Hidup Adalah Perjuangan
Oleh: KH. Drs, Qomaruddin, MA.
Dalam perjuangan membangun kehidupan, baik kehidupan pribadi maupun keluarga, kehidupan bertetangga, bermasyarakat dan bernegara itu tak ubahnya seperti membangun sebuah rumah atau gedung yang harus dibangun di atas pondasi yang kokoh. Jika tidak dibangun di atas pondasi yang kuat, maka bangunan tersebut akan mudah runtuh, tidak bisa bertahan lama manakala menghadapi tantangan alam. Begitu juga dalam kehidupan ini.
Oleh karena itu, Allah Ta’ala telah menggariskan bahwa membangun sebuah bangunan itu harus berlandaskan takwa dan rida Allah. Kita bisa melihat dari ayat berikut,
أفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى تَقْوَى مِنَ اللّهِ وَرِضْوَانٍ خَيْرٌ أَم مَّنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَىَ شَفَا جُرُفٍ هَارٍ فَانْهَارَ بِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Maka apakah orang-orang yang mendirikan mesjidnya di atas dasar taqwa kepada Allah dan keridhaan-(Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka jahannam. Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang- orang yang zalim”. (At Taubah: 109)
Ayat ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa apabila kita membangun masjid, madrasah, pesantren, atau lembaga, maka motif utamanya adalah mencari ridha Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan takwa. Kalau ternyata dalam membangun lembaga pendidikan tidak berlandaskan ridha dan takwa kepada Allah, maka hasilnya pun tidak sampai kepada urusan akhirat. Akan terjadi banyak permasalahan.
Ketika orang-orang munafiq bersekongkol dengan kaum musyrikin Quraisy akan membangun sebuah masjid (masjid Dhirar), namun niat dan motif mereka adalah untuk membenturkan Nabi Muhammad dengan umatnya, sekaligus melemahkan persatuan umat islam. Maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada Rasulullah untuk mengingatkan beliau.
Masjid Dhirar ini telah selesai mereka bangun sebelum Rasulullah Saw berangkat ke Tabuk. Kemudian mereka datang kepada Rasulullah, meminta agar beliau mau salat di tempat itu untuk dijadikan sebagai dalih dan bukti persetujuan. Kaum munafik itu beralasan masjid tersebut dibangun untuk orang-orang yang tidak dapat keluar di malam yang dingin. Tetapi, Allah Ta’ala melindungi Rasulullah dari melaksanakan salat di masjid tersebut. Atas permintaan itu Nabi menjawab, “Kami sekarang mau berangkat. Insya Allah, nanti setelah pulang”.
Sehari atau beberapa hari sebelum Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam tiba di Madinah dari perjalanan Perang Tabuk, Malaikat Jibril turun menyampaikan berita tentang masjid dhirar yang sengaja mereka bangun atas dasar kekafiran dan bertujuan memecah belah jamaah kaum Muslimin. Rasulullah kemudian mengutus beberapa sahabatnya untuk menghancurkan masjid tersebut sebelum beliau datang ke Madinah. (lihat Tafsir Ibnu Katsir, Ibnu Hisyam dalam Sirah-nya).
Berkaitan dengan masjid ini, turunlah firman Allah, Surat At-Taubah ayat 107-108 yang membongkar hakikat masjid dhirar.
Oleh karena itu, Allah Ta’ala telah menggariskan bahwa sesuatu bangunan harus berlandaskan takwa kepada Allah dan ridha-Nya. Banyak ayat yang membicarakan masalah ini.
يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ{1} قُمْ فَأَنذِرْ{2} وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ{3} وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ{4} وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ{5} وَلَا تَمْنُن تَسْتَكْثِرُ{6} وَلِرَبِّكَ فَاصْبِرْ{7}
“Hai orang yang berkemul (berselimut). Bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Tuhanmu agungkanlah! Dan pakaianmu bersihkanlah. Dan perbuatan dosa tinggalkanlah. Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah”. (Al Mudatstsir: 1-7)
Ayat diatas telah diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam 14 abad yang silam dimana kisahnya waktu turunnya ayat tersebut adalah Nabi Muhammad yang telah lama tidak kedatangan malaikat Jibril paska wahyu pertama di gua hira’, tiba-tiba ketakutan ketika melihat ke langit terlihat sosok Jibril dalam versi yang berbeda dari kedatangan nya pada wahyu pertama maka Nabi pun lari ke rumah dan menyelimuti diri, maka ketika itu pun Jibril membisikkan wahyu diatas kepada Nabi sehingga paska kejadian itulah muncul kekuatan pada diri Nabi untuk menjalankan tugasnya. Ketakutan Nabi Muhammad waktu itu sesungguhnya bukan karena takut dengan kedatangan Jibril dengan bentuk yang agak berbeda tapi Nabi telah merasakan bahwa tugas yang diembannya sangatlah berat.
Ayat di atas ditujukan kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam untuk memberikan peringatan tentang masalah keimanan, menyampaikan surga dan neraka, pahala dan adzab kepada umat manusia. Maka kita sebagai umat Muhammad yang beriman, juga diperintahkan untuk menyampaikan dakwah kepada orang lain.
Dari ayat ini, seorang mukmin ketika menjalani hidupnya sebagai pegawai, pejabat atau apa pun profesinya, terkena untuk menyampaikan risalah ilahiyyah. Berarti, apabila seorang manusia berjuang dalam hidupnya hendaknya jangan hanya mencari urusan duniawi semata, tetapi hendaknya mencari bekal agar supaya di akhirat kelak mendapatkan kebahagiaan. inilah yang diperintahkan Allah dalam surah Al Qashash ayat 77.
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi….”
Jadi, ketika kita sudah mendapatkan sesuatu, mempunyai potensi, mempunyai harta dan kesehatan maka janganlah diam. Sampaikanlah urusan akhirat kepada orang lain. Oleh itu, yang pertama kali diperintahkan adalah mencari bekal untuk meraih kebahagiaan akhirat. Tapi, urusan dunia jangan juga ditinggalkan. Hal ini berarti, bahwa hidup di dunia hanya sekadarnya saja, hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Dari ayat ini kita bisa mengambil pelajaran bahwa dimanapun kita berada, kita harus menyampaikan dakwah kepada orang lain. Oleh karena itu, Allah Ta’ala memberikan pondasi yang kuat. Kenapa? Karena pada saat Rasulullah menyampaikan dakwah kepada umat manusia, kedudukan mereka yang diseru lebih besar daripada kedudukan Rasulullah.
Beberapa Landasan Dalam Berjuang Atau Menyampaikan Dakwah
Pertama, Tauhid
Allah Ta’ala berfirman, وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ “Dan Rabbmu agungkanlah!”
Kita harus selalu mengagungkan nama Allah Ta’ala Yang Maha Agung. Kita harus selalu ingat, bahwa alasan kita dalam memberikan peringatan adalah semata-mata hanya untuk-NYa, untuk mengagungkan nama-Nya. Tidak ada di dunia yang harus dibesarkan, diagungkan dan ditakuti melainkan Allah Ta’ala. Bukan semata-mata hanya karena ingin di cap sebagai orang yang alim atau ingin dipandang oleh orang sekitar. Hanya untuk-Nya dan untuk mengagungkan nama-Nya.
Namun kebanyakan manusia ketika menyampaikan peringatan kepada orang yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dan besar, agak sedikit takut atau grogi. Hal inilah yang perlu kita perbaiki. Sebab, hanya Allah-lah yang Maha Besar dan Maha Agung. Ketika seorang mukmin memiliki jiwa tauhid yang benar, maka akan berpengaruh terhadap dirinya, sehingga ia menjadi motor yang menggerakkan seluruh aktivitas, memberikan kesungguhan, keseriusan, ketulusan dan keikhlasan. Semua ini menjadi syarat mutlak untuk mencapai keberhasilan dalam perjuangan. Oleh itu, Allah Subhanahu Wa Ta’ala pertama kali mengajarkan kepada Rasulullah supaya memiliki jiwa tauhid yang benar, kemudian diturunkan kepada para sahabat. Akhirnya ada konsep “kami mendengar dan kami taat”.
