Keutamaan Berakhlak Mulia Kepada Manusia
Kajian Ilmiah disampaikan oleh Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri, Lc
Keutamaan Berakhlak Mulia Kepada Manusia (Akhlak Kepada Manusia 1)
Akhlak terhadap manusia tidak bisa diremehkan dan dipandang sebelah mata. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda dalam haditsnya,
عَنْ أَبِي ذَرّ جُنْدُبْ بْنِ جُنَادَةَ وَأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ مُعَاذ بْن جَبَلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ (رواه الترمذي وقال حديث حسن وفي بعض النسخ حسن صحيح)
Dari Abu Dzar Jundub bin Junadah dan Abu Abdurrahman Muadz bin Jabal Radhiyallahu Anhuma, dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam beliau bersabda, “Bertakwalah kepada Allah di mana pun engkau berada. Iringilah kejelakan dengan kebaikan, niscaya kebaikan tersebut akan menghapuskannya. Dan bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. Tirmidzi, dan dia berkata: Hadits Hasan Shahih)
Hadits diatas menarik karena diawali dengan perintah bertakwa kepada Allah dimanapun kita berada. Dan ditutup dengan perintah berakhlaklah dengan manusia ketika berinteraksi.
Mungkinkah orang yang bertakwa berakhlak buruk? Kemudian apakah akhlak yang mulia termasuk bagian dari ketakwaan atau tidak? Tapi kenapa Nabi mengingatkan sampai dua kali? Seharusnya Nabi cukup mengatakan, “Bertakwalah kepada Allah di mana pun engkau berada”, lalu kenapa beliau menutup sabdanya dengan perintah berakhlak kepada manusia. Apa rahasianya? Karena banyak umat islam yang berfikir bahwa bertakwa hanya sebatas menjaga hubungan dengan Allah Ta’ala, seperti; shalat, dzikir, puasa, membaca alquran dan sebagainya.
Memang tidak jarang manusia yang beranggapan bahwa akhlak Islam adalah sekedar menunaikan hak Allah Sang Pencipta tanpa perlu menunaikan hak sesama manusia. Akan tetapi ini adalah pemahaman yang sempit (dalam memahami makna berakhlak baik), karena sesungguhnya berakhlak baik itu sebagaimana dilakukan dalam bermuamalah dengan mahluk, juga dilakukan dalam bermuamalah dengan Al Khaliq (Sang Pencipta). Karena sesungguhnya menunaikan hak sesama merupakan bagian dari menunaikan hak Allah Sang Pencipta.
Sebaliknya, ada orang beranggapan bahwasannya akhlak mulia itu identik dengan interaksi sesama manusia dalam lingkungannya. Akibatnya, ada yang berpemikiran bahwa inti akhlak mulia dalam agama islam itu adalah interaksi bergaul atau mu’amalah dengan sesama manusia secara baik, dengan tidak melakukan tindakan yang menyebabkan kerugian bagi orang lain.
Namun sebenarnya perintah bertakwa selain mencakup akhlak mulia terhadap Allah, ia juga mencakup akhlak mulia kepada sesama manusia dan juga menghindari tindakan menyakiti mereka, diantaranya: mencakup senyum dan santun dengan orang, menjenguk orang sakit, menjaga hak-hak tetangga, berbakti kepada orangtua, memberikan nafkah kepada istri, berkhidmat kepada suami, dan lain sebagainya.
Dan jika kita perhatikan, akhlak terhadap Allah merupakan pondasi atau dasar dalam berakhlak terhadap siapapun yang ada di muka bumi ini. Jika seseorang tidak memiliki akhlak positif terhadap Allah, maka ia tidak akan mungkin memiliki akhlak positif terhadap siapapun. Demikian pula sebaliknya, jika ia memiliki akhlak yang karimah terhadap Allah, maka ini merupakan pintu gerbang untuk menuju kesempurnaan akhlak terhadap orang lain.
