Ketika Kesombongan Menghilangkan Ilmu dan Hafalan
Di antara penyakit hati yang sering hinggap dalam diri seorang hamba Allah adalah ujub atau sombong, yaitu sikap merasa diri lebih baik dari orang lain. Penyakit berbahaya ini tidak hanya akan merusak amal, tetapi juga dapat membawa kerugian bagi pelakunya, baik di dunia maupun di akhirat.
Berkaitan dengan hal tersebut, ada sebuah kisah yang cukup masyhur di kalangan ahli ilmu nahwu, yaitu tentang perjalanan seorang ulama pengarang kitab Alfiyah. Ia adalah Abu Abdillah Jamaluddin Muhammad Ibn Malik atau dikenal dengan sebutan Imam Ibnu Malik.
Syekh Ibnu Hamdun dalam kitab Hasyiyah Ibnu Hamdun (Beirut, Darul Fikr: 2003), juz I, halaman 23 mengisahkan, ketika menyusun bait pembukaan, Imam Ibnu Malik sempat merasa ujub dan mengklaim bahwa karyanya lebih unggul dari kitab serupa karya Ibnu Mu’thi yang telah dirilis lebih awal.
Menurut Syekh Ibnu Hamdun, klaim tersebut sebenarnya cukup masuk akal karena banyak pihak yang mengakui keunggulan karya Ibnu Malik ini. Namun demikian, benih kesombongan yang muncul dalam hati beliau segera mendapat teguran dari Allah.
Dikisahkan, Ibnu Malik mengalami kebuntuan dan kehilangan sebagian hafalannya, sehingga tidak mampu melanjutkan penulisan syair. Kebuntuan itu terjadi setelah menyusun bait,
وَتَقْتَضِي رِضًى بِغَيْرِ سُخْطٍ * فَائِقَةً أَلْفِيَّةَ ابْنِ مُعْطِي
(Kitab ini menuntut kerelaan tanpa kemurkaan * melebihi kitab Alfiyah Ibnu Mu’thi)
ketika hendak melanjutkan bait berikutnya, yakni,
فَائِقَةً لَهَا بِأَلْفِ بَيْتٍ * …………………
(Mengunggulinya [karya Ibnu Mu’thi] dengan seribu bait * ……………………)
Ibnu Malik benar-benar merasa buntu dan tidak mampu melanjutkan bait-bait syair. Kondisi ini berlangsung selama beberapa hari. Hingga akhirnya, pada suatu malam Ibnu Malik bermimpi bertemu seseorang yang tidak dikenal.
“Aku dengar engkau sedang menyusun Alfiyah dalam ilmu nahwu,” ucap orang tak dikenal itu.
“Benar,” jawab Ibnu Malik.
“Sampai di mana engkau menulis bait syairnya?” tanya orang itu.
Ibnu Malik kemudian menjawab bahwa syairnya itu baru sampai pada bait:
فَائِقَةً لَهَا بِأَلْفِ بَيْتٍ * …………………
“Apa yang menghalangimu menyempurnakannya?” tanya orang itu dalam mimpi.
“Sudah beberapa hari ini aku tidak mampu,” jawab Ibnu Malik.
Orang itu bertanya:
“Apakah engkau ingin menyempurnakannya?”
“Ya. Tentu saja,” jawab Ibnu Malik menyambut hangat.
Lalu orang dalam mimpi itu melanjutkan bait tersebut dengan kalimat:
………………. * وَالْحَيُّ قَدْ يَغْلِبُ أَلْفَ مَيِّتٍ
(….. * Dan orang hidup terkadang mengalahkan seribu orang mati)
Mendengar kalimat itu, Ibnu Malik termangu, merasa tersindir, sekaligus penasaran dengan sosok yang mengucapkannya. Ia pun bertanya:
“Apakah engkau adalah Ibnu Mu’thi?”
“Benar,” ucapnya.
Jawaban tersebut membuat Ibnu Malik terdiam malu. Sebelumnya, ia merasa bahwa bait-bait syair yang ia susun lebih unggul dari karya Ibnu Mu‘thi. Rasa malu dan takjub itu membuat Ibnu Malik terbangun dari tidurnya.
Keesokan paginya, Ibnu Malik membuang potongan bait yang belum sempurna itu dan mengubahnya menjadi:
وَهْوَ بِسَبْقٍ حَائِزٌ تَفْضِيْلاً * مُسْـتَوْجِبٌ ثَنَائِيَ الْجَمِيْلاَ
(Beliau [Ibnu Mu’thi] lebih istimewa karena lebih awal. Beliau berhak atas sanjunganku yang indah)
Menurut Syekh Hamdun, kitab Alfiyah Ibnu Malik dan Ibnu Mu’thi mempunyai keunggulan masing-masing. Dari segi kualitas, susunan bait Ibnu Malik lebih lengkap dan menyeluruh sedangkan susunan bait Ibnu Mu’thi lebih lancar dan indah.
Namun demikian, Ibnu Mu’thi mempunyai keunggulan yang tidak dimiliki oleh Ibnu Malik, yaitu menjadi pendahulu atau pelopor. Pasalnya, di dalam adat maupun syariat, golongan awal memiliki keunggulan dari golongan akhir, karena golongan akhir mengikuti petunjuk dari golongan awal, keduanya bagaikan imam dan makmum. Hal ini sebagaimana sabda Nabi: “Para pendahulu lebih baik daripada generasi penerus hingga hari kiamat”.
***
Kisah dari perjalanan spiritual Imam Ibnu Malik ini mengingatkan bahwa ilmu, karya besar, atau keistimewaan apa pun tidak akan bernilai tanpa diiringi dengan rendah hati. Ujub atau sombong yang terbersit dalam hati bisa menjadi penghalang untuk mendapatkan taufik dan hidayah dari Allah. Sebaliknya, tawadhu atau rendah hati bisa mendatangkan keberkahan dan kemudahan.
Selain itu, kisah ini juga mengingatkan umat Islam, apalagi para pencari ilmu, agar menghormati para pendahulu karena kehadiran kita saat ini tidak lepas dari peran dan kontribusi mereka di masa lalu. Hal ini telah dicontohkan Ibnu Malik, meski karyanya lebih lengkap namun beliau tetap mengakui keutamaan Ibnu Mu’thi yang hadir sebagai pelopor. Wallahu a’lam. (UYR/Kemenag)
Copyright 2023, All Rights Reserved
Leave Your Comments