Follow us:

Konsep Waktu Dalam Islam

Oleh: Ust. KH.DR. Abdullah Hakamsyah, MA

Kesempatan penuh berkah ini, kita bisa kembali bersilaturrahmi dalam rangka memperdalam dan mengagungkan syariat Allah Ta’ala. Mudah-mudahan kehadiran kita dalam majlis mulia ini adalah tanda dan indicator bahwa Allah Ta’ala terus menginginkan kebaikan dalam diri dan kehidupan kita semua. Dalam sebuah hadits disebutkan,

مَنْ يُرِد اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ

“Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Allah akan memahamkannya dalam urusan agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kalau kita meruju’ kepada ayat-ayat alquran, maka secara garis besar waktu itu disebutkan dalam dua bentuk. Pertama, waktu disebutkan dalam bentuk nyata yang bisa diindera oleh mata. Kedua, waktu yang disebutkan dalam bentuk maknawi. Maksudnya hikmah dan substansi dibalik waktu tersebut.

Allah Ta’ala berfirman tentang waktu dalam bentuk fisik yang bisa dinikmati dengan mata,

هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاء وَالْقَمَرَ نُوراً وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُواْ عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللّهُ ذَلِكَ إِلاَّ بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ )يونس: 5)

Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang Mengetahui”. (Yunus: 5)

Dari ayat di atas, Allah Ta’ala menyebutkan secara langsung dua ukuran waktu melalui peredaran matahari dan peredaran bulan. Demikianlah ungkapan ayat Al-Quran mengenai proses pergantian malam menjadi siang dan siang menjadi malam. Seiring dengan bergantinya malam dan siang hal ini sudah tentu menuntut adanya perubahan dalam seluruh aspek kehidupan. Dari mulai bertambahnya usia seseorang yang hidup di dunia fana ini dan lain sebagainya.

Sekarang kita mengenal adanya Kalender Hijriyah dan Kalender Syamsiah (Masehi). Tahun Masehi merupakan salah satu sistem penanggalan yang dibuat berdasarkan pada peredaran matahari mengelilingi bumi. Sementara penanggalan Hijriyah berpatokan pada peredaran bulan di malam hari.

Penentuan dimulainya sebuah hari/tanggal pada Kalender Hijriyah berbeda dengan pada Kalender Masehi. Pada sistem Kalender Masehi, sebuah hari/tanggal dimulai pada pukul 00.00 waktu setempat. Namun pada sistem Kalender Hijriyah, sebuah hari/tanggal dimulai ketika terbenamnya matahari di tempat tersebut. Inilah perbedaan utama antara Masehi dan Hijriyah yaitu pergantian hari dan tanggalnya.

Kalender Hijriyah Lebih Akurat

Penggunaan Kalender Masehi dengan GMT-nya, selain tidak mutlak benar, memberi banyak dampak buruk dalam kehidupan Muslim, khususnya. Umat Islam dibuat bingung dan acap kali lalai, bahkan abai dengan pengamalan ajaran-ajaran agamanya. Mulai dari perhitungan awal bulan-bulan utama, seperti Ramadhan, Syawal, Dzulhijjah, dan Muharram, yang selalu menjadi perdebatan musiman; penentuan hari-hari al-Bidh yang sering terlupakan; hingga kerancuan istilah-istilah ibadah ataupun pelaksanaan ibadah itu sendiri.

Dengan perhitungan GMT (Greenwich Meredian Time), seorang Muslim bisa mengerjakan shalat fardhu empat atau enam kali dalam sehari. Gambarannya begini, jika pada hari Senin tidak sempat shalat Isya hingga tengah malam dan baru bisa mengerjakannya jam 01.00, maka dalam perhitungan jam Masehi, shalat Isya tersebut ia kerjakan pada hari Selasa dini hari. Jadi, pada hari Senin itu dia hanya shalat fardhu empat kali. Dan, jika pada hari Selasanya dia shalat Isya pada jam 20.00, berarti dia shalat fardu enam kali di hari itu.

