainab sudah tidak dapat dikendalikan, akhirnya terjadilah talak. Selanjutnya Zainab dinikahi Rasulullah.
Prinsip dasar yang melatarbelakangi pernikahan Rasulullah dengan Zainab binti Jahsy adalah untuk menghapuskan tradisi pengangkatan anak yang berlaku pada zaman jahiliyah. Artinya, Rasulullah ingin menjelaskan bahwa anak angkat tidak sama dengan anak kandung, seperti halnya Zaid bin Haritsah yang sebelum turun ayat Al Quran telah diangkat sebagai anak beliau. Allah Ta’ala berfirman:
ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِندَ اللَّهِ فَإِن لَّمْ تَعْلَمُوا آبَاءهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ
“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu”. (Al Ahzab: 5)
Karena itu, seseorang tidak berhak mengakui hubungan darah dan meminta hak waris dan orang tua angkat (bukan kandung). Karena itulah Rasulullah menikahi Zainab setelah bercerai dengan Zaid yang sudah dianggap oleh orang banyak sebagai anak Muhammad. Allah telah menurunkan wahyu agar Zaid menceraikan istrinya kemudian dinikahi oleh Rasulullah. Pada mulanya Rasulullah tidak memperhatikan perintah tersebut, bahkan meminta Zaid mempertahankan istrinya. Allah memberikan peringatan sekali lagi dalam ayat:
“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: “Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi”. (QS. Al-Ahzab: 37)
Ayat di atas merupakan perintah Allah agar Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam menikahi Zainab dengan tujuan meluruskan pemahaman keliru tentang kedudukan anak angkat.
Julaibib Mendapatkan Jodoh Namun Memilih Berjihad
Namanya Julaibib, begitulah dia biasa dipanggil. Nama ini sendiri mungkin sudah menunjukkan ciri fisiknya yang kerdil dan pendek. Nama Julaibib adalah nama yang tidak biasa dan tidak lengkap. Nama ini, tentu bukan ia sendiri yang menghendaki. Bukan pula orangtuanya. Julaibib hadir ke dunia tanpa mengetahui siapa ayah dan ibunya. Demikian pula orang-orang, semua tidak tahu, atau tidak mau tahu tentang nasab Julaibib. Bagi masyarakat Yatsrib, tidak bernasab dan tidak bersuku adalah cacat sosial yang sangat besar.
Tampilan fisik dan kesehariannya juga menjadi alas an sulitnya orang lain ingin berdekat-dekat dengannya. Wajahnya jelek terkesan sangar, pendek, bunguk, hitam, dan fakir. Kainnya usang, pakaiannya lusuh, kakinya pecah-pecah tidak beralas. Tidak ada rumah untuk berteduh, tidur hanya berbantalkan tangan, berkasurkan pasir dan kerikil. Tidak ada perabotan, minum hanya dari kolam umum yang diciduk dengan tangkupan telapak tangan. Abu Barzah, pemimpin Bani Aslam, sampai-sampai berkata tentang Julaibib, “Jangan pernah biarkan Julaibib masuk diantara kalian! Demi Allah jika dia berani begitu, aku akan melakukan hal yang mengerikan padanya!” demikianlah keadaan Julaibib pada saat itu.
Namun jika Allah berkehendak menurunkan rahmatNya, tidak satu makhluk pun bisa menghalangi. Julaibib menerima hidayah, dan dia selalu berada di shaf terdepan dalam shalat maupun jihad. Meski hampir semua orang tetap memperlakukannya seolah ia tiada, tidak begitu dengan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Julaibib yang tinggal di shuffah Masjid Nabawi, suatu hari ditegur oleh Sang Nabi, “Julaibib…”, begitu lembut beliau memanggil, “Tidakkah engkau menikah?”
“Siapakah orangnya Ya Rasulallah, yang mau menikahkan putrinya dengan diriku ini?” kata Julaibib.
Julaibib menjawab dengan tetap tersenyum. Tidak ada kesan menyesali diri atau menyalahkan takdir Allah pada kata-kata maupun air mukanya. Rasulullah juga tersenyum. Mungkin memang tidak ada orang tua yang berkenan pada Julaibib. Tapi hari berikutnya, ketika bertemu dengan Julaibib, Rasulullah menanyakan hal yang sama. “Julaibib, tidakkah engkau menikah?”. Dan Julaibib menjawab dengan jawaban yang sama. Begitu, begitu, begitu. Tiga kali. Tiga hari berturut-turut.
