Keutamaan Mempelajari Hadits dan Pembelaan Ulama’ Terhadap Hadits
Oleh:Ustadz Abu Yahya Badrussalam, Lc.
Sebagai orang yang mengakui cinta Rasulullah, tentu kita berusaha semaksimal mungkin untuk semangat mempelajari sabda-sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Karena mempelajari hadits mempunyai keutamaan yang agung.
Diantara Keutamaan Mempelajari Hadits Dan Ilmu Hadits
- Memberikan Cahaya Di Wajah
Rasulullah mendoakan mereka yang mempelajari sabdanya agar wajahnya diberikan cahaya dan sinar kegembiraan. Dalam sebuah hadits disebutkan,
عن زيد بن ثابت قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مَقَالَتِي فَوَعَاهَا وَحَفِظَهَا وَبَلَّغَهَا فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ ثَلَاثٌ لَا يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلِمٍ إِخْلَاصُ الْعَمَلِ لِلَّهِ وَمُنَاصَحَةُ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَلُزُومُ جَمَاعَتِهِمْ فَإِنَّ الدَّعْوَةَ تُحِيطُ مِنْ وَرَائِهِمْ
Dari Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu berkata: saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Semoga Allah memberikan nudlrah (cahaya di wajah) kepada orang yang mendengarkan sabdaku lalu ia memahaminya, menghafalnya dan menyampaikannya. Berapa banyak orang yang membawa fiqih kepada orang yang lebih faqih darinya, ada tiga perkara yang tidak akan dengki hati muslim dengannya: mengikhlaskan amal karena Allah, menasehati pemimpin kaum muslimin dan berpegang kepada jama’ah mereka karena do’a mereka meliputi dari belakang mereka”. (HR. Tirmidzi dengan sanad yang shahih)
Hadits ini menunjukkan tentang keutamaan belajar hadits nabawi. Dimana Rasulullah mendoakan langsung kepada mereka yang belajar hadits nabi Shallallahu Alaihi Wasallam. Hadits ini menjelaskan bagaimana cara belajar hadits? Yaitu, mendengarkan, kemudian memahami apa saja kandungan hadits, lalu menghafalnya dan baru disampaikan kepada orang lain. Ini merupakan fase-fase dalam menuntut ilmu hadits.
Mempelajari hadits Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam mempunyai keutamaan yang amat agung, imam An Nawawi Rahimahullah berkata,
إن من أهم العلوم تحقيق معرفة الأحاديث النبويات أعنى معرفة متونها صحيحها وحسنها وضعيفها وبقية أنواعها المعروفات ودليل ذلك أن شرعنا مبنى على الكتاب العزيز والسنن المرويات وعلى السنن مدار أكثر الأحكام الفقهيات فإن أكثر الآيات الفروعيات مجملات وبيانها في السنن المحكمات
”Sesungguhnya diantara ilmu yang paling penting adalah mempelajari hadits-hadits nabi, maksudnya mempelajari matan-matannya, shahih, hasan, dan dha’ifnya, dan ilmu-ilmu hadits lainnya, buktinya adalah: bahwa sesungguhnya syari’at kita berdasarkan kepada Al Qur’an dan sunnah, dan sunnah adalah poros hukum-hukum fiqih, dan kebanyakan ayat-ayat hukum adalah bersifat global, dan penjelasannya ada dalam sunnah”.
- Lebih Paham Alquran
Seorang yang paham hadits adalah orang lebih paham dengan alquran. Karena haditslah yang menjelaskan Al Qur’an bukan sebaliknya, kebanyakan ayat-ayat hukum adalah bersifat global dan penjelasannya ada dalam hadits-hadits Nabi.