Belum lagi, berdasarkan perhitungan waktu Masehi, kaum Muslim tidak pernah bisa mengerjakan shalat malam atau qiyamul lail. Karena shalat yang sunnahnya dikerjakan setelah lewat tengah malam itu (1/3 malam akhir), dianggap dikerjakan di waktu pagi! Begitu juga penggalan akhir malam yang terkait dengan ibadah atau kondisi tertentu, seperti beristighfar pada waktu sahar (sahur), falaq, shalat sunnah fajr (fajar), dan sebagainya, semua itu dalam perhitungan waktu Masehi disebut pagi. Lailatul qadr (malam qadar) di bulan Ramadhan yang begitu mulia, dalam perhitungan Masehi hanya sampai jam 00.00. Karena setelah itu tidak lagi disebut malam, melainkan pagi hari berikutnya.

Waktu adalah ciptaan Allah dan ketentuan-ketentuan yang terkait dengannya merupakan ketetapan Allah. Hal ini dapat dilihat dari betapa banyaknya penyebutan waktu dalam Al-Qur’an. Allah Ta’ala adalah Tuhan pemilik waktu subuh (Rabbul falaq) dan Allah berkali-kali bersumpah dengan menyebut satuan waktu tertentu hingga keseluruhannya.

Allah Ta’ala bersumpah dengan menyebut waktu malam (wal laili), bersumpah dengan waktu fajar (wal fajri), bersumpah dengan waktu dhuha (wadh dhuha), bahkan dengan menyebut keseluruhan waktu (wal `ashri). Selain dalam bentuk sumpah, lebih banyak lagi waktu yang Allah Ta’ala sebutkan dalam Al-Qur’an. Hal yang menarik untuk dicermati dari keempat waktu di atas adalah, bahwa ada pesan Allah yang sangat besar bagi manusia terkait konteks pembicaraan masing-masing surat tersebut.

Makna Sumpah Allah

Sumpah-sumpah Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an yang menggunakan makhluk-Nya sebagai obyek sumpah menunjukkan bahwa makhluk tersebut termasuk tanda-tanda kekuasaan-Nya yang penting/agung. Dalam kata lain, hal yang disebut dalam posisi muqsam bih itu memang sesuatu yang amat penting yang perlu diperhatikan dan di apresiasi oleh manusia yang merupakan mitra bicara Tuhan dalam sumpah-Nya.

Dengan demikian, manakala Allah Ta’ala bersumpah, misalnya dalam QS. Al-Syams/ 91 : 1, wa al-Syamsi, maka terjemahan ungkapan tersebut yang paling tepat adalah ”alangkah pentingnya matahari itu”, bukan ”demi matahari”. Pemahaman serupa itu diambil sejalan dengan maksud penyebutannya oleh Tuhan dalam sumpah-Nya itu, yaitu sebagai ”dalil ’ala azhim ayatih” (dalil bahwa ia termasuk ayat Tuhan yang agung/penting). Sasarannya adalah agar manusia benar-benar dapat menangkap makna pentingnya keberadaan matahari itu dalam keseluruhan tata kehidupan makhluk seluruhnya, khususnya manusia.

Hikmah Dari Banyak Waktu Yang Disebutkan Dalam Alquran Secara Maknawi

  1. Allah Ta’ala Mengingatkan Bahwa Waktu Itu Cepat Berlalu

Allah Ta’ala berfirman,

كَأَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَهَا لَمْ يَلْبَثُوا إِلَّا عَشِيَّةً أَوْ ضُحَاهَا

“Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau pagi hari”. (An Nazi’at: 46)

Al-Qur’an menceritakan bahwa ketika kiamat terjadi, semua manusia merasa bahwa hidup mereka di dunia sangat singkat. Bahkan diantara mereka ada yang berkata bahwa masa hidup mereka di dunia betapa pun lamanya seperti hanya beberapa jam saja, sebagaimana ayat di atas.

Perputaran dan pergantian waktu sangat cepat sekali bagaikan angin, baik diwaktu sedih maupun gembira. Jika dikatakan hari suka cita berlalu begitu cepat dan hari-hari duka bergerak sangat lambat, padahal itu hanya perasaan belaka dan bukan keadaan yang sebenarnya.

