Follow us:

KUII VII Membahas Beragam Persoalan Keumatan

DARUSSALAM.ID, Jakarta – Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) VII membahas beragam persoalan yang dihadapi umat Islam di Indonesia, meliputi politik, keagamaan, media, ekonomi, dan pendidikan.

Wakil Ketua Umum MUI, Ustadz Zaitun Rasmin mengatakan, kongres ini tidak semata-mata hanya kepentingan umat Islam saja, melainkan kepentingan bangsa dan negara.

“Kongres ini tidak semata-mata berpikir untuk urusan umat, tapi urusan bangsa dan negara, jadi dari umat untuk bangsa dan negara kita,” terangnya pada konferensi pers menyambut KUII ke-7 di Gedung Pusat MUI, Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat, Jumat (07/02/2020).

Kongres antara lain akan melakukan penguatan strategi ekonomi. KUII dalam hal ini akan menyoroti pentingnya terwujudnya sistem ekonomi yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

“Konsepsi perekonomian berkeadilan dan berperadaban yang dilandasi nilai Ketuhanan. Implementasinya tetap mempertahankan persatuan dan asas kerakyatan yang berujung tercapainya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Melalui konsep ini, berbagai kesenjangan pendapatan dan ekonomi dapat diatasi,” bunyi keterangan Majelis Ulama Indonesia selaku penyelenggara KUII, di Jakarta, Jumat (07/02/2020).

Konsep ekonomi yang berketuhanan ini diharapkan akan membawa ekonomi berkeadilan dan beradab untuk menghilangkan berbagai kesenjangan antara kaya-miskin, pusat-daerah, antar daerah, dan kesenjangan produk nasional dengan produk luar.

Selain itu, kongres nanti akan membahas bidang politik, hinga saat ini kehidupan politik Indonesia yang cenderung semakin liberal-sekuler banyak mengabaikan nilai-nilai dasar Pancasila, UUD 1945 dan nilai-nilai luhur agama dan budaya bangsa. “Kecenderungan politik yang liberal-sekuler ini telah mengakibatkan praktek-praktek politik yang transaksional, koruptif, diskriminatif, kanibal dan oligarkis,” sebut MUI.

Strategi akan dirumuskan demi terwujudnya partai politik Islam dan partai berbasis umat Islam yang modern, kuat dan aspiratif, bersih dengan tata kelola yang baik, sehingga mampu melahirkan kepemimpinan politik yang efektif, transformatif, peka terhadap perubahan zaman, cepat dan tepat dalam mengambil kebijakan.

“Partai Islam dan partai berbasis umat Islam bekerja dalam kerangka NKRI dengan berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945 untuk mewujudkan kemaslahatan dan kesejahteraan umat dan bangsa, serta bisa diperhitungkan secara nasional dan internasional,” sebutnya.

Selain itu ada pula pembahasan di bidang hukum, menyoroti fakta bahwa penegakan hukum melalui lembaga peradilan belum mengakomodasi nilai keadilan dan kemanfataan bagi masyarakat, sehingga timbul pameo “hukum itu tumpul ke atas, tajam ke bawah”.

uga akan ada pembahasan di bidang media, bagaimana penguatan media di Indonesia yang mungkin akan menekankan pada dakwah di bidang media sosial.

Di kalangan umat Islam, internet paling banyak diakses oleh generasi milenial, kalangan Muslim kota dan kelas menengah.

“Fakta ini merupakan kesempatan bagi MUI untuk bisa memperluas dakwah. Selama ini, tiga elemen yang disebutkan ini bisa jadi mempunyai kesulitan akses untuk mengikuti pengajian atau ta’lim dengan sistem tatap muka, namun dengan media internet berbasis smartphone kemungkinan dakwah bisa tersebar luas ketiga kalangan ini,” sebutnya.

Merekalah yang akan meneruskan estafet perjuangan umat Islam. ‘Generasi muslim baru’ inilah nanti yang akan menentukan para umat Islam ke depan. Maka kemasan dakwah yang disajikan tentunya juga harus sejuai dengan kecenderungan para pengakses internet ini.