Allah Ta’ala berfirman,
…. وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ (النحل: 44)
…. dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”. (An Nahl: 44)
Umar bin Khaththab Radhiallahu Anhu berkata,
إِنَّهُ سَيَأْتِي نَاسٌ يُجَادِلُونَكُمْ بِشُبُهَاتِ الْقُرْآنِ فَخُذُوهُمْ بِالسُّنَنِ فَإِنَّ أَصْحَابَ السُّنَنِ أَعْلَمُ بِكِتَابِ اللَّهِ”
”Akan datang kelak orang-orang yang mengajakmu dialog dengan menggunakan syubuhat Al Qur’an (ayat-ayat mutasyabihat), maka berdialoglah dengan sunnah, karena orang yang berilmu tentang sunnah lebih mengetahui kitabullah”. (Dikeluarkan oleh Ad Darimi)
- Membela Syari’at
Rasulullah bersabda,
يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُولُهُ يَنْفُونَ عَنْهُ تَأْوِيلَ الْجَاهِلِينَ وَانْتِحَالَ الْمُبْطِلِينَ وَتَحْرِيفَ الْغَالِينَ .
“Yang membawa hadits ini di setiap generasinya adalah orang-orang yang ‘adil, mereka meniadakan perubahan yang dilakukan oleh orang-orang yang ekstrim, pemalsuan orang-orang yang memalsukan, dan penafsiran orang-orang yang bodoh”.
Al Qasthalani Rahimahullah berkata, ”Hadits ini diriwayatkan oleh beberapa sahabat diantaranya Ali, ibnu Umar, ibnu ‘Amru, ibnu Mas’ud, ibnu ‘Abbas, Jabir bin Samurah, Mu’adz, dan Abu Hurairah. Dan ibnu ‘Adi menyebutkan banyak jalan yang semuanya lemah sebagaimana yang ditegaskanoleh Ad Daroquthni, Abu Nu’aim, dan ibnu ‘abdil Barr, akan tetapi menjadi kuat dengan banyaknya jalan sehingga menjadi hasan sebagaimana yang dipastikan oleh Al ‘Ala’I”.
Imam An Nawawi Rahimahullah berkata, ”Ini adalah pengabaran dari Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam mengenai penjagaan ilmu, pemeliharaannya dan keadilan para perawinya, dan bahwasannya Allah ta’ala memberi taufiq disetiap zaman kepada generasi yang adil untuk membawanya dan meniadakan perubahan darinya sehingga tidak hilang begitu saja”. (An Nawawi, Tahdzib asma wallughat 1/17, lihat qowa’id attahdits hal 49)
Al Qasimi Rahimahullah berkata, ”Di dalam hadits ini terdapat penghususan para pembawa sunnah dengan keistimewaan yang tinggi, pengagungan terhadap umat Muhammad, menjelaskan tentang mulianya kedudukan ahli hadits, dan tingginya martabat mereka di jagat raya. Karena mereka yang memelihara syari’at dan matan-matan riwayat dari perubahan yang dilakukan oleh orang-orang yang ekstrim dan penafsiran orang-orang bodoh dengan cara menukil nash-nash yang muhkamat untuk menjelaskan nash-nash yang mutasyabih (samar)”. (Al Qasimi, Qowa’id At Tahdits hal 49)
Al Khathib Al Baghdadi dalam mukadimah kitabnya “Syaraf ashhabil hadits” berkata, ”Allah telah menjadikan ahli hadits sebagai tonggak-tonggak syari’at, dengan mereka Allah hancurkan semua bid’ah yang buruk, mereka adalah umana (orang-orang yang terpercaya) Allah untuk makhluk-Nya, perantara antara Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dengan umatnya.
Mereka telah bersungguh-sungguh menjaga agamanya, cahaya mereka gemerlap, keutamaan mereka amat banyak, madzhab mereka menang, hujjah mereka amat kuat. Setiap kelompok biasanya rujuk kepada hawa nafsunya dan menganggap baik ra’yunya kecuali ashhabul hadits, mereka menjadikan Al Qur’an sebagai kekuatannya, dan sunnah sebagai hujjahnya. Mereka tidak pernah merujuk kepada hawa nafsu tidak pula menengok kepada ra’yu, mereka hanya menerima apa yang diriwayatkan dari Rasul…”
Imam Asy Syafi’I Rahimahullahu berkata, ”Kalau bukan karena adanya ahli hadits, tentu orang-orang zindiq berani berkhutbah di mimbar-mimbar”.