Penerapan kedua hal tersebut hendaknya berimbang di dalam kehidupan kita. Namun sayangnya, istilah hanya tinggal istilah saja tanpa kesan mendalam di dalam dada. Hal itu disebabkan hubungan tersebut hanya dianggap sekedar mengingat nama dan tegur sapa jika terkait dengan sesama manusia dan sekedar dzikir, shalat, puasa, zakat, haji jika terkait dengan Sang Pencipta. Berawal dari sinilah kita bertolak menuju cara pandang yang benar bahwa hubungan dengan sesama manusia (hablum minannaas) memerlukan etika demikian pula hubungan manusia dengan Sang Pencipta (hablum minallaah) juga memerlukan etika yang baik dan benar.
Etika yang baik dan benar dalam kedua hubungan tersebut perlu diterapkan dalam kehidupan kita dalam wujud akhlak mulia. Akhlak mulia dalam hubungan sesama manusia inilah akhlak mulia kepada makhluq dan akhlak mulia dalam hubungan dengan Allah selaku Sang Pencipta makhluq dinamakan akhlak mulia kepada khaliq.
- Akhlak Kepada Manusia Adalah Salah Satu Sunnah Nabi Yang Utama
Pembahasan akhlak kepada manusia bukan pembahasan sekunder dan hanya dipandang sebelah mata. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitabnya adabul mufrad,
إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَق
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak-akhlak mulia.” (HR. Bukhari)
Oleh karena itu, ketika berusaha mengikuti sunnah nabi dan ketika memproklamirkan sebagai ahlussunnah wal jama’ah, jangan hanya mengikuti sunnah nabi dalam sifat shalat, puasa, shalawat beliau saja. Salah satu sunnah nabi yang harus diikuti adalah akhlak beliau. Diantaranya adalah bagaimana beliau berbicara, bersikap, berinteraksi dengan keluarga, bersikap kepada mertua, anak, memuliakan tamu, memuliakan tetangga dan sebagainya. Kesemunya ini juga merupakan sunnah Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam.
Ini adalah masalah prinsip bukan masalah cabang. Ketika sebagian ulama’ aqidah membahas prinsip-prinsip aqidah dan sunnah di dalam islam. Maka salah satu prinsip yang mereka cantumkan di buku-buku aqidah mereka adalah terkait akhlak. Padahal pembahasan tersebut dalam buku aqidah. Diantaranya seperti yang dilakukan oleh Imam Ahmad bin Abdul Halim (lebih dikenal dengan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah) di dalam buku Al Aqidah Al Wasithiyah. Setelah beliau menuntaskan pembahasan tentang aqidah atau tauhid asma’ wa sifat, diakhir bukunya beliau menyebutkan prinsip-prinsip beragama. Dan salah satu prinsip beragama yang beliau sebutkan adalah, “Ajakan Kepada Kemuliaan Akhlak, Berbuat Baik, serta Meyakini Sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam,
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
“Orang mukmin yang sempurna imannya adalah yang baik akhlaqnya.” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ad Darimi, hasan shahih)
Demikianlah diantara bukti pentingnya akhlaq di sisi para salaf –Ahlus Sunnah wal Jama’ah-, mereka menjadikan masalah akhlaq sebagai ushul (pokok) aqidah dan mereka memasukkannya dalam permasalahan aqidah.
Sejak masa muda, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam telah dikenal dengan kejujuran, amanat, kesabaran, ketegaran, dan kedermawanan. Dalam kesabaran dan kerendahan diri beliau tidak memiliki sekutu dan dalam kemanisan etika beliau tak tertandingi. “Sesungguhnya engkau berada di puncak akhlak yang agung.” Dalam memaafkan, beliau merupakan teladan yang paling baik. Ketika mendapatkan gangguan dan cemoohan masyarakatnya, beliau hanya berkata اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِقَوْمِيْ فَإِنَّهُمْ لاَ يَعْلَمُوْنَ “Ya Allah, ampunilah kaumku, karena mereka tidak mengetahui.” Beliau selalu mengharapkan kebaikan seluruh umat manusia, penyayang dan belas-kasih terhadap mereka. “Ia belas-kasih dan pengasih terhadap Mukminin”.