Dan di hari ketiga itulah, Sang Nabi menggamit lengan Julaibib dan membawanya ke salah satu rumah seorang pemimpin Anshar. “Aku ingin menikahkan putri kalian”, kata Rasulullah pada si empunya rumah”.
“Betapa indahnya dan betapa barakahnya”, begitu si wali menjawab berseri-seri, mengira bahwa sang Nabi lah calon menantunya. “Ooh.. Ya Rasulallah, ini sungguh akan menjadi cahaya yang menyingkirkan temaram di rumah kami.”
“Tetapi bukan untukku”, kata Rasulullah, “ku pinang putri kalian untuk Julaibib”
“Julaibib?”, nyaris terpekik ayah sang gadis
“Ya. Untuk Julaibib.”
“Ya Rasulullah”, terdengar helaan nafas berat. “Saya harus meminta pertimbangan istri saya tentang hal ini”
“Dengan Julaibib?”, istrinya berseru, “Bagaimana bisa? Julaibib berwajah lecak, tidak bernasab, tidak berkabilah, tidak berpangkat, dan tidak berharta. Demi Allah tidak. Tidak akan pernah putri kita menikah dengan Julaibib”
Perdebatan itu tidak berlangsung lama. Sang putri dari balik tirai berkata anggun, “Siapa yang meminta?” Sang ayah dan sang ibu menjelaskan.
“Apakah kalian hendak menolak permintaan Rasulullah? Demi Allah, kirim aku padanya. Dan demi Allah, karena Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam yang meminta, maka tiada akan dia membawa kehancuran dan kerugian bagiku”. Sang gadis yang shalehah lalu membaca ayat ini:
“Dan tidaklah patut bagi lelaki beriman dan perempuan beriman, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”. (QS. Al Ahzab: 36)
Dan sang Nabi dengan tertunduk berdoa untuk sang gadis shalihah, “Ya Allah, limpahkanlah kebaikan atasnya, dalam kelimpahan yang penuh barakah. Jangan Kau jadikan hidupnya payah dan bermasalah..”
Tak terbanyang kebahagiaan yang meliputi hati Julaibib Radhiallahu Anhu. Istri yang shalihah akan segera menjadi pendamping hidupnya. Kehidupan baru akan segera ia jalani.
Namun, kiranya angan-angan itu serasa hilang, ketika panggilan jihad mengetuk hatinya. Karena pada saat yang bersamaan, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam memerintahkan kepada kaum muslimin agar berjihad di jalan Allah. Julaibib Radhiyallahu anhu dalam kebimbangan. Ia bingung manakala harus memilih antara istri shalihah, kebahagiaan, atau mati syahid yang selama ini dicita-citakannya?! Akhirnya, ternyata kerinduan terhadap mati syahid di medan perang menjadi pilihannya.
Maka berangkatlah Julaibib Radhiallahu Anhu menuju medan perang. Dia tinggalkan calon istrinya yang shalihah dan kebahagiaan yang akan segera ia peroleh, demi menyambut panggilan Rabbnya, yaitu berjihad di jalan-Nya.
Sudah menjadi kebiasaan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Beliau sangat memberi perhatian kepada para sahabatnya usai peperangan. Biasanya beliau Shallallahu Alaihi Wasallam menanyakan siapa saja yang syahid dalam peperangan itu.
Rasulullah bertanya kepada para sahabatnya: “Siapa saja yang gugur di jalan Allah?”
Mereka menjawab: “Fulan dan fulan, wahai Rasulullah”.
Mereka tidak menyebutkan nama yang dicari oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yakni Julaibib Radhiallahu Anhu. Maka Rasulullah kembali menanyakan kepada para sahabat, dan jawaban mereka sama.
Kemudian beliau Shallallahu Alaihi Wasallam berseru: “Sesungguhnya aku telah kehilangan salah seorang sahabatku, Julaibib. Carilah ia!”