Imam Yahya bin Yahya At Tamimi guru imam Bukhari dan Muslim berkata, ”Membela sunnah lebih utama dari berjihad fisabilillah”. Seseorang berkata kepadanya, “bagaimana membela sunnah dikatakan lebih utama daripada orang yang menginfakkan hartanya, dan menyusahkan dirinya untuk berjihad, ternyata? beliau berkata,” Ya, bahkan jauh sekali.”
Sebab, semua orang bisa berperang dengan memanggul senjata. Tapi berperang dengan membela sunnah, membantah kesesatan, menjelaskan kepada manusia tentang jalan kebenaran hanyalah orang-orang yang diberikan oleh Allah kekuatan ilmu dien.
- Dijauhkan Allah Dari Kekafiran Dan Kesesatan
Allah Ta’ala berfirman,
وَكَيْفَ تَكْفُرُونَ وَأَنتُمْ تُتْلَى عَلَيْكُمْ آيَاتُ اللّهِ وَفِيكُمْ رَسُولُهُ وَمَن يَعْتَصِم بِاللّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ (آل عمران: 101)
“Bagaimanakah kamu (sampai) menjadi kafir, padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kamu? Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah, maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus”. (Ali Imran: 101)
Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ
“Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya”. (Hadits Shahih Lighairihi, HR. Malik; al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm. Dishahihkan oleh Syaikh Salim al-Hilali di dalam At Ta’zhim wal Minnah fil Intisharis Sunnah, hlm. 12-13)
- Merupakan Solusi Daripada Perpecahan Yang Ada Dalam Tubuh Umat Islam
Berpegang teguh kepada Sunnah (ajaran) Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan Sunnah (ajaran) para khulafaur rasyidin dan para sahabat inilah solusi di saat umat menghadapi perselisihan, tidak ada jalan lain! Beliau Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Aku wasiatkan kepada kamu untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat (kepada penguasa kaum muslimin), walaupun (ia) seorang budak Habsyi. Karena sesungguhnya, barangsiapa hidup setelahku, ia akan melihat perselishan yang banyak. Maka wajib bagi kamu berpegang kepada sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapatkan petunjuk dan lurus. Peganglah, dan giggitlah dengan gigi geraham. Jauhilah semua perkara baru (dalam agama), karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat”. (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, ad-Darimi; Ahmad; dan lainnya dari al-‘Irbadh bin Sariyah)
- Orang yang paling banyak bershalawat kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam
Karena setiap hadits yang mereka baca, akan selalu ada lafadz “قال رسول الله صلى الله عليه وسلم”
من صلى عليّ صلاة واحدة صلى الله عليه عشر صلوات وحطّت عنه عشر خطيئات ورفعت له عشر درجات
“barangsiapa bershalawat atasku sekali, Allah akan bershalawat padanya sepuluh kali, dihapuskan darinya sepuluh kejahatan, dan diangkatlah ia sepuluh derajat”. (HR. Imam At Tirmidzi dan dishahihkan oleh Syaikh al Albani)
- Paling Mengerti Bagaimana Cara Mempraktekkan Islam
Al Imam Al Barbahari Rahimahullahu Ta’ala berkata dalam kitab Syarh Sunnah:
اعلم أن الإسلام هو السنة والسنة هي الإسلام ولا يقوم أحدهما إلا بالآخر فمن السنة لزوم الجماعة و من رغب غير الجماعة وفارقها فقد خلع ربقة الإسلام من عنقه وكان ضالا مضلا .