Dalam berdakwah, beliau tidak pernah dikritik dalam hal akhlaknya yang mulia. Namun diantara sebab yang mendorong kaum Quraisy menentang dakwah Islam adalah karena taqlid buta. Para kaum Quraisy taklid secara membabi buta terhadap nenek moyangnya dan mengikuti langkah-langkah mereka dalam prersoalan peribadatan dan tingkah laku adalah suatu yang telah berurat dan berakar pada bangsa Arab. Karena itu, terasa sangat beratlah bagi mereka meninggalkan agama nenek moyang dan mengikuti agama baru yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam.
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْاْ إِلَى مَا أَنزَلَ اللّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُواْ حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ شَيْئاً وَلاَ يَهْتَدُونَ (المائدة: 104)
“Apabila dikatakan kepada mereka, Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul. Mereka menjawab: cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya. Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa dan tidak pula mendapat petunjuk”. (Al Maidah: 104)
- Akhlak Mulia Kepada Manusia Merupakan Salah Satu Indikasi Kokohnya Aqidah Di Dalam Hati
Hal ini terbukti bagaimana Rasulullah selalu mengaitkan antara keimanan dan akhlak kepada manusia.
عن أبي هريرة رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
Dari Abu Hurairah Radhiallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam”. (HR. Al-Bukhariy)
Sebagai seorang muslim, kita harus mengetahui bahwa terdapat hubungan diantara akhlak dan iman. Akhlak yang baik menurut islam harus berpijak pada keimanan. Iman tidak cukup sekedar disimpan di dalam hati, melainkan harus dilahirkan dalam perbuatan yang nyata dan dalam bentuk amal shalih atau tingkah laku yang baik. Jika iman melahirkan amal shalih, barulah iman itu dikatakan sempurna karena dapat direalisasikan.
Jelaslah bahwa “akhlaqul Karimah” adalah mata rantai kepada keimanan. Sebagai contoh, sifat malu (dalam membuat kejahatan) adalah satu daripada “Akhlaqul Mahmudah”. Dalam hadits nabi ditegaskan bahwa malu itu adalah cabang daripada keimanan.
Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, “Maka waspadalah engkau wahai saudaraku dari hasil panenan ini dan jagalah lisanmu. Barangsiapa yang menjaga lisannya hendaklah ia menjaga lisannya dari berdusta, menipu, berkata palsu, namimah, ghibah dan semua yang dapat menjauhkannya dari Allah Azza wa Jalla dan menetapkan neraka baginya. Maka wajib baginya untuk bersih darinya”. [Syarh Riyadl ash-Shalihin: IV/ 168].
Dalil hadits di atas menerangkan tentang pentingnya mengendalikan dan menjaga lisan, sebagaimana diperintahkan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Barangsiapa yang dapat menjaga dan mengendalikan dari berbagai keburukan yang ditimbulkan lisan berupa dusta, namimah, ghibah, cacian, celaan, kutukan, fatwa tanpa dalil dan lain sebagainya maka ia akan mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan serta masuk ke dalam surga. Tetapi jika tidak, maka ia akan ditelungkupkan atas wajahnya di dalam neraka. Begitu juga ia mesti memelihara dirinya dari pengungkapan berbagai keburukan lisan yang dituangkan dalam bentuk tulisan yang beredar di berbagai media, apakah surat kabar ataupun media elektronik.