  1. Pada Hakekatnya Setiap Waktu Yang Berlalu Merupakan Kerugian

Allah Ta’ala mengaitkan pembicaran-Nya dengan kerugian dan penyesalan manusia. Seperti terlihat dalam ayat 1-2 surat Al ‘Ashr;

وَالْعَصْرِ(1)إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ(2(

“Demi masa. Sesusngguhnya semua mansuai berada di dalam kerugian”.

Dalam surat ini, Allah Ta’ala juga menjelaskan bahwa seluruh manusia benar-benar berada dalam kerugian. Kerugian yang dimaksud dalam ayat ini bisa bersifat mutlak, artinya seorang merugi di dunia dan di akhirat, tidak mendapatkan kenikmatan dan berhak untuk dimasukkan ke dalam neraka. Bisa jadi ia hanya mengalami kerugian dari satu sisi saja. Oleh karena itu, dalam surat ini Allah mengeneralisir bahwa kerugian pasti akan dialami oleh manusia kecuali mereka yang memiliki empat kriteria dalam surat tersebut”. [Taisiir Karimir Rohmaan].

Yaitu beriman, beramal shalih, saling menasehati agar menegakkan kebenaran (berdakwah) dan saling menasehati agar bersabar”.

Ayat tersebut memberikan isyarat, bahwa yang tidak melakukan persiapan di pagi hari, yang tidak belajar dan mempergunakan kemampuan akalnya di waktu kecil, yang tidak membuat perancanaan di waktu muda dan seterusnya, maka di waktu tua dia akan menyesal dan menjadi orang yang merugi.

Memang kerugian baru dirasakan seseorang, ketika sudah memasuki hari senja. Seperti seorang pedagang, untung dan rugi barulah dihitung ketika hari sudah sore dan matahari menjelang terbenam. Akan tetapi, ketika itu kondisi sudah tidak bisa lagi diperbaiki, selain penyesalan dan meratapi diri ketika dihadapkan pada kerugian, akibat kelalaian sendiri.

Kriteria Pertama, Yaitu Beriman Kepada Allah

Iman yang dimaksud bukanlah sekadar pengakuan ataupun membenarkan dalam hati. Namun, iman adalah membenarkan dalam hati, mengucapkan dengan lisan, dan mengamalkan dengan anggota badan. Maka dari itu, seseorang yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat harus mewujudkannya dalam amalan dengan berlepas diri dari perbuatan syirik dan mengarahkan seluruh jenis ibadah yang dilakukannya hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Mereka yang selalu hidup dalam keimanan bukan hanya sekadar mengaku beriman.  Iman yang tidak ternodai oleh keraguan dan kebimbangan sedikitpun.

Adapun sekadar ucapan dengan lisan atau mengaku beriman semata tidaklah menjadikan dirinya sebagai orang yang telah beriman. Begitu pula amal, tidaklah semua amal dikatakan shaleh melainkan jika dilakukan dengan ikhlas karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata, bersih dari seluruh jenis syirik dan dilakukan dengan mencontoh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, bersih dari bid’ah atau membuat ibadah yang tidak ada tuntunannya dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.