“Ketahuilah, bahwa Islam adalah Sunnah dan Sunnah adalah Islam dan tidak akan tegak salah satunya kecuali dengan yang lain. Maka termasuk dari Sunnah adalah melazimi (senantiasa bersama dengan) Al Jama’ah. Barangsiapa yang senang kepada selain Al Jama’ah serta memisahkan diri darinya berarti dia telah menanggalkan ribqah (tali) Islam dari lehernya sehingga dia menjadi orang yang sesat lagi menyesatkan”.
Makna ungkapan “Islam adalah Sunnah” adalah bahwa agama Islam yang sempurna ialah yang diajarkan oleh Rasululah kepada umat beliau, sedangkan ajaran beliau tidak lain adalah Sunnah beliau. Inilah Islam yang benar, yang berjalan di atas Sunnah beliau Shallallahu Alaihi Wasallam, bukan Islam yang dipahami oleh kelompok sempalan atau organisasi tertentu, karena kepentingan politik tertentu, atau menurut tokoh tertentu. Namun, Islam yang benar adalah Islam yang selaras dengan Sunnah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam, baik dalam hal keyakinan, ibadah, akhlak, muamalah, etika, maupun yang lainnya (yakni tuntunan beliau secara utuh).
Maksud ungkapan “Sunnah adalah Islam” adalah segala yang beliau ajarkan itulah agama Islam. Beliau tidaklah berucap dan berbuat melainkan dengan bimbingan wahyu dari Allah Ta’ala. Maka dari itu, Sunnah beliau itulah agama Islam.
Banyak ayat al-Qur’an yang tidak bisa kita amalkan tanpa kita berpedoman pada as-Sunnah. Contoh paling mudah adalah ayat:
“Dan tegakkanlah shalat dan bayarlah zakat.” (An-Nur: 56)
Bagaimana cara shalat, berapa rakaatnya, dan kapan shalat dilaksanakan? Itulah pertanyaan yang pasti muncul apabila kita diperintah untuk shalat. Maka dari itu, kita tidak akan bisa melaksanakan perintah Allah Ta’ala dalam ayat tersebut tanpa berpedoman pada ajaran dan bimbingan Rasulullah.
Pada suatu hari, sahabat mulia bernama ‘Imran bin Hushain Radhiallahu Anhu menyampaikan hadits-hadits Rasulullah. Tiba-tiba, seorang pria memprotes, “Berilah kami ayat-ayat al-Qur’an saja!”
“Imran pun marah mendengarnya seraya mengatakan, “Sungguh, engkau orang yang dungu! Allah menyebutkan perintah zakat di dalam al-Qur’an, tetapi di manakah ketentuan bahwa pada tiap 200 ada jatah 5 dirham (yakni ketentuan 2,5%)? Allah menyebutkan perintah shalat di dalam al-Qur’an, tetapi di manakah ketentuan bahwa shalat zhuhur atau asar ada empat rakaat? Allah menyebutkan perintah thawaf dalam al-Qur’an, tetapi di manakah ketentuan bahwa thawaf di Ka’bah tujuh kali, sa’i antara Shafa dan Marwah juga tujuh kali?! Semua itu hukum yang ditetapkan oleh al-Qur’an dan ditafsirkan (diterangkan) oleh as-Sunnah.” (Lihat Ahadits fi Dzammil Kalam wa Ahlihi 2/81)
Rasulullah telah mengajarkan kepada kita perkara yang besar hingga perkara kecil seperti tata cara buang air. Sebagaimana kisah ketika seorang kafir jahiliyah ketika ia berkata kepada sahabat Salman Al-Farisi Radhiallahu Anhu,
قَدْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلَّ شَيْءٍ حَتَّى الْخِرَاءَةَ
“Sungguh Nabi kalian- Shallallahu Alaihi Wasallam- telah mengajari kalian tentang segala hal sampai tata cara buang air”.
