Hukum Mencium Mushaf Menurut Para Ulama
Sebelum membahas mengenai pendapat para ulama mengenai hukum mencium mushaf, kita perlu mengetahui mengenai dalil.
Bahwasanya, dalil yang dijadikan sandaran amalan dalam syariat bukan hanya apa yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ saja. Ada banyak dalil yang digunakan dalam menghukumi amalan.
Dalil yang disepakati dalam menghukumi amalan adalah al-Qur`an, as-Sunnah, ijma dan qiyas, dan di sana ada dalil-dalil yang tidak disepakati. (Al-Luma` li asy-Syirazi, 1/47).
Khawatirnya, ada yang membatasi bahwa dalil hanyalah sunnah fi’liyah saja, yakni perbuatan Rasulullah ﷺ saja, padahal di sana ada sunnah qauliyah dan taqririyah yakni persetujuan beliau, serta dalil-dalil lainnya.
Mencium mushaf ada beberapa pendapat ulama dan berbagai madzhab:
Menurut Mazab Hanafi
Ulama Madzhab Hanafi yang dikenal dengan Syaikhi Zadah menyatakan, ”Tidak apa-apa mencium mushaf al-Qur`an. (Majma` al-Anhar, 2/554)
Menurut Mazab Maliki
Para ulama Malikiyah berpendapat bahwa mencium mushaf hukumnya makruh. (Manh al-Jalil Syarh Mukhtashar Khalil, 2/267).
Menurut Mazab Syafi`i
Para ulama Madzhab Syafi`i menyatakan bahwa mencium mushaf adalah perkara yang mustahab (sunnah), sebagaimana pendapat Ibnu Abi as-Shaif. Namun ada pula yang berpendapat bahwa hal itu mubah (boleh). (dalam Hasyiyah al-Jamal, 2/437, Tuhfah al-Muhtaj, 1/155)
Menurut Mazab Hanbali
Imam Ahmad dalam masalah ini memiliki dua periwayatan pendapat, yakni bahwa beliau membolehkan, dan di riwayat yang lain beliau menyatakan mustahab. (Ghidza` al-Albab, 1/411)
Namun ada pula riwayat tawaqquf (tidak berkomentar) dalam masalah ini dari Imam Ahmad. (Hasyiyah al-Labudi, 3/231).
Ibnu Hamdan ulama besar Madzhab Hanbali mengutamakan pendapat yang membolehkan. (Al-Adab asy-Syar`iyah, 2/283)
Dalil masing-masing pihak
Mereka yang membolehkan berhujjah dengan atsar maupun qiyas. Adapun atsar, yakni atsar sahabat, yakni Ikrimah bin Abu Jahal.
عن ابن أبي مليكة أَنَّ عِكْرِمَةَ بْنَ أَبِي جَهْلٍ، كَانَ يَضَعُ الْمُصْحَفَ عَلَى وَجْهِهِ وَيَقُولُ: «كِتَابُ رَبِّي، كِتَابُ رَبِّي» (رواه الدارمي)
“Dari Ibnu Abi Mulaikah, bahwasannya Ikrimah bin Abu Jahal menempelkan mushaf pada wajahnya seraya berkata, ”Kitab Rabb-ku, kitab Rabb-ku.” (Riwayat ad-Darimi)
Imam adz-Dzahabi menyatakan mengenai hadits ini ”Ia mursal.” (Mukhtshar at-Talkhis, 4/1865)
Ibnu Katsir menyatakan, ”Imam Ahmad berhujjah dengannya mengenai boleh dan disyariatkannya mencium mushaf.” (Al-Bidayah wa an-Nihayah, 7/34)
Imam as-Suyuthi juga menyatakan, ”Mustahab hukumnya mencium mushaf, karena Ikrimah bin Abu Jahal melakukannya.” (Al-Itqan fi Ulum al-Qur`an, 4/189)
Sedangkan dalil dengan qiyas, Imam as-Suyuthi menyatakan, ”Juga dengan qiyas mencium hajar aswad. Karena al-Qur`an anugerah dari Allah Ta’ala, maka disyariatkan menciumnya, sebagaimana hukumnya mustahab (disunnahkahkan) mencium anak kecil.” (Al-Itqan fi Ulum al-Qur`an, 4/189)
Jika mencium tangan guru, mencium anak kecil dibolehkan, maka mencium al-Qur`an lebuh utama, karena al-Qur`an lebih utama dari mereka. (Thabaqat asy-Syafi`iyah al-Kubra, 10/269)
Adapun yang menyatakan tawaqquf memandang bahwa perlu dalil tauqifi untuk menunjukkan bahwa perkara itu disyariatkan dan tidak berlaku qiyas, sebagaimana mencium Hajar Aswad. Sebagaimana Umar bin al-Khathab tidak mencium Hajar Aswad, kecuali mengikuti Rasulullah ﷺ.
Dan tawaqquf ini artinya tidak membolehkan maupun tidak melarang alias mendiamkan masalah ini dan tidak melakukannya.
Kesimpulannya, masalah mencium mushaf terjadi khilaf (perbedaan) di kalangan para ulama, dan mayoritas dari madzhab-madzhab yang ada membolehkannya. Sehingga tidak apa-apa jika mengikuti para ulama dalam hal bolehnya mencium mushaf. Wallahu a’lam bish shawab.
Penulis: Thoriq, Lc, MA. (UYR/Hidcom)
Copyright 2023, All Rights Reserved
Leave Your Comments