Pada bidang pendidikan, pembangunan pendidikan nasional di Indonesia masih dihadapkan pada berbagai tantangan serius, terutama dalam upaya meningkatkan kinerja bangsa yang mencakup; Pemerataan dan Perluasan Akses;  Peningkatan Mutu, Relevansi, dan Daya Saing; Penataan Tata Kelola, Akuntabilitas, dan Citra Publik; Peningkatan Pembiayaan; dan Akomodasi Kebudayaan dalam Pendidikan. Dengan demikian, upaya peningkatkan kinerja pendidikan nasional memerlukan suatu reformasi menyeluruh.

Sementara, masih menurut MUI, apa yang menjadi cita-cita pendidikan dan kebudayaan dalam perspektif Islam dan Pancasila adalah pendidikan yang religius, masih jauh dari amanat undang-undang. Pendidikan religius adalah sistem pendidikan yang tidak sekadar berorientasi pada tujuan kecerdasan dan keterampilan untuk bekerja yang bersifat pragmatis, akan tetapi menekankan pengembangan diri manusia yang memiliki nilai-nilai mulia, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain, serta untuk kehidupan dunia dan akhirat, dengan kata lain untuk menjadi manusia yang insan kamil.

Adapun di bidang filantropi (kedermawanan) Islam, KUII akan menyoroti tentang peluang dan optimalisasi filantropi Islam. World Giving Index, 2015-2019 menyebutkan dari total 164 negara di dunia, Indonesia masuk menjadi 10 negara paling dermawan di dunia dalam lima tahun terakhir. Pada tahun 2018 World Giving Index juga merilis kalau Indonesia menjadi negara paling dermawan di atas negara-negara lainnya. Penilaian kedermawanan ini dilihat dari aspek pemberian pertolongan kepada orang asing (stranger), tenaga kesukarelawanan, dan donasi berupa uang, barang dan atau jasa.

Badan Pusat Statistik pada tahun 2019 yang dikutip MUI menunjukkan ada sekitar 269,6 juta seluruh penduduk Indonesia, 87,17% di antaranya adalah masyarakat Muslim. Artinya, di tengah bonus demografi potensi kedermawanan masyarakat Muslim di Indonesia, utamanya di kalangan millenial, sangat besar. Meski dermawan, namun masyarakat Muslim Indonesia masih sedikit yang memahami pentingnya sumbangan pra dan pasca bencana kepada masyarakat yang berada di wilayah dengan potensi bencana alam yang besar. Umat Islam gemar menyumbang tetapi tidak ada kesadaran untuk melakukan kontrol terhadap penyaluran bantuan sosial kemanusiaan. Lembaga filantropi tumbuh dengan subur, tapi di lain pihak belum banyak lembaga profesional sehingga tidak terdata secara nasional, regional, maupun global.

Sementara pada persoalan keagamaan, kegagalan sebagian umat beragama dalam memahami pesan kemajuan dari ajaran agamanya. Ekspresinya adalah praktik al-ghuluw, yaitu berlebih-lebihan dalam tekstualisme dan rasionalisme Masih menurut MUI, ada dua hal kegagalan memahami sumber ajaran Islam, yaitu tekstualisme (tasyaddud/tafrith), liberalisme (tasahul/ ifrath), sekularisme dan sinkretisme.

Tekstualisme menyebabkan umat Islam berpikir sempit dalam memaknai Islam sehingga menjadi stagnan, fobia kemajuan dan perubahan, dan tertinggal derap zaman. Model tekstualisme agama inilah yang telah dipolitisasi, dikapitalisasi, dan diideologisasi tidak saja oleh oknum umat Islam, namun juga oleh oknum lainnya menjadi aksi ekstremisme dan terorisme berlatar belakang pemahaman agama.

Padahal, menurut MUI, umatan wasatha (ummah wasathiyah) menjadi role model umat terbaik (Khaira Ummah) dalam segala aspek kehidupan.

KUII ke-7 akan digelar di Bangka Belitung pada tanggal 26-29 Februari 2020. MUI mengambil tema besar yaitu “Strategi Perjuangan Umat Islam Indonesia dalam Mewujudkan NKRI yang Maju, Adil, dan Beradab”.

Rencanaya Presiden RI Joko Widodo dijadwalkan membuka kongres sementara Wakil Presiden RI, KH Ma’ruf Amin, akan diagendakan menutup perhelatan KUII ke-7.(Hud/Hidayatullah.Com)

Leave Your Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copyright 2023, All Rights Reserved