Follow us:

Tanpa Basa-Basi, 12 Negara Ini Jatuhkan Hukuman untuk Israel: Ada RI dan Malaysia

Dalam sebuah langkah yang digambarkan sebagai sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya, sebanyak 12 negara dari Global South telah mengumumkan sanksi-sanksi terhadap Israel.

Ini sebagai upaya untuk mengakhiri kekebalan hukumnya atas kampanye pembunuhan dan penghancuran yang sistematis di wilayah Palestina, terutama Jalur Gaza, menurut mereka yang berkumpul.

Menurut surat kabar Prancis, Le Monde, dikutip dari Aljazeera, Sabtu (18 Juli 2027), 12 negara yang menandatangani pernyataan akhir Konferensi Kelompok Den Haag untuk Mendukung Palestina, yang diselenggarakan di ibu kota Kolombia, Bogota, selama dua hari, adalah Bolivia, Kolombia, Kuba, Indonesia, Irak, Libya, Malaysia, Namibia, Nikaragua, Oman, Saint Vincent dan Grenadines, dan Afrika Selatan.

Konferensi ini diadakan atas undangan Kolombia dan Afrika Selatan, dan melibatkan 30 negara dari Asia, Amerika Latin dan Afrika, serta lima negara Eropa: Irlandia, Spanyol, Norwegia, Slovenia, Portugal, dan Slovenia.

Di antara langkah-langkah hukuman yang paling menonjol adalah penangguhan ekspor senjata ke Israel dan mencegah berlalunya kapal-kapal yang sarat dengan senjata melalui pelabuhan-pelabuhan di negara-negara ini.

Le Monde melaporkan bahwa tindakan hukuman yang paling menonjol adalah penghentian ekspor senjata ke Israel dan mencegah berlalunya kapal-kapal yang mengangkut senjata melalui pelabuhan-pelabuhan di negara-negara tersebut.

Hal ini merupakan tambahan dari tinjauan menyeluruh terhadap kesepakatan-kesepakatan pemerintah untuk mencegah dukungan finansial atau institusional bagi pendudukan Israel.

Para penandatangan juga berjanji untuk memfasilitasi investigasi internasional terhadap kejahatan yang dilakukan di Gaza, yang menurut Kementerian Kesehatan Palestina, sejauh ini telah menewaskan lebih dari 58 ribu orang, 18 ribu di antaranya adalah anak-anak dan 12.400 perempuan.

Pelapor PBB Francesca Albanese, yang menghadiri konferensi tersebut, mencatat bahwa inisiatif tersebut mewakili pergeseran keseimbangan posisi internasional dan menggambarkannya sebagai upaya untuk mendobrak kelumpuhan hukum internasional terhadap pelanggaran berat di Palestina.

Lima negara Eropa yang hadir belum mengumumkan dukungan mereka terhadap langkah-langkah hukuman tersebut, dengan kemungkinan akan bergabung sebelum 20 September, ketika Majelis Umum PBB bersidang.

Presiden Kolombia Gustavo Petro, yang memutuskan hubungan dengan Israel pada tahun 2024, mengatakan pada konferensi tersebut, “Melalui pengadilan, pelabuhan, dan institusi kami, kami dapat melawan visi dunia di mana logika kekerasan lebih unggul daripada hukum.”

Pelapor PBB Francesca Albanese, yang menghadiri konferensi tersebut, mencatat bahwa inisiatif tersebut mewakili “pergeseran keseimbangan posisi internasional” dan menggambarkannya sebagai “upaya untuk mendobrak kelumpuhan hukum internasional terhadap pelanggaran berat di Palestina”.

Lima negara Eropa yang hadir belum mengumumkan dukungan mereka terhadap langkah-langkah hukuman tersebut, dengan kemungkinan akan bergabung sebelum 20 September, ketika Majelis Umum PBB bersidang.

Presiden Kolombia Gustavo Petro, yang memutuskan hubungan dengan Israel pada tahun 2024, mengatakan pada konferensi tersebut, “Melalui pengadilan, pelabuhan, dan institusi kami, kami dapat melawan visi dunia di mana logika kekerasan lebih unggul daripada hukum.

Tindakan hukum dan politik ini didasarkan pada pendapat penasihat Mahkamah Internasional (ICJ) pada Juli 2024, yang menganggap pendudukan Israel atas wilayah Palestina ilegal dan menuntut penarikan segera dan penghentian penjajahan.

Afrika Selatan mengajukan kasus terhadap Israel di pengadilan yang sama pada bulan Desember 2023, menuduhnya melanggar Konvensi Genosida.

Departemen Luar Negeri AS menggambarkan Kelompok Den Haag sebagai “alat untuk mempolitisasi hukum internasional” dan menuduhnya “melayani agenda anti-Barat”, dan menekankan bahwa mereka mendukung Israel dan sekutunya.

Sementara itu, di lokasi terpisah, tentara Israel pada Selasa (15 Juli 2025) memperbarui peringatan evakuasi segera bagi wilayah sekitar Gaza dan kegubernuran utara, di tengah aksi genosida di daerah kantong tersebut.

Juru bicara militer Avichay Adraee melalui pernyataan resmi memperingatkan warga Palestina untuk meninggalkan Kota Gaza dan kegubernuran utara yang berulangkali mendapat perintah evakuasi sepanjang Juni.

Wilayah wilayah yang disebut dalam pernyataan militer mencakup Zeitoun Utara, Kota Tua, Trukman, al-Jadida, al-Daraj, al-Sabra, dan al-Tuffah. Sementara di kegubernuran utara adalah Kota Jabaliya, kamp Jabaliya, dan Jabalia al-Nazla, serta lingkungan al-Rawdah, al-Nahda, al-Zuhur, al-Noor, al-Salam, dan Tal al-Zaatar.