Para sahabat segera mencari jasad Julaibib Radhiallahu Anhu. Dan mereka mendapatkan jasadnya tersungkur. Di sekelilingnya terdapat tujuh jasad orang kafir. Segeralah para sahabat memberitahukan kepada Rasulullah tentang Julaibib Radhiallahu Anhu, maka Rasulullah segera menghampiri jasadnya. Beliau Shallallahu Alaihi Wasallam berdiri di sampingnya dan bersabda: “Dia telah membunuh tujuh orang ini, kemudian mereka membunuhnya. Sesungguhnya, ia adalah aku, dan aku adalah dia”. Rasulullah mengucapkannya sebanyak tiga kali. Kemudian, dengan penuh lemah lembut dan kasih sayang beliau Shallallahu Alaihi Wasallam mengangkat jasadnya dan menyandarkan di lengannya.
Para sahabat mempersiapkan liang lahat untuknya, dan Rasulullah terus menyandarkan jasad Julaibib Radhiallahu Anhu di lengannya, sampai akhirnya ia dikuburkan. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmatinya.
Itulah akhir kehidupan Sahabat Julaibib Radhiallahu Anhu. Beliau menutup lembaran-lembaran amalnya dengan mati syahid di jalan Allah.
Lalu, bagaimanakah dengan wanita shalihah yang siap mendampinginya?
Sepeninggal Sahabat Julaibib Radhiallahu Anhu, wanita itu menjadi seorang yang kaya raya di kalangan kaum Anshar. Semua itu berkat doa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Yaitu ketika beliau Shallallahu Alaihi Wasallam berdoa: “Ya, Allah! Curahkanlah kebaikan untuknya. Dan jangan Engkau menjadikan untuknya kehidupan yang susah”.
Dengan doa Rasulullah ini, ia mendapatkan keberkahan dalam kehidupannya. Demikianlah hikmah lantaran taat kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.
Abu Thalhah Menyedekahkan Kebun Yang Paling Ia Cintai
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga mengingatkan kepada kita,
لَن تَنَالُواْ الْبِرَّ حَتَّى تُنفِقُواْ مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيْءٍ فَإِنَّ اللّهَ بِهِ عَلِيمٌ (آل عمران: 92)
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (Ali Imran: 92)
Ayat ini menerangkan tentang pentingnya menafkahkah harta, lebih khusus lagi adalah harta yang kita cintai. Semakin dicintai harta tersebut maka semakin tinggi nilainya apabila ia dinafkahkan. Hal itu adalah karena penentu tingginya nilai amalan didalam Islam dapat diketahui dari beratnya amalan tersebut ketika dilakukan.
Memahami perkara ini maka para sahabat berusaha untuk menafkahkan harta yang paling mereka cintai. Lain orang lain pula harta yang dicintai; Abu Thalhah Radhiallahu ‘Anhu adalah diantara sahabat yang paling kaya dari kalangan kaum Anshar di Madinah, ia memiliki kebun kurma, dan harta benda yang paling dicintainya adalah Bairuha’ (sumur yang ada di kebun itu) yang menghadap ke masjid dan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam sering memasuki kebun itu dan meminum airnya yang baik tersebut.
Berkata Anas; ketika turun firman Allah Ta’ala (QS. Ali ‘Imran: 92) Abu Thalhah mendatangi Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam lalu berkata; “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah Ta’ala telah berfirman: “Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai”. Dan sesungguhnya harta yang paling aku cintai adalah Bairuha’ itu dan aku mensedekahkannya di jalan Allah dengan berharap kebaikan dan simpanan pahala di sisi-Nya, maka ambillah wahai Rasulullah sebagaimana petunjuk Allah kepadamu”. Dia (Anas) berkata: “Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Wah, inilah harta yang menguntungkan, inilah harta yang menguntungkan. Sungguh aku sudah mendengar apa yang kamu niatkan dan aku berpendapat sebaiknya kamu sedekahkan buat kerabatmu”. Maka Abu Thalhah berkata,: “Aku akan laksanakan wahai Rasulullah. Maka Abu Thalhah membagi untuk kerabatnya dan anak-anak pamannya”. (HR. Bukhari)
Rasulullah pernah ditanya oleh seorang lelaki: “Wahai Rasulullah, shadaqah apakah yang paling besar pahalanya?”. Beliau menjawab: “Kamu bershadaqah ketika kamu dalam keadaan sehat dan kikir, takut menjadi faqir dan berangan-angan jadi orang kaya”. (HR. Bukhari)
Abu Darda’ Memberikan Pinjaman Kebun Untuk Allah
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
مَّن ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللّهَ قَرْضاً حَسَناً فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافاً كَثِيرَةً وَاللّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (البقرة: 245)
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan”. (Al Baqarah: 245)
Suatu ketika Rasulullah membacakan ayat itu kepada para sahabat. Tiba-tiba Abu Darda Radhiallahu Anhu berdiri, ia berkata, “Wahai Rasulullah, benarkah Allah meminta pinjaman kepada kita?” Rasulullah saw. menjawab, “Ya, benar.” Abu Darda kembali berkata, “Wahai Rasulullah, apakah Dia akan mengembalikannya kepadaku dengan pengembalian yang berlipat-lipat?” Rasulullah menjawab, “Ya, benar.”
