Follow us:

Mengikuti Generasi Terbaik

Sesungguhnya mengetahui dan mengenal nikmat, merupakan diantara rukun utama dalam bersyukur. Abu Darda’ Radhiallahu Anhu mengatakan, “Barang siapa yang tidak mengetahui nikmat Allah selain makanan dan minumnya, maka bererti ilmunya adalah sedikit dan adzab telah menimpanya”.

Nikmat Allah tidak terhingga banyaknya dan diantara yang utama yang perlu untuk kita sadari dan syukuri bukan hanya kenikmatan zhahir berupa makanan, minuman dan kesehatan anggota badan. Lebih dari itu yaitu bersyukur atas kenikmatan batin yaitu nikmat Islam dan Iman.

Demi Allah, inilah nikmat yang terbesar, dimana Allah menjadikan kita sebagai Muslim. Sufyan Ibnu Uyainah berkata, “Tidak ada satu nikmat pun dari Allah untuk hambaNya yang lebih utama, daripada diajarkannya kalimat tauhid”.

Salah satu kewajiban besar dalam hidup ini adalah mencintai Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya  melebihi yang lainnya. Namun, segala sesuatu itu ada syaratnya. Termasuk dalam hal mencintai Allah. Karena sesungguhnya ucapan cinta bukan perkataan tanpa makna, ucapan cinta adalah satu perkataan yang mengandung konsekuensi yang harus ditunaikan dan ada hak yang didapatkan.

Syarat Mencintai Allah

Lalu, apa syarat dalam mencintai Allah? Ibnu Qayyim Rahimahullahu menyebutkan bahwa ada 4 perkara yang harus diperhatikan dalam mencintai Allah dan Rasul-Nya:

  • Mengetahui apa saja yang dicintai Allah dan apa saja yang dicintai Rasul-Nya. Jika seseorang tidak mengetahui apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh kecintaannya adalah pengakuan kosong tanpa makna.

Bagaimanakah seorang hamba bisa mengetahui apa yang dicintai dan diridhoi oleh Allah? Seorang hamba dapat mengetahuinya dengan diutusnya para rasul, diturunkannya kitab-kitab yang memerintahkan kepada apa yang dicintai dan diridhoi oleh Allah dan melarang dari apa yang dibenci dan tidak disenangi oleh Allah, maka dengan ini tegaklah pondasi (al-Qur’an dan Sunah) dan hikmah darinya. Allah berfirman:

رُّسُلاً مُّبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ لِئَلاَّ يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا

“(Mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu”. (An-Nisaa’: 165)

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali-Imran: 31)

Imam Ibnu Rajab (wafat th. 795 H) Rahimahullah mengatakan bahwa ilmu yang bermanfaat membimbing seseorang kepada dua hal. Pertama, mengenal Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan segala yang menjadi hak-Nya berupa nama-nama yang maha indah, sifat-sifat-Nya yang maha tinggi, dan perbuatan-perbuatan yang maha agung. Ini menuntut adanya pengagungan, rasa takut, cinta, harap, dan tawakkal kepada Allâh Azza wa Jalla serta ridha terhadap takdir dan sabar atas segala musibah yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala berikan. Kedua, mengetahui segala yang diridhai dan dicintai Allâh Azza wa Jalla dan menjauhi segala yang dibenci dan dimurkai-Nya, berupa keyakinan, perbuatan, baik yang lahir dan bathin serta ucapan. Ini mengharuskan orang yang mengetahuinya untuk bergegas melakukan segala yang dicintai dan diridhai Allâh Azza wa Jalla dan menjauhi segala yang dibenci dan dimurkai-Nya.

Apabila ilmu-ilmu itu sudah melahirkan hal-hal ini pada diri pemiliknya, maka itulah ilmu yang bermanfaat. Ketika ilmu itu bermanfaat dan menancap dalam hati, maka sungguh, hati akan khusyu (tunduk), takut, tunduk, mencintai dan mengagungkan Allâh Subhanahu wa Ta’ala , jiwa merasa cukup dan puas dengan sesuatu yang halal meskipun sedikit dan merasa kenyang dengannya sehingga menjadikannya qanaah dan zuhud terhadap dunia…”. [Fadhlu ‘Ilmi Salaf ‘alal Khalaf, hlm. 47]

  • Mengetahui perkara apa saja yang dibenci oleh Allah Ta’ala dan apa saja yang dibenci Rasul-Nya.
  • Mengetahui siapa saja yang dicintai Allah dan siapa saja yang dicintai Rasul-Nya. Hal ini diperlukan untuk mengetahui siapa wali Allah dari orang-orang beriman dan siapa saja yang termasuk wali syetan.
  • Mengetahui siapa saja yang dibenci Allah dan siapa saja yang dibenci Rasul-Nya.