Ketika rumah tangga dibangun tanpa dasar tauhid, rumah tangga tersebut akan berantakan. Sebuah lembaga pendidikan jika tidak dilandasi tauhid maka orientasinya akan mengarah kepada dunia dan akan selalu berselisih. Berbeda halnya jika sebuah bangunan dibangun berlandaskan tauhid, ketulusan dan keikhlasan akan menjamur. Tidak ada yang rebutan untuk menjadi pejabat di dalam kepengurusan.
Orang yang tauhidnya belum benar, maka pola pikirnya pasti akan keliru. Orientasinya selalu kepada dunia. Jika menghadapi orang yang berkedudukan lebih tinggi dan besar, ia takut dan mengikuti kemauan mereka meskipun bertentangan dengan tauhid.
Kedua, Membersihkan Jasmani dan Rohani
Allah Ta’ala berfirman, وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ “Dan pakaianmu bersihkanlah”
Dalam ayat ini, Allah memberitahukan kita untuk menjadi seorang pribadi yang bersih dan rapih. Dalam menyerukan peringatan, kita harus tetap memperhatikan penampilan kita. Jangan sampai peringatan yang kita berikan tidak didengarkan oleh orang lain hanya karena kita berpenampilan jorok dan kotor. Tentulah tidak akan ada orang yang ingin mendekat apabila kita bau, kotor, dekil, kusam, kumal, dan jorok.
Menurut Sayyid Quthub Rahimahullah maksud ayat “watsiyabaka fathahhir” adalah kebersihan atau kesucian. Yang dimaksud dan bersih maksudnya dalam berdakwah hendaknya selalu mengupayakan dengan kebersihan hati yaitu berupa akhlak dan amal perbuatan.
Sayyid Quthub juga menjelaskan bahwa kebersihan itu penting karena beberapa hal yaitu: pertama; Karena kebersihan berarti suci/kesucian dan merupakan keadaan yang cocok dengan kehadiran makhluk tertinggi. Kedua; karena kesucian merupakan sesuatu yang paling lekat dengan risalah kenabian (nubuwwah). Ketiga; merupakan sesuatu yang sangat vital di dalam melakukan indzar (memberi peringatan) dan tabligh (melaksanakan dakwah) di berbagai kalangan masyarakat dan lingkungan yang beragam.
“Dan pakaianmu bersihkanlah” juga bermaksud “Sucikanlah segala amalmu dari perbuatan syirik. Sebab, salah satu ciri penghuni surga adalah ia yang datang kepada Allah tanpa ada dosa syirik.
Ketiga, Meninggalkan Perbuatan Dosa
Allah Ta’ala berfirman, وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ “Dan perbuatan dosa tinggalkanlah”
Setelah penampilan sudah bersih dan rapi, kita juga harus meninggalkan perbuatan dosa. Karena apabila kita hanya berbicara tanpa merealisasikan apa yang kita serukan, orang-orang tidak akan mendengarkan dan percaya atas apa yang kita katakan. Peringatan kita pun akan sia-sia, karena bagaimana orang akan mendengarkan peringatan-peringatan kita apabila kita masih kerap melakukan dosa? Mungkin orang akan berpikir bahwa kita tidak pantas untuk memberikan peringatan karena kitalah orang yang patut untuk diingatkan.
Dosa itu ada dua macam. Pertama dosa besar dan kedua adalah dosa kecil. Dosa besar yaitu amalan yang melanggar hukum Islam yang larangannya disertai dengan ancaman dan kemurkaan daripada Allah. Contoh-contoh dosa besar: Syirik, sihir, membunuh, memakan harta anak yatim, memakan riba, lari dari medan pertempuran, menuduh seseorang berzina, meninggalkan perkara fardhu, durhaka kepada ibu bapak, minum arak, berzina dan liwath, mencuri, terus melakukan dosa kecil, berputus asa daripada rahmat Allah, Riya’ dan takabur, berbohong dan lain sebagainya.
Cara menghapuskan dosa besar yaitu dengan bertaubat, menyesal atas perbuatan dosa yang dilakukan, meninggalkan perbuatan dosa, berazam tidak akan mengulangi perbuatan dosa, meminta maaf sekiranya melibatkan sesama manusia.