Bahkan dikisahkan ada seorang wanita yang telah dikenal ibadahnya dengan baik namun ia tidak dapat mengendalikan lidahnya yakni suka mengganggu tetangganya dengannya, maka iapun masuk ke dalam neraka. Sebagaimana di dalam riwayat berikut ini,
عن أبي هريرة رضي الله عنه قَالَ: قِيْلَ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ فُلاَنَةً تَقُوْمُ اللَّيْلَ وَ تَصُوْمُ النَّهَارَ وَ تَفْعَلُ وَ تَصَدَّقُ وَ تُؤْذِي جِيْرَانَهَا بِلِسَانِهَا ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: لاَ خَيْرَ فِيْهَا هِيَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ قَالُوْا: وَ فُلاَنَةً تُصَلِّى اْلمَكْتُوْبَةَ وَ تَصَدَّقُ بِأَثْوَارٍ وَ لاَ تُؤْذِي أَحَدًا؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: هِيَ مِنْ أَهْلِ اْلجَنَّةِ
Dari Abu Hurairah Radhiallahu Anhu berkata, pernah ditanyakan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya si Fulanah suka shalat malam, shaum di siang hari, mengerjakan (berbagai kebaikan) dan bersedekah, hanyasaja ia suka mengganggu para tetangganya dengan lisannya?”. Bersabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, “Tiada kebaikan padanya, dia termasuk penghuni neraka”. Mereka bertanya lagi, “Sesungguhnya si Fulanah (yang lain) mengerjakan (hanya) shalat wajib dan bersedekah dengan sepotong keju, namun tidak pernah mengganggu seorangpun?”. Bersabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, “Dia termasuk penghuni surga”. [HR. al-Bukhariy di dalam al-Adab al-Mufrod)
Berkaca dengan hadits Abu Hurairah Radhiallahu Anhu di atas, dapat dimengerti bahwa kendatipun seseorang itu telah dikenal akan banyaknya jenis ibadah yang dikerjakan dari mengerjakan sholat malam setelah wajibnya, shaum sunnah pada siang harinya sesudah Ramadlan, bersedekah dan berbagai perbuatan baik lainnya. Namun jika ia tidak dapat mengendalikan lisannya berupa dusta, cacian, celaan, kutukan, sumpah serapah dan sebagainya, dan yang terbanyak biasanya adalah ghibah atau gunjingan, maka tempat yang pantas untuknya adalah neraka.
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah Rahimahullah, “Amat mengherankan bahwa ada seseorang yang dengan mudah dapat menjaga diri dari makan makanan yang haram, berbuat zhalim, berzina, mencuri, minum khomer, memandang sesuatu yang haram dan sebagainya, namun ia sulit untuk menjaga gerakan lisannya. Sehingga engkau dapat melihat seseorang yang dijadikan acuan dalam agama, kezuhudan dan ibadah, ia berucap dengan perkataan-perkataan yang mengundang kemurkaan Allah tanpa ambil peduli. Padahal satu kalimat saja akan dapat menjatuhkannya dengan jarak lebih jauh daripada jarak antara timur dan barat. Berapa banyak kamu lihat orang yang mampu menjaga dari perbuatan keji dan kezhaliman, sementara itu lisannya mencela kehormatan orang-orang yang masih hidup dan juga orang-orang yang telah mati, tanpa peduli sedikitpun tentang apa yang ia ucapkan”. [Ad-Da’ wa ad-Dawa’, oleh al-Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah]
Hadits riwayat Aisyah Radhiallahu Anha:
Sekelompok orang Yahudi meminta izin untuk menemui Rasulullah saw. lalu mereka mengucapkan: “Assaamu `alaikum” (kematian atas kalian). Aisyah menyahut: “Bal `alaikumus saam” (sebaliknya semoga kalianlah yang mendapatkan kematian). Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menegur: Hai Aisyah, Sesungguhnya Allah menyukai keramahan dalam segala hal. Aisyah berkata: Tidakkah engkau mendengar apa yang mereka ucapkan? Rasulullah bersabda: Aku telah menjawab: “Wa’alaikum” (dan semoga menimpa kalian). (Shahih Muslim)
Bahkan dalam hadîts lain yang diriwayatkan oleh Muslim dijelaskan, bahwa setelah mendengar perkataan mereka, ‘Aisyah memaki-maki mereka (fa sabbat-hum). Nabi segera menghentika tindakan ‘Aisyah dengan mengatakan “Sudah cukup ‘Aisyah. Maka sesungguhnya Allah tidak menyukai perkataan tidak sopan (fuhsy) dan jangan bertindak tidak sopan (tafahhusy).
