Damaskus di Era Kejayaan Islam
Sebagai kelanjutan dari masa Khulafaur Rasyidin, Dinasti Umayyah menjadikan Damaskus sebagai cermin pencapaian peradaban umat Islam. Pada tahun 707 M, di kota tersebut berdiri rumah sakit yang sekaligus pusat studi kedokteran pertama. Lembaga ini dibangun atas perintah Khalifah Walid bin Abdul Malik.
Sampai abad ke-13 M, menurut sejarawan Thomas Goldstein, sebagaimana dikutip Husain Heriyanto (2011), ada 30 rumah sakit yang tersebar di Damaskus. Sebelumnya, perpustakaan publik pertama juga berdiri di kota tersebut pada 704. Inisiatornya adalah Khalifah Khalid bin Yazid, yang tidak lain merupakan cucu pendiri Dinasti Umayyah.
Di perpustakaan inilah mula-mula pusat kegiatan intelektual berlangsung. Di antaranya ada aktivitas filologi kesusastraan Arab serta kajian-kajian ilmu hadis, fikih, kalam, dan sejarah.
Masa keemasan meliputi Damaskus begitu Sultan Nuruddin berkuasa pada 1154. Pada eranya, banyak masjid, madrasah, dan pusat kesehatan publik dibangun untuk menunjukkan pencapaian peradaban Islam. Demikian pula dengan peningkatan kekuatan militer negara.
Adapun aktivitas intelektual di Damaskus pada zaman itu berkembang pesat, antara lain lantaran kontribusi dari dua suku, yakni Bani Asakir dan Bani Qudama. Sultan Nuruddin mendirikan pusat studi hadis pertama, Dar al-Hadits di kota ini.
Madrasah yang khusus bagi mazhab Maliki, al-Shalahiyyah, juga dibina. Begitu pula dengan Madrasah al-Adiliyyah pada 1171, yang kini menjadi The Arab Academy.
Salah satu pemikir yang unggul di Damaskus dalam masa keemasan Islam adalah Ibnu Taimiyah (1263-1328). Orang tuanya membawanya hijrah dari Harran, yang diserbu tentara Mongol pada 1269, ke Damaskus. Waktu itu, dirinya masih berusia tujuh tahun.
Di Damaskus, ayahnya ditunjuk menjadi kepala madrasah Sukkariyyah. Ibnu Taimiyyah sempat mengajar di madrasah yang sama mengenai ilmu hadis. Di Masjid Umayyah, ia juga mengajar di zawiyah.
Hubungannya dengan rezim penguasa dalam masa itu kerap merenggang. Bahkan, ia pernah merasakan dinginnya penjara beberapa kali. Di dalam bui, Ibnu Taimiyyah tetap melanjutkan menulis karya-karyanya.
Selain Ibnu Taimiyah, ada pula Ibnu al-Syatir (wafat 1375), seorang Muslim astronom sekaligus pakar matematika. Pria kelahiran Damaskus ini setahun lamanya belajar di al-Iskandariah, Mesir. Karyanya yang paling dikenang adalah Zij al-Jadid, Taliq al-Arsad, dan Nihayat al-Sul.
Dia juga meletakkan dasar-dasar teori peredaran planet-planet serta merancang pelbagai instrumen untuk mendukung kajian astronomi secara presisi. Pada 1337, dia menciptakan dua alat pengukur jarak benda-benda langit (astrolabe).
Pada 1371, Ibnu al-Syatir membuat jam matahari raksasa untuk Masjid Damaskus. Sebagai astronom, rumus-rumusnya mendahului para astronom Eropa abad pencerahan, misalnya, Copernicus yang menggegerkan Gereja dengan teori matahari-sentris.
Bahkan, beberapa riwayat menyebut, perhitungan Copernicus sama persis dengan Ibnu al-Syatir. Apalagi, ilmuwan Muslim ini merupakan pengoreksi teori astronomi Yunani Kuno, Ptolemy, yang banyak dipakai Gereja untuk dalih bumi sebagai pusat semesta. (UYR/Republika)
Copyright 2023, All Rights Reserved
Leave Your Comments