ذهب رجل إلى إبراهيم أين أدهم وقال له : يا أبا اسحق أنى مسرف على نفسي في ارتكاب المعاصي فاعرض علي ما يكون لها زاجرا ومستنقذ قال : أن قبلت خمس خصال وقدرت عليها لم تضرك المعصية ولم توبقك لذة ، قال : هات يا أبا اسحق قال : أما الأولى فإذا أردت أن تعصى الله عز وجل فلا تأكل من رزقه قال فمن أين آكل وكل ما في الأرض من رزقه ؟ قال : يأخذا أفيحسن بك أن تأكل رزقه وتعصيه ؟ قال : لا هات الثانية : قال وإذا أردت أن تعصيه فلا تسكن شيئا من بلاده قال : هذه اعظم من الأولى يأخذا إذا كان المشرق والمغرب وما بينهما ملك له فأين أسكن ؟ قال يأخذا أفيحسن بك أن تأكل رزقه وتسكن بلاده وتعصيه ؟ قال : هات الثالثة : قال وإذا أردت أن تعصيه وأنت تحت رزقه وبلاده فانظر موضعا لا يراك فيه فاعصه فيه قال يا إبراهيم ما هذا وهو يعلم السر و أخفي قال : يا هذا أفيحسن بك أن تأكل رزقه وتسكن بلاده وتعصيه وهو يراك ويعلم ما تجاهر به ؟ قال : لا هات الرابعة قال : فإذا جاءك ملك الموت ليقبض روحك فقل له أخرني حتى أتوب توبة نصوحا وأعمل لله صالحا ، قال : لا يقبل مني قال : يأخذا أفأنت إذا لم تقدر أن تدفع عنك الموت لتتوب وتعلم أنه إذا جاءك لم يكن له تأخير فكيف ترجو وجه الخلاص ؟ قال : هات الخامسة قال : إذا جاءك الزبانية يوم القيامة ليأخذوك إلى النار فلا تذهب معهم قال : انهم لا يدعونني ولا يقبلون مني قال : فكيف ترجو النجاة أذن ؟ قال له يا إبراهيم حسبي حسبي ، أنا أستغفر الله وأتوب إليه ولزم العبادة والأدب مع الله حتى فارق الدنيا

Seseorang menemui Ibrahim bin Adham lalu berkata, “Wahai Abu Ishaq, sungguh aku orang yang berlebihan pada diriku dalam melakukan ma’shiyat. Maka sampaikanlah padaku sesuatu yang dapat membuatku jera dan menyelamatkanku.”

Ibrahim bin Adham menjawab, “Kalau kamu terima 5 perkara, dan kamu mampu melakukannya, maka tidak mengapa berbuat ma’shiyat dan kepuasanmu tak akan membinasakanmu.”

Lalu orang tadi berkata, “Coba sampaikanlah padaku.”

Ibrahim bin Adham menjawab, “Adapun yang pertama, jika kamu mau berma’shiyat pada Allah Ta’ala, maka janganlah kamu memakan rizqy yang berasal dari-Nya.”

Orang itu berkata, “Darimana saya makan? Bukankah segala sesuatu yang ada di muka bumi ini adalah rizqy dari Allah Ta’ala?”

Kata Ibrahim bin Adham, “Yaa Fulan, pantaskah kamu memakan rizqy dari-Nya, lalu kamu berma’shiyat pada-Nya?”

Orang itu berkata lagi, “Sampaikanlah yang kedua.”

Ibrahim bin Adham berkata, “Jika kamu akan berma’shiyat, maka jangan tinggal di bumi-Nya.”

Orang itu berkata, “Ini lebih sulit dari yang pertama. Kalau seandainya Timur dan Barat dan antara keduanya merupakan milik Allah Ta’ala, maka dimana aku akan tinggal?”

Ibrahim bin Adham berkata, “Yaa Fulan, pantaskah kamu makan rizqy dari-Nya, kamu tinggal di bumi-Nya, lalu kamu berma’shiyat pada-Nya?”

Orang itu berkata lagi, “Sampaikan yang ketiga.”

Ibrahim bin Adham berkata, “Jika engkau akan berma’shiyat, sedangkan engkau menikmati rizqy-Nya, tinggal di bumi-Nya, maka carilah tempat yang Allah Ta’ala tidak melihatmu, maka lakukanlah ma’shiyat disitu.”

Orang itu berkata, “Yaa Ibrahim, apa ini? Allah Ta’ala itu Maha Mengetahui yang tersembunyi dan apa yang kusembunyikan.”

Ibrahim bin Adham berkata, “Yaa Fulan, pantaskah, kamu makan dari rizqy-Nya, kamu tinggal di bumi-Nya, kamu berma’shiyat dan Allah Ta’ala melihatmu dan mengetahui perbuatanmu?”