Maka Salman menjawab,
أَجَلْ لَقَدْ نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ لِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِالْيَمِيْنِ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بَأَقَلَّ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بَرَجِيْعٍ أَوْ بِعَظْمٍ
“Benar, Sungguh kami dilarang menghadap kiblat saat buang air besar atau kecil, (kami juga dilarang) cebok dengan menggunakan tangan kanan atau cebok kurang dari 3 batu, atau cebok dengan kotoran hewan atau tulang”. (HR. Muslim, Abu Dawud dan lainnya)
- Menafsirkan Alquran
Bagaimana bisa seorang menafsirkan alquran jika tidak belajar hadits??
- Memahami Kaidah-Kaidah Kehidupan Beragama
Seperti bahwasanya segala macam amal tidak akan diterima kecuali dengan niat. Atau kaidah “Tidak boleh melakukan kemudharatan dan tidak boleh membalas mudharat dengan mudharat”. Dan kaidah-kaidah kehidupan beragama lainnya.
Sejarah Pencatatan Hadits Dan Pembelaan Ulama’ Terhadap Hadits
Sebagian besar ulama berpendapat bahwa larangan menulis hadits itu hanya pada awal islam, yang mana dikhawatirkan akan bercampurnya hadits dengan Al-Quran. Setelah jumlah kaum muslimin bertambah banyak dan merekapun memiliki pengetahuan yang baik terhadap Al-Quran, mampu membedakannya dari hadits-hadits nabawi, maka hilanglah kekhawatiran itu.
Adanya larangan menulis hadits itu karena kekhawatiran akan larutnya orang-orang dengan menulis hadits sehingga terlalai dari Al-Quran. Dan di sisi lain adalah dalam rangka menjaga atau melestarikan kekuatan hafalan kaum muslimin, karena berpatokan terhadap tulisan akan menyebabkan melemahnya hafalan. Maka di sini larangan berlaku untuk sahabat yang tidak diragukan kekuatan hafalannya, adapun yang tidak kuat hafalannya maka Rasulullah saw mengizinkannya untuk menulis, misalnya pada kasus Abu Syah.
Abu Syah adalah Umar bin Sa’ad Al-Anmari. Ketika itu penduduk Yaman yang meminta kepada Rasulullah sagar dicatatkan hadits yang disampaikan beliau ketika pidato pada peristiwa Fathul Mekah sehubungan dengan terjadinya pembunuhan yang dilakukan oleh Bani Khuza’ah terhadap salah seorang penduduk Bani Laits.
Larangan Rasulullah itu berlaku umum, dengan alasan (‘illat) karena dikhawatirkan bercampurnya hadits dan Al Quran, sehingga ‘illat ini dikecualikan kepada orang-orang yang dijamin tidak keliru dalam menulis semisal Abdullah bin Amru bin Ash yang dipercaya oleh Rasulullah dalam urusan ini.
Abdullah bin Amr bin ‘Ash (wafat th 65H) memiliki catatan hadits yang dibenarkan Rasulullah, sehingga dinamakan As-Shahifah Asshadiqah. Menurut suatu riwayat diceritakan bahwa orang-orang Quraisy mengkritik sikap Abdullah bin Amr yang selalu menulis apa yang datang dari Rasulullah. Mereka berkata, ”Engkau menuliskan apa saja yang datang dari rasul, padahal Rasul itu manusia yang bisa saja bicara dalam keadaan marah”. Kritikan ini disampaikan kepada Rasul, maka beliau bersabda yang artinya: “Tulislah! Demi dzat yang diriku berada ditangan-Nya, tidak ada yang keluar darinya, kecuali yang benar.” Hadits-hadits yang terhimpun dalam catatannya berkisar sekitar seribu hadits yang menurut pengakuannya diterima langsung dari Rasulullah, yaitu ketika ia berada disisi Rasul tanpa ada orang lain yang menemaninya.
