Generasi Lalai Shalat dan Pengikut Nafsu
Generasi pelanjut akan selalu dinanti kehadirannya untuk menjadi pelanjut generasi sebelumnya. Namun apa jadinya jika generasi pelanjut itu justeru adalah generasi-generasi lemah yang tidak bisa diharapkan kontribusinya.
Apa jadinya jika lahirnya generasi pelanjut adalah generasi-generasi lemah yang justru banyak membuat kerusakan di sana sini. Tulisan singkat ini mencoba untuk mengangkat secara ilmiah dalam berbagai aspek dari al Qur’an surat Maryam ayat 59.
Allah Ta’ala befirman dalam Quran Surat Maryam ayat 59,
فَخَلَفَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ اَضَاعُوا الصَّلٰوةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوٰتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا ۙ
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.”
Ayat ini memiliki makna dan konteks yang mendalam, serta relevansi yang kuat dengan kehidupan manusia sepanjang masa.
Dalam konteks historis, ayat ini merujuk pada generasi setelah para nabi dan orang-orang saleh yang telah disebutkan sebelumnya dalam surat Maryam. Generasi ini digambarkan sebagai generasi yang menyimpang dari ajaran agama dan moral yang telah dicontohkan oleh para pendahulu mereka.
Penggunaan kata “khalafa” dalam bahasa Arab, yang berarti “menggantikan” atau “datang sesudah”, menunjukkan adanya perubahan dan pergantian generasi. Hal ini menekankan bahwa setiap generasi memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan meneruskan nilai-nilai positif dari generasi sebelumnya.
Ayat ini secara spesifik menyoroti dua bentuk penyimpangan utama: menyia-nyiakan shalat dan mengikuti hawa nafsu. Shalat, sebagai salah satu pilar utama dalam Islam, merepresentasikan hubungan vertikal antara manusia dengan Allah. Menyia-nyiakan shalat bukan hanya berarti meninggalkannya, tetapi juga melaksanakannya tanpa penghayatan dan kekhusyukan.
Mengikuti hawa nafsu, di sisi lain, menggambarkan penyimpangan dalam aspek horizontal kehidupan manusia. Ini mencakup berbagai bentuk perilaku yang didorong oleh keinginan duniawi tanpa mempertimbangkan batasan moral dan etika yang telah ditetapkan dalam ajaran agama.
Kombinasi dari kedua penyimpangan ini –mengabaikan kewajiban spiritual dan terjebak dalam godaan duniawi– dianggap sebagai akar dari kesesatan. Kesesatan yang dimaksud bukan hanya dalam konteks akhirat, tetapi juga mencakup dampak negatif dalam kehidupan di dunia.
Dari perspektif sosiologis, ayat ini dapat dipahami sebagai peringatan terhadap degradasi moral dalam masyarakat. Fenomena ini sering terjadi ketika suatu komunitas atau bangsa telah mencapai tingkat kemakmuran dan kenyamanan tertentu, yang kemudian mengarah pada kelalaian terhadap nilai-nilai spiritual dan etika.
Dalam konteks psikologi, ayat ini menggambarkan kecenderungan manusia untuk terjebak dalam pola perilaku yang merusak diri sendiri. Mengabaikan aspek spiritual (shalat) dapat menyebabkan kekosongan jiwa, sementara mengikuti hawa nafsu tanpa kendali dapat mengarah pada berbagai masalah psikologis dan sosial.
Dari sudut pandang pendidikan, ayat ini menekankan pentingnya penanaman nilai-nilai agama dan moral sejak dini. Generasi yang “menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsu” bisa jadi adalah hasil dari sistem pendidikan yang gagal dalam mentransmisikan nilai-nilai positif dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Sementara dalam perspektif ekonomi, ayat ini bisa ditafsirkan sebagai kritik terhadap materialisme berlebihan. Ketika masyarakat terlalu fokus pada pencapaian materi, mereka cenderung mengabaikan aspek spiritual dan etika, yang pada akhirnya dapat mengarah pada berbagai masalah sosial dan ekonomi.
Dari segi politik, ayat ini bisa dilihat sebagai peringatan terhadap pemimpin dan elit yang mengabaikan tanggung jawab moral mereka. Ketika para pemimpin lebih mengutamakan kepentingan pribadi (hawa nafsu) daripada kesejahteraan rakyat, hal ini dapat mengarah pada kesesatan kolektif dalam skala yang lebih besar.
Dalam konteks lingkungan, mengikuti hawa nafsu tanpa batasan dapat diterjemahkan sebagai eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan tanpa mempertimbangkan keberlanjutannya. Hal ini sejalan dengan berbagai krisis lingkungan yang kita hadapi saat ini.
Dari perspektif kesehatan, menyia-nyiakan shalat dapat diartikan sebagai mengabaikan keseimbangan antara kesehatan fisik dan mental. Sementara itu, memperturutkan hawa nafsu dapat mengarah pada berbagai perilaku yang merusak kesehatan, seperti konsumsi berlebihan atau gaya hidup tidak sehat.
Dalam konteks teknologi modern, ayat ini bisa ditafsirkan sebagai peringatan terhadap kecanduan teknologi yang dapat mengalihkan perhatian dari kewajiban spiritual dan interaksi sosial yang bermakna. Penggunaan media sosial dan hiburan digital yang berlebihan bisa dianggap sebagai bentuk modern dari “memperturutkan hawa nafsu”.
Meskipun ayat ini memberikan gambaran yang cukup negatif, penting untuk dicatat bahwa Al-Qur’an selalu menekankan adanya kesempatan untuk bertobat dan memperbaiki diri. Ayat ini seharusnya dipahami sebagai peringatan dan motivasi untuk introspeksi diri, bukan sebagai vonis final.
Relevansi ayat ini tetap kuat di era modern. Di tengah arus globalisasi dan kemajuan teknologi, manusia semakin ditantang untuk menjaga keseimbangan antara aspek material dan spiritual kehidupan. Ayat ini mengingatkan kita akan pentingnya menjaga nilai-nilai fundamental dalam menghadapi berbagai perubahan zaman.
Secara keseluruhan, Surat Maryam ayat 59 ini memberikan peringatan yang mendalam dan multidimensi tentang bahaya mengabaikan aspek spiritual dan moral dalam kehidupan.
Ayat ini mengajak kita untuk selalu menjaga keseimbangan antara kewajiban terhadap Tuhan dan pengendalian diri dalam menghadapi godaan duniawi, demi mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.(UYR/MINA)
Copyright 2023, All Rights Reserved
Leave Your Comments