“Wahai Rasulullah, ulurkanlah kedua tangan Anda,” pinta Abu Darda Radhiallahu Anhu tiba-tiba. Rasulullah balik bertanya, “Untuk apa?” Lalu Abu Darda menjelaskan, “Aku memiliki kebun, dan tidak ada seorang pun yang memiliki kebun yang menyamai kebunku. Kebun itu akan aku pinjamkan kepada Allah.” “Engkau pasti akan mendapatkan tujuh ratus lipat kebun yang serupa, wahai Abu Darda,” kata Rasulullah.
Abu Darda mengucapkan takbir, “Allahu Akbar, Allahu Akbar!” Lantas ia segera pergi ke kebunnya. Ia mendapati istri dan anaknya sedang berada di dalam kebun itu. Saat itu anaknya sedang memegang sebutir kurma yang sedang dimakannya.
“Wahai Ummu Darda’, wahai Ummu Darda! Keluarlah dari kebun itu. Cepat. Karena kita telah meminjamkan kebun itu kepada Allah!” teriak Abu Darda.
Istrinya paham betul maksud perkataan suaminya. Maklum, ia seorang muslimah yang dididik langsung oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam segera beranjak dari posisinya. Ia keluarkan kurma yang ada di dalam mulut anaknya. “Muntahkan, muntahkan. Karena kebun ini sudah menjadi milik Allah Ta’ala. Ladang ini sudah menjadi milik Allah Ta’ala,” ujarnya kepada sang anak.
Subhanallah! Begitulah Ummu Darda, seorang wanita yang begitu yakin rezki datang dari Allah swt. dan bersuamikan seorang sahabat Nabi yang begitu yakin akan janji Allah Ta’ala. Kalau saja para suami zaman ini punya istri seperti Ummu Darda, pasti mereka akan mudah saja berinfak tanpa berpikir dua kali. Kalau saja para istri zaman sekarang punya suami model Abu Darda, pasti mereka akan mendapatkan kemuliaan dari Allah.
Komitmen Abu Thalhah Kepada Alquran
Abu Thalhah Al Anshari Radhiallahu Anhu adalah sosok lelaki ideal. Wajahnya tampan, badannya atletis, kaya raya pula. Ia pun menduduki status sosial yang tinggi di masyarakatnya. Di samping itu, lelaki yang memiliki nama asli Zaid bin Sahal An Najjary ini dikenal sebagai penunggang kuda hebat dari Bani Najjar, serta pemanah jitu dari Yatsrib yang diperhitungkan banyak orang. Setelah masuk Islam, praktis semua miliknya dipersembahkan untuk dakwah: waktu, harta, tenaga, kedudukan, pemikiran, hingga nyawa. Pengorbanan ini terus ia lakukan hingga ia berusia lanjut. Alhamdulillah, suami Ummu Sulaim ini dikaruniai usia panjang.
Pada zaman Khalifah Utsman bin Affan, kaum Muslimin harus berperang di lautan. Sebagai seorang mujahid kawakan, Abu Thalhah tentunya tidak mau ketinggalan. Bersama pasukan kaum Muslimin lainnya, ia bersiap-siap turut dalam peperangan tersebut.
“Wahai Bapak, Bapak sudah tua. Bapak sudah turut berjuang bersama Rasulullah, bersama Abu Bakar, dan Umar bin Khathab. Kini waktunya Bapak beristirahat. Biarlah kami yang menggantikan Bapak berperang,” ungkap anak-anaknya.