Para sahabat selalu berhati-hati dalam meriwayatkan dan menerima hadits. Kehati-hatian dan usaha membatasi periwayatan yang dilakukan para sahabat, disebabkan kekhawatiran mereka akan terjadinya kekeliruan pada hadits. Mereka menyadari bahwa hadits merupakan sumber tasyri’ setelah Al-Qur’an yang harus terjaga dari kekeliruan. Karena itu, para sahabat, khususnya Khulafa Ar-Rasyidin dan sahabat lainnya, seperti Az-Zubair, Ibnu Abbas dan Abu Ubaidah berusaha memperketat periwayatan dan penerimaan hadits.
Untuk menghindari kesalahan periwayatan, Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu Anhu pernah meminta pengukuhan sahabat lain ketika seorang nenek datang padanya mengatakan “saya mempunyai hak atas harta yang ditinggal oleh para anak laki-laki saya.” Kata Abu Bakar, “saya tidak melihat ketentuan seperti itu, baik dari Al-Qur’an maupun dari hadits rasul”. Maka tampillah Muhammad Bin Maslamah sebagai saksi bahwa seoarang nenek mendapat bagian (1/6) dari harta peninggalan cucu dari anak laki-lakinya.
Kesimpulannya, bahwa sahabat Abu Bakar amat ketat dalam periwayatan hadits. Akan tetapi tidak perlu disalah pahami bahwa beliau tidak anti terhadap penulisan hadits. Bahkan, untuk kepentingan tertentu hadits nabi pernah ditulisnya.
Di antara cara Allah menjaga hadits Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam adalah dengan adanya sanad yaitu rantai perawi yang menyampaikan kepada matan hadits. Perhatian terhadap sanad di masa sahabat yaitu dengan menghapal sanad-sanad itu dan mereka mempuyai daya ingat yang luar biasa. Dengan adanya perhatian mereka maka terpelihara sunnah Rasul dari tangan-tangan ahli bid’ah dan para pendusta. Karenanya pula imam-imam hadis berusaha pergi dan melawat ke berbagai kota untuk memperoleh sanad yang terdekat dengan Rasul.
Oleh karena itu perhatian para ulama terhadap sanad hadits sangat besar. Abdullah bin Mubarak rahimahullah berkata:
الْإِسْنَادُ مِنْ الدِّينِ وَلَوْلَا الْإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ
“Sanad itu termasuk agama, kalau bukan karena sanad orang akan seenaknya menisbatkan (kepada Nabi) apa yang ia mau”. (Muslim dalam muqaddimah shahihnya)
Para ulama telah menyingsingkan lengan mereka bersungguh-sungguh membela hadits Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, mereka memeriksa sanad-sanad hadits dengan cara yaitu:
Pertama: Mengenal sejarah perawi hadits
Maksudnya adalah nama, kunyah, gelar, nisbat, tahun kelahiran dan kematian, guru-guru dan muridnya, tempat-tempat yang dikunjunginya, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan sejarah perawi tersebut, sehingga dari sini dapat diketahui sanad yang bersambung dengan sanad yang tidak bersambung seperti mursal, mu’dhal, mu’allaq, munqathi’ dan diketahui pula perawi yang majhul ‘ain atau hal, juga kedustaan seorang perawi.
Sufyan Ats Tsauri rahimahullah berkata: “Ketika para perawi menggunakan dusta, maka kami gunakan sejarah untuk (menyingkap kedustaan) mereka”.
Kedua: Memeriksa riwayat-riwayat yang dibawa oleh perawi dan membandingkannya dengan perawi lain yang tsiqah (terpercaya) baik dari sisi sanad maupun matan.
Dengan cara ini dapat diketahui kedhabitan (penguasaan) seorang perawi sehingga dapat divonis sebagai perawi yang tsiqah atau bukan, dengan cara ini pula dapat diketahui jalan-jalan sebuah periwayatan dan matan-matannya sehingga dapat dibedakan antara riwayat yang shahih, hasan, dha’if, syadz, munkar, mudraj, juga dapat mengetahui illat (penyakit) yang dapat mempengaruhi keabsahan riwayatnya dan lain sebagainya.