Termasuk akhlak di dalam islam yaitu tidak semua fakta layak untuk diucapkan. Fakta bahwa orang yahudi itu dilaknat, dimurkai, sebagian orang yahudi dikutuk menjadi kera dan babi sehingga mereka menjadi saudaranya kera dan babi, namun ketika Aisyah Radhiallahu Anha memaparkan fakt-fakta tersebut, Rasulullah menegurnya. Karena tidak semua fakta bisa diucapkan dengan bebas. Karena islam mendidik kita menjadi pribadi besar dan orang besar tidak setiap kata harus diucapkan. Sebab, siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya berkata yang baik atau diam.
- Berakhlak Mulia Lebih Besar Pahalanya Dibanding Dengan Amalan-Amalan Sunnah Individual
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ ، قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الأَعْمَالِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ ؟ قَالَ : ” سُرُورٌ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ ، أَوْ تَكْشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً ، أَوُ تَقْضِي عَنْهُ دَيْنًا ، أَوْ تَطْرُدُ عَنْهُ جُوعًا ، وَلأَنْ أَمْشِي لأَخٍ لِي مُسْلِمٍ فِي حَاجَةٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ ـ يعَنْيِ مَسْجِدَ الْمَدِينَةِ ـ وَمَنْ كَفَّ غَضَبَهُ سَتَرَ اللَّهُ عَلَيْهِ ، وَمَنْ كَظَمَ غَيْظَهُ وَلَوْ شَاءَ أَنْ يَمْضِيهِ أَمْضَاهُ مَلأَ اللَّهُ قَلْبَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ رِضًا ، وَمَنْ مَشَى مَعَ أَخٍ لَهُ مُسْلِمٍ فِي حَاجَةٍ حَتَّى يُثَبِّتَهَا ثَبَّتَ اللَّهُ قَدَمَيْهِ يَوْمَ تَزُولُ الأَقْدَامُ ، وَسُوءُ الْخُلُقِ يُفْسِدُ الْعَمَلَ كَمَا يُفْسِدُ الْخَلُّ الْعَسَلَ ” .
Dari Abdullah bin Umar Radhiallahu anhu berkata, seorang lak-laki datang kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam kemudian bertanya, “Amalan apakah yang dicintai Allah? Beliau lantas bersabda, “perbuatanmu menyenangkan sesama Muslim, atau meringankan penderitaannya, melunasi hutangnya, atau mengusir kelaparannya. Dan berjalan bersama saudara Muslim dalam rangka mengatasi kesulitannya lebih aku sukai daripada beri’tikaf di masjid (masjid Nabawi) selama satu bulan. Dan barangsiapa menahan kemarahannya, Allah akan menutupi kekurangannya, serta barangsiapa menahan kemarahannya-meski mampu membalasnya- niscaya Allah akan menyenangkan hatinya pada hari kiamat kelak. Dan barangsiapa membantu saudaranya sesama Muslim dalam mengatasi kesulitannya sampai mapan kondisinya, maka Allah akan mengokohkan kakinya pada hari dimana kaki-kaki manusia tergelincir dan sesungguhnya akhlak yang tercela itu dapat merusak amal sebagaimana cuka dapat merusak madu”. (HR. Thabrani dan dishahihkan Al-Albani dalam As-Silsilah As-Shahihah)
Orang-orang terdahulu sungguh sangat antusias dalam mengamalkan ajaran Islam. Termasuk membantu meringankan beban orang lain. Hal ini tidak lain karena tidak ada jalan mudah namun dicintai Allah selain membantu kesulitan orang lain yang benar-benar membutuhkan.