Apa jawaban Abu Thalhah? Ia membaca sebuah ayat Alquran, ”Berangkatlah kamu dalam keadaan senang dan susah, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu menyadari.” (QS At Taubah: 41)
Firman ini memerintahkan kita semua, baik tua atau pun muda, untuk berperang. Allah tidak membatasi usia seseorang untuk menegakkan agama Allah,” lanjut Abu Thalhah. Ia menolak permintaan anak-anaknya untuk tinggal di rumah. Sejarah mencatat, mujahid dakwah ini meninggal di kapal satu minggu sebelum mencapai daratan. Selama enam hari di kapal jenazah Abu Thalhah tidak berubah sedikit pun. Ia telihat seperti sedang tidur pulas. Subhanallah!
Kisah ini memperlihatkan sosok sahabat yang memiliki komitmen luar biasa terhadap Alquran. Lihatlah, demi mengamalkan satu ayat saja (QS At Taubah: 41), ia rela mengorbankan hartanya yang paling berharga (baca: nyawa). Padahal, dilihat dari segi fisik, Abu Thalhah masuk kelompok yang mendapatkan keringanan untuk tidak berperang. Namun, ia tidak melakukannya.
Abu Thalhah tidaklah sendirian. Semua sabahat Rasul memiliki sikap dan perhormatan yang luar biasa terhadap Alquran. Tak heran bila zaman mereka hidup menjadi zaman terbaik dalam sejarah manusia. Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka apakah kamu tiada memahaminya? Demikian janji Allah dalam QS Al Anbiyaa’ ayat 10.
Interaksi mereka terwujud dalam tiga bentuk. Pertama, mereka menempatkan ayat-ayat Alquran seakan ditujukan kepada dirinya sendiri. Saat Alquran memerintahkan sesuatu (shalat, zakat, puasa, menuntut ilmu, berjihad, dsb), maka mereka menggap perintah itu ditujukan untuk dirinya, bukan untuk orang lain. Demikian pula saat Alquran melarang sesuatu, maka larangan tersebut seakan-akan ditujukan kepada dirinya sendiri.Sebuah peristiwa menakjubkan terlihat saat turunnya ayat yang melarang meminum khamr (minuman keras). Tanpa banyak tanya, para sahabat membuang dan menumpahkan botol-botol khamr yang mereka miliki selama-lamanya. Padahal kebiasaan tersebut sudah berurat dan berakar dalam kesehariannya.
Kedua, saat berinteraksi dengan Alquran, mereka meninggalkan ego dan semua atribut keduniawian yang dimiliki. Tidak ada khalifah, saudagar kaya, pemikir, panglima perang. Semuanya hamba dhaif di hadapan kalam-kalam Ilahi.
Contoh terbaik adalah Umar bin Khatbah. Walau menjabat sebagai khalifah yang luas kekuasaannya, kuat intelegensi, fisik dan keimanannya, namun saat membaca Alquran ia menganggap dirinya hamba yang hina dina. Dikisahkan, Umar pernah terguncangan jiwanya ketika ia membaca rangkaian QS At Thuurayat 9-14, ”Pada hari ketika langit benar-benar bergoncang. Dan gunung benar-benar berjalan. Maka kecelakaan yang besarlah di hari itu bagi orang-orang yang mendustakan, (yaitu) orang-orang yang bermain-main dalam kebatilan. Pada hari mereka didorong ke neraka Jahanam dengan sekuat-kuatnya. (Dikatakan kepada mereka), ‘Inilah neraka yang dahulu kamu selalu mendustakanny”. Setelah mendengar ayat ini, Umar sakit keras selama sebulan lebih.
Ketiga, mereka berinteraksi dengan Alquran dalam bingkai hidayah Allah. Artinya, saat berinteraksi mereka tidak lepas dari pemahaman untuk tujuan apa Alquran diturunkan.
Allah Ta’ala menurunkan Alquran sebagai penerang (QS Ali Imran: 138) dan petunjuk (hudan) bagi orang yang bertakwa (QS Al Baqarah: 2).
Inilah fungsi utama. Karena memahami Alquran sebagai penerang dan petunjuk, maka mereka berlomba-lomba membaca, menelaah, memahami lalu mengamalkannya. Mereka yakin hanya dengan Alquran-lah kebahagiaan di dunia dan akhirat akan mereka gapai. Karena itu, mereka tidak pernah berbuat, kecuali perbuatan tersebut selaras dengan Alquran.
Wallahu Ta’ala A’lam
Copyright 2023, All Rights Reserved
Leave Your Comments