Ketiga: Merujuk buku asli perawi hadits.
Cara ini digunakan oleh para ahli hadits untuk mengetahui kebenaran seorang perawi yang mengaku mendengar dari seorang syaikh, mereka meneliti dengan seksama buku asli perawi tersebut bahkan diperiksa juga kertasnya, tintanya dan tempat penulisannya.
Keempat: Memeriksa lafadz dalam menyampaikan hadits.
Ketika menyampaikan hadits, para perawi menggunakan lafadz-lafadz sesuai dengan keadaan ia mengambil hadits tersebut, bila ia mendengar langsung dari mulut syaikh atau syaikh yang membacakan kepadanya hadits, biasanya digunakan lafadz “Haddatsana” dan bila dibacakan oleh murid kepada Syaikh biasanya menggunakan “Akhbarona” atau “Anbaana” dan ini semua lafadz-lafadz yang menunjukkan bahwa si perawi mendengar langsung dari Syaikh, dan ada juga lafadz-lafadz yang mengandung kemungkinan mendengar langsung atau tidak, seperti lafadz ‘an fulan (dari si fulan) atau qola fulan (berkata si fulan), lafadz seperti ini bisa dihukumi bersambung dengan dua syarat :
- a) Memungkinkan bertemunya perawi itu dengan syaikhnya, seperti ia satu zaman dengan syaikhnya dan lain-lain.
- b) Perawi tersebut bukan mudallis. Mudallis adalah perawi yang suka menggugurkan perawi yang lemah dari sanad antara ia dengan syaikhnya yang tsiqah dan banyak mengambil hadits dari syaikh tersebut, atau menggugurkan perawi yang lemah diantara dua syaikh yang tsiqah yang bertemu satu dengan lainnya agar terlihat sanadnya bersih dan tidak cacat.
Bila salah satu dari dua syarat ini tidak terpenuhi maka sanadnya dianggap tidak bersambung atau lemah.
Kelima: Memeriksa ketsiqahan perawi-perawi hadits.
Pemeriksaan para perawi hadits berporos pada dua point penting yaitu :
Kepribadian perawi dari sisi agama dan akhlaknya, atau yang disebut dalam ilmu hadits dengan ‘adaalah (adil). Bagaimana mengetahui keadilan perawi?
Jumhur ahli hadits berpendapat bahwa keadilan perawi dapat diketahui dengan salah satu dari dua cara, yaitu:
Pertama: Terkenal keadilannya.
Maksudnya perawi itu masyhur dikalangan ahli hadits kebaikannya dan banyak yang memujinya sebagai perawi yang amanah dan tsiqah, maka ketenaran ini sudah mencukupi dan tidak lagi membutuhkan kepada saksi dan bukti, seperti imam yang empat, Syu’bah, Sufyan bin ‘Uyainah dan Sufyan Ats Tsauri, Yahya bin Ma’in dan lain-lain.
Kedua: Pernyataan dari seorang imam.
Bila seorang perawi tidak ditemukan pujian (ta’dil) kecuali dari seorang imam yang faham maka diterima ta’dilnya selama tidak ditemukan padanya jarh (celaan) yang ditafsirkan.
Menguji Perawi
Bentuk-bentuk ujian kepada perawi bermacam-macam diantaranya adalah dengan membacakan padanya hadits-hadits lalu dimasukkan di sela-selanya periwayatan orang lain, jika ia dapat membedakan maka ia adalah perawi yang tsiqah dan jika tidak dapat memebedakannya maka ia kurang ketsiqahannya. Diantaranya juga adalah membolak balik matan dan sanad sebagaimana yang dilakukan oleh para ahli hadits Baghdad terhadap imam Bukhari Rahimahullahu.
Wallahu Ta’ala A’lam Bis Shawab
Copyright 2023, All Rights Reserved
Leave Your Comments