Suatu hari ketika beri’tikaf di masjid Nabawi, Abu Hurairah mengetahui ada seseorang di duduk bersedih di pojok masjid. Abu Hurairah pun menghampirinya dan menanyakan ada apa gerangan hingga ia tampak bersedih. Setelah mengetahui masalah yang menimpa orang itu, Abu Hurairah pun segera menawarkan bantuan.
”Mari keluar bersamaku wahai saudara, aku akan memenuhi keperluanmu,” ajak Abu Hurairah.
“Apakah kau akan membatalkan i’tikaf demi menolongku?” tanya orang tersebut terkejut.
”Ya. Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Sungguh, berjalannya seseorang di antara kamu untuk memenuhi kebutuhan saudaranya, lebih baik baginya daripada i’tikaf di masjidku ini selama sebulan.”
I’tikaf bulan Ramadhan si Masjid Nabawi memiliki keutamaan yang luar biasa pahalanya. Tapi ternyata membantu menyelesaikan permasalahan sesama muslim lebih utama daripada i’tikaf di Masjid Nabawi sebulan penuh.
Jadi, membantu mengatasi kesulitan orang lain termasuk amalan yang disukai Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Lebih dari itu kita bisa mendapat pahala seperti orang i’tikaf selama 30 hari di masjid. Bayangkan, berapa banyak kepentingan yang harus kita korbankan untuk menjalankan i’tikaf selama sebulan penuh.
Tetapi dengan meringankan beban orang lain, walaupun itu tak sampai satu jam sekalipun, kita berhak atas pahala seperti i’tikaf selama sebulan penuh. Tentu bukan kalkulasi pahala yang patut kita utamakan, tetapi motivasi dasar, niat dalam melakukan amalan yang disukai Allah Ta’ala tersebut.
Muhammad Ibrahim An-Nua’im dalam karyanya “Kaifa tuhilu umrokal intajy” memaparkan beberapa kisah sahabat yang gemar membantu kesulitan orang lain.
Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiallahu Anhu misalnya, setiap hari beliau selalu membantu penduduk di kampunyga memerah susu dari kambing-kambing mereka. Lalu, tatkala beliau menjadi khalifah, seorang wanita penduduk kampunya berkata, “Sekarang Abu Bakar tidak akan lagi memerah susu untuk kami”. Abu Bakar pun menjawab, “Tidak, aku berharap kedudukanku ini tidak merubah sesuatu yang biasa aku lakukan”.
Begitu pula dengan Zaid bin Haritsah Radhiallahu Anhu, semangat menolong orang lain sungguh sangat luar biasa. Setiap kali hujan turun, ia membawa api dan berkeliling mengunjungi orang-orang jompo di kampungnya dan selalu bertanya, “Apakah rumah kalian bocor, atau apakah kalian butuh api?”
Esok harinya, Zaid kembali berkeliling ke rumah-rumah mereka dan selalu bertanya, “Apakah kalian memerlukan seuatu yang perlu dibeli di pasar atau kalian membutuhkan seusatu?”
Tidak ketinggalan sahabat Nabi yang dikenal sangat tegas namun berhati sangat lembut kepada mereka yang menderita, Umar bin Khattab Radhiallahu Anhu.
Al-kisah suatu malam Thalhah melihat Umar masuk ke rumah seorang wanita. Siangnya, Thalhah mengunjungi rumah tersebut dan ternyata di dalamnya tinggal seorang wanita tua yang buta dan lumpuh.
Thalhah pun bertanya, “Apa yang dilakukan Umar terhadapmu tadi malam?” Wanita itu menjawab, “Sudah sejak lama ia selalu memperhatikanku. Ia sering mendatangiku dengan membawa apa yang aku butuhkan dan mengeluarkanku dari penderitaan”.
Thalhah pun berkata, “Sungguh celaka engkau Thalhah, karena engkau telah mencari-cari kesalah Umar”.
Bersambung..,
Wallahu Ta’ala A’lam
Copyright 2023, All Rights Reserved
Leave Your Comments