Sudahkah Anda Bahagia Hari Ini?
Dalam ajaran agama, tujuan paling mendasar dari kehidupan manusia adalah kebahagiaan. Siapa pun pasti mendambakan hidup bahagia, baik secara intelektual, emosional, maupun spiritual. Dari mereka yang mengejar harta melimpah, hingga yang menekuni gaya hidup “happies”, semuanya bermuara pada satu kata, bahagia.
Ada yang merasa bahagia karena capaian intelektual. Dengan gelar akademik berderet, karya-karya ilmiah, artikel di jurnal bergengsi, atau kepiawaian berbicara di ruang publik, mereka mengklaim kebahagiaan. Bahkan, atas nama kecerdasan, tak jarang dengan enteng mereka menghakimi orang lain, seakan kebahagiaan telah menjadi miliknya. Setidaknya, mereka merasa “senang” dengan ekspresi hidup yang ditampilkan.
Ada pula yang bahagia karena harta melimpah, lalu memamerkannya ke mana-mana. Ada yang bangga dengan pasangan yang rupawan dan anak-anak yang terlihat bahagia, lalu memajangnya di etalase media sosial.
Namun, ada juga tipe manusia yang menemukan kebahagiaan melalui empati. Mereka gelisah jika hanya dirinya yang bahagia sementara orang lain menderita. Bahagia, bagi mereka, adalah saat bisa berbagi. Kaya bukan berarti pelit; pintar bukan berarti merendahkan; miskin pun tetap bisa lembut hati. Kebahagiaan mereka lahir dari kemampuan “merasa”, bukan dari merasa pintar.
Ada lagi yang merasakan bahagia lewat jalan spiritual. Mereka menemukan kebahagiaan dalam momen ekstase, seperti para sufi atau para pencari Tuhan dalam tradisi agama lain. Bagi mereka, puncak kebahagiaan adalah ketika “nilai ilahiyah” dalam diri manusia bertemu dengan “nilai insaniyah” yang mencerminkan sifat-sifat Tuhan.
Meski tujuan primordial manusia adalah bahagia, banyak yang tak mampu membedakan antara “kesenangan” dan “kebahagiaan”. Senang belum tentu bahagia, tetapi bahagia pasti menumbuhkan rasa senang. Kaya raya bisa memberi kesenangan, tetapi tidak otomatis menghadirkan kebahagiaan. Sebaliknya, orang yang bahagia akan tetap merasa senang, meskipun hartanya sederhana.
Kesenangan berhenti pada dimensi lahiriah, sedangkan kebahagiaan sejati berakar pada spiritualitas. Bagaimana dengan kebahagiaan hasil “healing” lewat yoga, meditasi, atau manajemen emosi tertentu? Itu sah-sah saja, namun tetap berada di wilayah mental. Kebahagiaan sejati lahir ketika nilai ketuhanan terinternalisasi, diekspresikan melalui akhlak mulia dan ketaatan kepada Tuhan.
Salah satu tokoh besar Islam yang menuntun manusia pada jalan kebahagiaan adalah Imam Al-Ghazali. Selain mahakarya Ihya Ulumiddin, ia juga menulis Kimiya’ al-Sa‘ādah (Kimia Kebahagiaan), sebuah peta hidup menuju kebahagiaan hakiki.
Bagi Al-Ghazali, bahagia bukan terletak pada harta, jabatan, atau gemerlap dunia, melainkan pada pengenalan diri dan pengenalan kepada Allah. Dengan mengenal siapa dirinya dan siapa Tuhannya, manusia menempuh jalan kesempurnaan spiritual. “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu”, sesiapa yang mengenali dirinya, maka ia akan mengenali Tuhannya.
Mengenal diri adalah kunci mengenal Allah. Manusia terdiri dari jasmani dan ruhani, dan ruhani jauh lebih luhur serta abadi. Karena itu, kebahagiaan tidak lahir dari memuaskan nafsu tubuh, melainkan dari hati yang disucikan dan didekatkan kepada Sang Pencipta.
Al-Ghazali menekankan pentingnya membersihkan hati dari penyakit—kesombongan, iri, cinta dunia, dan kemunafikan. Ia mengajarkan pengendalian diri lewat ibadah, zikir, dan muhasabah. Dengan itu, Kimiya’ al-Sa‘ādah berfungsi sebagai kompas spiritual yang menuntun manusia menata relasi dengan Allah, dengan sesama, dan dengan dirinya sendiri.
Namun, kebahagiaan tidak hanya tentang hubungan vertikal dengan Tuhan. Al-Ghazali juga menekankan pentingnya akhlak sosial. Bahagia bukan hanya soal spiritualitas pribadi, tetapi juga soal keadilan, kasih sayang, dan kebaikan kepada sesama. Inilah harmoni antara hubungan dengan Allah dan hubungan dengan manusia.
Di tengah dunia modern yang serba materialistis, ajaran Al-Ghazali ibarat setetes air di padang pasir. Banyak yang mendambakan kesejukan itu, namun tak tahu harus mencarinya di mana. Kini, saatnya kita menempuh perjalanan panjang itu, meski melelahkan. Sebab, jalan menuju kebahagiaan sejati adalah perjuangan melawan hawa nafsu, jihad harian yang tak pernah usai hingga ajal menjemput. Maka, sudahkah kita bahagia hari ini?
Penulis: Thobib Al-Asyhar (Kepala Biro Humas dan Komunikasi Publik Kemenag, Dosen SKSG Universitas Indonesia) (UYR/Kemenag)
Copyright 2023, All Rights Reserved
Leave Your Comments