Orang itu berkata lagi, “Tidak. Berikan padaku yang keempat.”

Ibrahim bin Adham berkata, “Jika datang padamu malakul maut untuk mencabut nyawamu, maka katakan padanya, ‘Tangguhkan aku hingga aku bertaubat nasuuha dan beramal shoolih untuk Allah Ta’ala.”

Orang itu berkata, “Tidak mungkin ia menerima permintaan itu dariku.”

Ibrahim bin Adham berkata, “Yaa Fulan, jika kamu tidak mampu menolak kematian untuk bertaubat dan kamu tahu jika dia datang padamu tidak mungkin menangguhkan ajalmu, maka bagaimana kamu berharap untuk menghindar?”

Orang itu berkata, “Berikan yang kelima.”

Ibrahim bin Adham berkata, Jika datang padamu malaikat Zabaaniyah pada hari Kiamat untuk menyeretmu ke neraka, maka jangan engkau ikuti dia.”

Orang itu berkata, “Malaikat itu tidak akan mungkin membiarkanku dan menerima permintaanku.”

Ibrahim bin Adham berkata, “Bagaimana kamu berharap selamat kalaulah demikian?”

Maka orang itu berkata, “Wahai Ibrahim, cukup… cukup.. Aku memohon ampunan Allah Ta’ala. Aku bertaubat pada-Nya. Senantiasa beribadah dan berbuat baik pada Allah, sehingga berpisah dari dunia ini.” (Dinukil dari “Ma’a Allah” karya Muhammad Al Ghozaly)

Keimanan seperti kisah Ibrahim bin Adham di atas lah yang menunjukkan bahwa iman mereka hidup. Mereka tidak akan merugi dalam setiap keadaan hidupnya.

Kedua: Beramal Shalih

Sifat yang kedua adalah beramal shalih, diambil dari penggalan ayat:

وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ

“Dan beramal shalih.”

Amalan shalih itu mencakup amalan zhahir yang dikerjakan oleh anggota badan maupun amalan batin, baik amalan tersebut bersifat fardhu (wajib) atau pun bersifat mustahab (anjuran).

Keterkaitan antara iman dan amal shalih itu sangatlah erat dan tidak bisa dipisahkan. Karena amal shalih itu merupakan buah dan konsekuensi dari kebenaran iman seseorang. Atas dasar ini para ulama’ menyebutkan salah satu prinsip dasar dari Ahlus Sunnah wal jama’ah bahwa amal shalih itu bagian dari iman. Iman itu bisa bertambah dengan amalan shalih dan akan berkurang dengan amalan yang jelek (kemaksiatan).

Oleh karena itu, dalam Al Qur’an Allah Ta’ala banyak menggabungkan antara iman dan amal shalih dalam satu konteks, seperti dalam ayat ini atau ayat-ayat yang lainnya. Diantaranya firman Allah Ta’ala (artinya):

“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An Nahl: 97)

Berkata Asy Syaikh Abdurrahman As Sa’di Rahimahullahu, “Jika dua sifat (iman dan amal shalih) di atas terkumpul pada diri seseorang maka dia telah menyempurnakan dirinya sendiri.” (Taisir Karimirrahman)

Pertanyaannya, apakah sama perbuatan baik dan amal shaleh? Sebab jika hanya perbuatan baik, kita sering melihat orang-orang non muslim atau bahkan yang tidak beragama melakukan perbuatan baik yang jauh lebih besar. Mereka bekerja menjadi relawan-relawan kemanusian di peperangan, pemberantasan kemiskinan, dan di tempat-tempat lain. Sebaliknya, umat Muslim terlihat individualis dan mementingkan diri sendiri. Disinilah muncul dilema. Apakah mereka yang berbuat baik itu dan berguna bagi orang lain itu dianggap sia-sia dan tidak ada nilainya?

