Merindukan Imam Nawawi Bersama Sri Mulyani
DARUSSALAM.ID, Jakarta – Di tengah penanganan wabah corona yang mulai menuai kritik, pemerintah Republik Indonesia menghadirkan kabar yang mengejutkan. Bukan tentang lockdown, tapi soal rencana membuka rekening donasi penanganan corona. Hal tersebut disampaikan langsung oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani.
Melalui rekening yang nantinya akan dikelola oleh BNPB tersebut, masyarakat dan dunia usaha dipersilahkan mengirimkan donasinya untuk membantu pemerintah dalam memerangi wabah corona. Namun Sri membuat disclaimer bahwa negara dari sisi anggaran sebetulnya siap untuk mendukung proses percepatan penanganan pandemik virus corona di dalam negeri. Namun opsi ini dibuka, untuk membantu meringankan beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pemerintah.
Sri menjelaskan apabila dalam penanganan corona pemerintah harus menanggung seluruh biaya perawatan pasien terjangkit. Karena pendanaan pasien diambil dari APBN 2020 atau APBD, dan pandemi Covid-19 tidak masuk dalam hal yang bisa dicover BPJS dari sisi iuran.
Bagi kalangan awam, tentu agak sulit memahami jalan pikiran bu menkeu. Katanya siap tapi minta diringankan dan alih-alih menghibur wong cilik untuk tidak risau soal biaya berobat tapi malah menyebut-nyebut lagi “hantu” bernama iuran BPJS.
Tapi mari abaikan saja dan tak perlu seriyes-seriyes membahas ucapan Sri Mulyani. Toh terkadang -mungkin sering- kita tak perlu-perlu amat kehadiran negara dalam menjalani kehidupan di negeri yang gemah ripah loh jinawi ini.
Namun, inisiatif pemerintah untuk mencari “uang tambahan” selain pajak dari rakyat mengingatkan penulis pada seorang Zahir Baybars. Zahir merupakan seorang penguasa dari dinasti mamluk yang menguasai wilayah Mesir dan Syiria. Masa kekuasaannya terbilang cukup lama -meskipun masih kalah lama dari Soeharto- yaitu sejak 1260 – 1277.
Dalam satu fase kepemimpinannya, Zahir Baybars mendapati ancaman serangan dari pasukan Tartar yang ganas. Untuk mengahadapi ancaman tersebut, ia perlu memperkuat persenjataan pasukannya dan hal itu membutuhkan dana yang tak sedikit.
Sialnya, Baybars tak seberuntung Sri Mulyani. Untuk memuluskan kebijakannya agar dipatuhi rakyat, ia membutuhkan legitimasi berupa fatwa para ulama. Singkat cerita, seluruh ulama telah memberikan fatwa kecuali satu: Imam Nawawi.
mam Nawawi, ulama besar madzhab Syafi’i yang nama dan karyanya abadi hingga kini itu pun dipanggil menghadap Zahir Baibars. “Aku hendak menyingkirkan musuh-musuh Allah dan menjaga wilayah Islam. Lalu mengapa engkau tidak mau memberikan fatwamu agar kaum muslimin mengumpulkan harta untuk membeli persenjataan?”
Imam Nawawi pun menjawab, “Sungguh, dahulu engkau datang kepada kami sebagai hamba sahaya yang tidak punya harta sedikit pun, sekarang aku lihat di sekelilingmu, ada pelayan laki-laki, pelayan perempuan, istana-istana serta sawah ladang yang luas. Padahal itu bukan hartamu, jika engkau jual itu semua untuk membeli senjata, lalu sesudah itu engkau masih membutuhkan lagi, maka saya akan memberikan fatwa kepadamu untuk mengumpulkan harta kaum muslimin.”
Zahir berteriak karena marahnya, “Keluar engkau dari negeri Syam.” Maka beliau pun keluar dari Syam ke desa kelahirannya Nawa.
Tak lama setelah peristiwa tersebut, para ulama negeri Syam berbondong-bondong menemui Zahir Baibars dan berkata, “Kami tak mempunyai kuasa apa pun tanpa persetujuan Muhyiddin An Nawawi.”
“Jika demikian halnya, kembalikan dia,” kata Zahir.
Kemudian para ulama tersebut pun membujuk Imam Nawawi agar kembali ke Syam. Namun beliau malah menjawab, “Demi Allah, aku sekali-kali tidak akan memasuki Syam selama Zahir masih di sana.”
Dan Allah pun mengabulkan sumpah Imam Nawawi, tak lama sesudah Imam Nawawi mengucapkan sumpahnya, Zahir Baibars mati. Maka kembalilah Imam Nawawi ke negeri Syam.
Percakapan Zahir Baybars dan Imam Nawawi di atas seringkali menjadi landasan bagi para pakar ekonomi Islam dalam menetapkan hukum additional taxes atau pajak tambahan. Dari sikap An-Nawawi, disimpulkan bahwa pajak tambahan hanya boleh dipungut ketika kas negara kosong dan kantong-kantong para pejabat benar-benar tak ada isinya.
Lalu apa korelasinya kisah tersebut dengan Sri Mulyani? Tidak ada, lha wong pejabat dari negeri yang enggak selesai-selesai sinau demokrasi kok dibandingkan sama kesultanan di masa kemajuan peradaban Islam. Zahir Baybars, bagaimanapun punya banyak jasa, punya banyak kebaikan terhadap kaum muslimin di masanya. Sri Mulyani? Lha monggo diketik namanya di mesin pencari google, ada nggak tindak tanduk dan pernyataannya yang membuat wong cilik di negeri ini bernapas lega.
Kalau tidak ada korelasinya, lantas kenapa tulisan ini harus ditulis. Sabar sabar, penulis justru punya perenungan lain. Penulis justru bertanya adakah “the next Imam Nawawi” atau “Imam Nawawi baru” di negeri ini, sosok ulama yang kritis berkharisma mampu membuat para pemimpin memperhitungkan ucapan dan pemikiran mereka dalam setiap kebijakan.
Entah ada atau tidak, tapi penulis berharap ada atau setidaknya ada yang sedang meniti jalan ke sana. Jangan sampai istilah ulama menjadi sebutan untuk sekumpulan ahli agama yang terjebak dalam seremoni-seremoni akbar dan perkumpulan-perkumpulan yang mewah namun kosong makna. Sebagaimana yang pernah dikhawatirkan oleh Kyai Haji Mas Mansur dalam “Kumpulan Karangan Tersebar”:
“Pimpinan kita hanya pandai bergembar-gembor. Kenyataan yang membuktikan bahwa orang-orang bangsa kita yang menggelarkan dirinya sebagai pemimpin Islam, tidak lebih dari omongan belaka. Mereka hanya pandai berseru di atas podium dihadapan orang yang beribu-ribu. Tapi kalau disuruh tabligh ke dusun-dusun, dimana mereka sebenarnya lebih perlu mendapat penerangan, terimakasih banyak ujarnya. Tabiat pemimpin kita lebih gemar disanjung dan disiarkan gambarnya dimana-mana. Mereka lebih suka diam di rumah lalu didatangi oleh orang-orang menanyakan sesuatu masalah. Kalau disuruh bicara mesti melihat tempat dahulu. Umpamanya di sicitet yang dihadiri orang-orang terepelajar saja. Kwalitet pemimpin seperti ini, sangat berbahaya adanya.”(Hud/ Kiblat.net)
Copyright 2023, All Rights Reserved
Leave Your Comments