Dosa besar jika menghinggap dalam kehidupan manusia, maka hati orang tersebut akan gelap. Inilah yang mengakibatkan seluruh kehidupannya menjadi gelap sehingga ia tidak berjalan di atas rel ridha Allah Ta’ala. Oleh karena itu, dosa besar yang berupa syirik, jika seorang mati membawa kesyirikan, ia tidak akan diampuni oleh Allah Ta’ala. Melainkan ia telah bertaubat kepada-Nya.
Sedangkan dosa kecil adalah amalan yang melanggar hukum Islam yang larangannya tidak dengan ancaman dan kemurkaan daripada Allah. Diantara contoh-contoh dosa kecil; tabdzir, melihat perkara yang haram, mendengar perkara yang melalaikan dari kewajiban dan sebagainya.
Sementara cara untuk menghapuskan dosa kecil adalah dengan melakukan amalan shalih yang banyak dan ibadah kepada Allah serta memperbanyak istighfar kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Keempat, Tidak Mengharap Balasan Lebih Banyak atau Tidak Rakus
Allah Ta’ala berfirman, وَلَا تَمْنُن تَسْتَكْثِرُ “Dan janganlah kamu memberi dengan maksud memperoleh yang lebih banyak”.
Ikhlas. Lewat ayat ini, Allah memberitahukan kita untuk selalu ikhlas dalam setiap amalan yang kita lakukan. Ikhlas ketika kita menyeru seseorang pada kebaikan, ikhlas ketika kita mengeluarkan harta di jalan Allah, ikhlas ketika kita merelakan waktu kita untuk berjuang di jalan cinta-Nya, ikhlas untuk memberikan segenap jiwa dan raga untuk menggapai ridha-Nya. Jangan berharap mendapat balasan yang lebih dari orang lain. Kalau minta balasan hanya boleh kepada Allah, malah sangat dianjurkan. Karena Allah menyukai hambanya yang banyak meminta hanya kepada-Nya.
Rasulullah diperintahkan Allah Ta’ala untuk memberikan sesuatu kepada orang lain tanpa ada motif untuk mendapatkan sesuatu yang lebih besar dari orang yang menerima.
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus”. (Al Bayyinah: 5)
Melakukan ibadah atau amal shalih motifnya adalah hanya untuk mendapatkan cinta dan ridha Allah Ta’ala.
Kelima, Teguh Hati
Allah Ta’ala berfirman, وَلِرَبِّكَ فَاصْبِرْ “Dan untuk memenuhi perintah Rabbmu, bersabarlah”
Sabar. Salah satu kunci dalam meraih kesuksesan dunia dan akherat adalah dengan bersabar dalam menjalankan segala perintah Allah. Sabar. Terkadang memang begitu sulit bagi kita untuk dapat memenuhi perintah dari Rabb semesta alam, Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Begitu banyak hal yang membuat kita tidak sabar dalam menjalankan agama Islam secara sempurna. Egoisme serta hawa nafsu akan kemewahan hidup yang membuncah kerap membutakan kita sehingga kita tidak lagi sabar dan ikhlas dalam menyerukan peringatan dan meninggikan kalimat Allah. Namun, lagi-lagi dalam hidup kita memang selalu berproses. Dan yang terpenting adalah, harus selalu kita tanamkan dalam diri kita bahwa buah dari kesabaran adalah surga. Allah Ta’ala berfirman,
…. وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ (لقمان: 17)
…Dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”. (Luqman: 17)
Orang yang menyampaikan dakwah kepada orang lain pasti akan mendengar berbagai macam celaan hinaan dan gangguan. Dan kunci dari ini semua adalah berteguh hati dengan iman dan takwa.
لَتُبْلَوُنَّ فِي أَمْوَالِكُمْ وَأَنفُسِكُمْ وَلَتَسْمَعُنَّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُواْ أَذًى كَثِيراً وَإِن تَصْبِرُواْ وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الأُمُورِ (آل عمران: 186)
“Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi Kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, Maka Sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan”. (Ali Imran: 186)
Semoga ayat-ayat ini menjadi pelajaran bagi kita semua, sehingga dalam membangun kehidupan harus memiliki fondasi yang kukuh. Wallahu Ta’ala A’lam. (UYR)
Copyright 2023, All Rights Reserved
Leave Your Comments