Di dalam Al Quran yang ditekankan adalah amal shaleh, bukan perbuatan baik. Sekarang kita lihat apakah perbuatan baik orang yang tidak beriman seperti menolong orang lain yang didasarkan pada kasihan, iba, ingin menghilangkan rasa bersalah, melepaskan beban diri, itu bisa dianggap amal shaleh? Itu tidak dianggap amal shaleh. Perbuatan baik orang yang tidak beriman itu hanya berimplikasi pada apresiasi orang, agar orang mengingat jasanya, hilangnya rasa bersalah, ketentraman, penilaian orang lain, atau bahkan sebagai investasi.

Hal ini berbeda dengan orang yang menolong orang lain yang didasarkan pada keimanan, cinta, keikhlasan, Ittiba’nya kepada Rasulullah dan ketaatannya kepada Allah. Ia melakukan perbuatan menolong di luar dari rasa kasihan, iba, dan rasa bersalah yang bersandar pada kepentingan pribadi, melainkan dari perintah Allah. Orang itu mentaati Allah dengan mengeluarkan hartanya. Ia taat atas risalah yang mengatakan bahwa di dalam hartamu ada hak orang lain. Jadi, amal saleh adalah semua perbuatan baik yang didasarkan pada iman.

Orang yang beramal shaleh itu tidak meminta imbalan (ikhlas) atau menganggapnya investasi yang bisa diminta kembali bila suatu saat berada dalam keadaan yang sama. Walaupun untuk selalu menjaga keikhlasan dalam keseharian memang berat. Karena itu pula dianjurkan agar orang beriman itu tidak mengungkit-ungkit dan segera melupakan perbuatan baiknya.

Allah subhanahu wata’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman janganlah kalian menghilangkan pahala sedekahmu dengan selalu menyebut-nyebut dan dengan menyakiti perasaan si penerima, seperti orang-orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan tidak beriman kepada Allah dan hari akhir”. (Al Baqarah: 264)

Dalam konteks ayat di atas, Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberitakan akibat amalan sedekah yang selalu disebut-sebut atau menyakiti perasaan si penerima maka akan berakibat sebagaimana akibat dari perbuatan riya’ yaitu amalan itu tiada berarti karena tertolak di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Riya’ VS Ikhlas

Riya’ adalah memperlihatkan (memperbagus) suatu amalan ibadah tertentu seperti shalat, shaum (puasa), atau lainnya dengan tujuan agar mendapat perhatian dan pujian manusia. Semakna dengan riya’ adalah Sum’ah yaitu memperdengarkan suatu amalan ibadah tertentu yang sama tujuannya dengan riya’ yaitu supaya mendapat perhatian dan pujian manusia.

Perlu diketahui bahwa segala amalan itu tergantung pada niatnya. Bila suatu amalan itu diniatkan lkhlas karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala maka amalan itu akan diterima oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Begitu juga sebaliknya, bila amalan itu diniatkan agar mendapat perhatian, pujian, atau ingin meraih sesuatu dari urusan duniawi, maka amalan itu tidak akan diterima oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Riya’ termasuk jenis penyakit yang sangat berbahaya karena bersifat lembut (samar-samar) tapi berdampak luar biasa. Bersifat lembut karena masuk dalam hati secara halus sehingga kebanyakan orang tak merasa kalau telah terserang penyakit ini. Dan berdampak luar biasa, karena bila suatu amalan dijangkiti penyakit riya’ maka amalan itu tidak akan diterima oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan pelakunya mendapat ancaman keras dari Allah subhanahu wata’ala. Oleh karena itu Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam sangat khawatir bila penyakit ini menimpa umatnya. Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, Syirik yang ada di tengah-tengah umat ini lebih tersembunyi dari jalannya semut hitam di atas batu hitam di tengah kegelapan malam”. (HR. Imam Ahmad, hadits hasan).

Beliau Shallallahu Alaihi Wasallam juga bersabda,

إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ قَالَ الرِّيَاءُ

“Sesungguhnya yang paling ditakutkan dari apa yang saya takutkan menimpa kalian adalah asy syirkul ashghar (syirik kecil), maka para shahabat bertanya, apa yang dimaksud dengan asy syirkul ashghar? Beliau Shallallahu Alaihi Wasallam menjawab: “Ar Riya’.” (HR. Ahmad dari shahabat Mahmud bin Labid)

Ketiga: Saling Menasehati Dalam Kebenaran

Merupakan salah satu dari sifat-sifat yang menghindarkan seseorang dari kerugian adalah saling menasehati diantara mereka dalam kebenaran, dan di dalam menjalankan ketaatan kepada Allah Ta’ala serta meninggalkan perkara-perkara yang diharamkan-Nya.