Tentara memerintahkan warga untuk meninggalkan tempat-tempat yang masuk dalam daftar menuju wilayah barat al-Mawasi.

Tentara Israel mengklasifikasikan wilayah al-Mawasi sebagai zona aman kemanusiaan, namun mereka telah melakukan serangan mematikan di sana dengan mengebom tenda-tenda rapuh yang melindungi para pengungsi, yang mengakibatkan ratusan orang tewas dan luka-luka.

Pernyataan militer itu menekankan bahwa mereka beroperasi di wilayah-wilayah tersebut “dengan kekuatan yang semakin meningkat untuk menghancurkan musuh dan organisasi-organisasi yang memusuhi, dengan pertempuran meluas ke arah barat menuju pusat kota.”

Menurut laporan kantor kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pekan lalu, sejak 18 Maret, tentara Israel telah mengeluarkan sekitar 54 perintah pengungsian, yang berdampak pada sekitar 297 kilometer persegi atau sekitar 81 persen wilayah Jalur Gaza — dengan perintah evakuasi.

Laporan tersebut menambahkan, “Tanpa tempat berlindung yang aman, banyak orang mencari perlindungan di lokasi pengungsian yang penuh sesak, tempat penampungan sementara, bangunan yang rusak, jalan-jalan, dan area terbuka. Orang-orang terkurung di ruang yang semakin menyempit.”

“Per 9 Juli, 86 persen Jalur Gaza berada dalam zona militerisasi Israel atau telah ditempatkan di bawah perintah pengungsian (keduanya sebagian besar tumpang tindih) sejak 18 Maret,” tambah laporan itu.

Sejak Oktober 2023, lebih dari 700 warga Palestina, sebagian besar anak-anak, gugur ditembak tentara Israel ketika mereka sedang mengambil air, menurut otoritas setempat, Senin (14 Juli 2025).

“Pendudukan Israel terus melancarkan perang kehausan yang sistematis dan disengaja terhadap rakyat Palestina di Gaza, melanggar secara terang-terangan semua konvensi internasional dan kemanusiaan,” demikian pernyataan Kantor Media Pemerintah Gaza.

Otoritas Gaza menuduh pasukan Israel menggunakan air sebagai senjata perang dengan cara “merampas hak paling dasar warga Palestina.”

Disebutkan bahwa tentara Israel telah melakukan 112 pembantaian terhadap warga Gaza yang tengah mengambil air, menewaskan lebih dari 700 orang, sebagian besar di antaranya adalah anak-anak, sejak Oktober 2023.

Pada Ahad (13 Juli 2025), setidaknya 12 warga, termasuk delapan anak-anak, dilaporkan tewas akibat tembakan Israel saat sedang menunggu giliran mengambil air di kamp pengungsi Nuseirat, Gaza tengah.

Kantor media tersebut juga menyatakan bahwa lebih dari 720 sumur air telah dihancurkan secara sengaja oleh militer Israel di Gaza.

“Serangan terhadap sumur air telah membuat lebih dari 1,25 juta warga Palestina kehilangan akses terhadap air bersih,” tambahnya.

Dalam pernyataan yang sama, militer Israel juga disebut menghalangi masuknya 12 juta liter bahan bakar setiap bulan, yang dibutuhkan untuk mengoperasikan jumlah minimum sumur air, stasiun pengolahan limbah, pengangkutan sampah, dan sektor vital lainnya di Gaza.

“Situasi ini telah menyebabkan lumpuh totalnya jaringan air dan sanitasi, serta memicu penyebaran wabah penyakit, khususnya di kalangan anak-anak,” lanjut pernyataan tersebut.

Pemerintah Gaza menyerukan kepada komunitas internasional dan organisasi hak asasi manusia untuk segera bertindak menghentikan penggunaan air sebagai senjata perang oleh Israel, serta mendesak agar bahan bakar dan alat berat dapat segera masuk ke Gaza guna mengoperasikan kembali sumur dan stasiun pembuangan air limbah.

Sejak 2 Maret 2025, Israel menutup semua perlintasan ke Gaza bagi bantuan makanan, medis, dan kemanusiaan lainnya, memperparah krisis kemanusiaan yang sudah sangat parah bagi 2,4 juta penduduk di wilayah tersebut. Blokade ini telah mendorong Gaza ke ambang kelaparan, dengan banyak kematian akibat kelaparan yang mulai dilaporkan.

Menolak seruan internasional untuk gencatan senjata, militer Israel terus melanjutkan serangan brutal ke Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023. Sejak Israel mengingkari gencatan senjata pada 18 Maret 2025, Israel telah membunuh dan melukai ribuan warga Palestina di seluruh Jalur Gaza melalui pemboman udara yang berdarah dan berkelanjutan.

Pada tanggal 7 Oktober 2023, setelah operasi Perlawanan Palestina di Israel selatan, militer Israel melancarkan perang genosida terhadap Palestina, membunuh lebih dari 58 ribu orang dan melukai lebih dari 137 ribu orang, dan lebih dari 14 ribu orang masih dinyatakan hilang.

Meskipun banyak negara di seluruh dunia mengutuk genosida Israel, tidak banyak yang dilakukan untuk meminta pertanggungjawaban Israel.

Israel saat ini sedang diselidiki atas kejahatan genosida oleh Mahkamah Internasional, sementara para tersangka penjahat perang termasuk Perdana Menteri Benjamin Netanyahu kini secara resmi dicari oleh Mahkamah Pidana Internasional.

Genosida yang dilakukan Israel sebagian besar dibela, didukung, dan didanai oleh Washington dan beberapa negara Barat lainnya. (UYR/Republika)

Share This:

Leave Your Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copyright 2023, All Rights Reserved