Nasehat merupakan perkara yang agung, dan merupakan jalan rasul di dalam memperingatkan umatnya, sebagaimana Nabi Nuh Alaihissalam ketika memperingatkan kaumnya dari kesesatan:

Dan aku memberi nasehat kepada kalian.” (Al A’raaf: 62)

Kemudian Nabi Hud Alaihissalam yang berkata kepada kaumnya:

“Aku hanyalah pemberi nasehat yang terpercaya bagimu.” (Al A’raaf: 68)

Dengan nasehat itu maka akan tegak agama ini, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam di dalam haditsnya:

الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ

“Agama ini adalah nasehat”. (HR. Muslim dari sahabat Tamim Ad Daari Radhiallahu Anhu)

Bila nasehat itu mulai kendor dan runtuh maka akan runtuhlah agama ini, karena kemungkaran akan semakin menyebar dan meluas. Sehingga Allah Ta’ala melaknat kaum kafir dari kalangan Bani Israil dikarenakan tidak adanya sifat ini sebagaimana firman-Nya:

“Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka perbuat.” (Al Maidah: 79)

Demikian pula orang-orang munafik yang diantara mereka saling menyuruh kepada perbuatan mungkar dan melarang dari perbuatan yang ma’ruf, Allah Ta’ala telah memberitakan keadaan mereka di dalam Al Quran, sebagaimana firman-Nya: “Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian mereka dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh kepada perbuatan yang mungkar dan melarang dari perbuatan yang ma’ruf.” (At Taubah: 67)

Keempat: Saling Menasehati Dalam Kesabaran

Saling menasehati dalam berbagai macam kesabaran, sabar di atas ketaatan terhadap Allah Ta’ala dan menjalankan segala perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya, sabar terhadap musibah yang menimpa serta sabar terhadap takdir dan ketetapan-Nya.

Di antara macam-macam sabar ini, sabar dalam ketaatan adalah macam sabar yang tertinggi. Namun adakalanya bersabar dalam menahan diri dari kemaksiatan justeru lebih berat daripada bersabar dalam ketaatan. Syaikh Al Utsaimin menjelaskan, Seperti misalnya cobaan yang menimpa seorang laki-laki berupa godaan wanita cantik yang mengajaknya untuk berzina di tempat sunyi yang tidak diketahui siapapun selain Alloh, sementara laki-laki ini masih muda dan memendam syahwat dalam dirinya. Maka bersabar agar tidak terjatuh dalam maksiat seperti ini menjadi lebih sulit bagi jiwanya. Bisa jadi mengerjakan sholat seratus rokaat itu lebih ringan baginya daripada harus menghadapi beratnya ujian semacam ini. (Al Qoulul Mufid, Syaikh Al Utsaimin)

Orang-orang yang bersabar di atas kebenaran dan saling menasehati satu dengan yang lainnya, maka sesungguhnya Allah Ta’ala telah menjanjikan bagi mereka pahala yang tidak terhitung. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Az Zumar: 10)

Jika telah terkumpul pada diri seseorang keempat sifat ini, maka dia telah mencapai puncak kesempurnaan. Karena dengan dua sifat pertama (iman dan amal shalih) ia telah menyempurnakan dirinya sendiri, dan dengan dua sifat terakhir (saling menasehati dalam kebenaran dan dalam kesabaran) ia telah menyempurnakan orang lain. Oleh karena itu, selamatlah ia dari kerugian, bahkan ia telah beruntung dengan keberuntungan yang agung.

Wallahu Ta’ala A’lam

Share This:
Tags: , ,

Leave Your Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copyright 2023, All Rights Reserved