Itulah empat perkara yang menandakan kesempurnaan seorang muslim dalam mereka menata iman dan kecintaannya kepada Allah Ta’ala. Sehingga barangsiapa dalam kehidupannya mengumpulkan empat perkara ini maka mereka adalah orang yang sempurna cintanya kepada Allah Ta’ala.

Yang kita bahas adalah point ketiga, karena fitnah besar hari ini adalah banyaknya orang yang keliru menempatkan walinya Allah dalam kategori walinya syetan begitu juga dengan sebaliknya. Hal ini menyebabkan kehidupan iman seseorang terancam dan kehidupan cintanya tidak mendapatkan kebaikan dari Allah ketika ia berkumpul dengan orang-orang yang tidak sesuai dengan apa yang Allah Ta’ala cintai.

Untuk apa mengetahui siapa yang dicintai oleh Allah Ta’ala? Agar tidak salah menentukan orang-orang yang kita ikuti dalam hal ibadah dan dalam tata cara kehidupan. Mengetahui perkara ini adalah penting, sebab karakter manusia itu “mengikuti”. Karena jika manusia salah dalam mengikuti sesuatu yang tidak sesuai dengan alquran dan assunnah, maka apa yang diikuti tersebut akan menyebabkan sebuah kecelakaan dalam kehidupan dunia dan akherat.

Bukankah alquran telah menceritakan penyesalan penduduk neraka, sebab salah mengikuti perbuatan para pemimpinnya?!

يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولَا{66} وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا{67}

“Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikan dalam neraka, mereka berkata: “Alangkah baiknya, Andaikata kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul. Dan mereka berkata: “Ya Tuhan kami, Sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar)”. (Al Ahzab: 66-67)

Suatu ketika Umar bin Khatthab Radhiallahu Anhu berkata kepada Ziyad bin Hudair: “Apakah kamu mengerti apa yang merusak Islam?” Ziyad berkata: “Tidak.” Umar berkata: “Tergelincirnya seorang alim (ulama), debatnya orang munafik -dengan ayat Al-Qur’an- dan (penetapan) hukumnya para imam yang menyesatkan.” (Riwayat Ad-Darimi)

Ketika tiga unsur perusak Islam ini dalam satu wadah: (yaitu ulama yang tergelincir —pada kebatilan atau kesesatan—, orang munafik yang membantah dengan dalih Al-Qur’an, dan para pemimpin yang keputusannya menyestkan) itu bersatu padu, maka benar-benar dahsyat perusakannya terhadap Islam.

Kerusakan yang dimaksud bukan berarti kerusakan benda, melainkan menghasut orang-orang kafir untuk memusuhi dan menentang orang-orang Islam. Ketika mereka melancarkan pengakuan yang dusta, sasarannya agar umat islam tertipu. Dan ketika menghalalkan perusakan, agar perusakan itu diikuti, bahkan diterapkan bersama-sama. Padahal ketika diikuti justru kerusakan agama lah yang terjadi, karena telah dibengkokkan, walau masih atas nama agama. Sehingga tampaknya adalah perbaikan (yaitu agama yang lurus), jalan bagi para manusia agar selamat di dunia dan akherat, namun sebenarnya sudah dibengkokkan bahkan telah merusak keyakinan beragama.

Siapa Orang Yang Dicintai Oleh Allah Selain Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam?

Tiada lain kecuali para sahabat Radhiallahu Anhum. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,

وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar”. (At Taubah: 100)

Ibnu Katsir menyebutkan faedah dari ayat ini:

  1. Para sahabat adalah orang-orang yang diridhai oleh Allah
  2. Kewajiban mengikuti kehidupan sahabat dengan cara yang benar dan jujur dalam hal pemahaman, manhaj, ibadah, muamalah dan sebagainya.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِفْتَرَقَتِ الْيَهُوْدُ عَلٰى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةَ، وَتَفَرَّقتِ النَّصَارَى عَلٰى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةَ، وَتَفْتَرِقُ إُمَّتِيْ عَلٰى ثَلاثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةَ

Dari Abu Hurairah Radhiallahu Anhu ia berkata: telah bersabda Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wasallam: ”Kaum Yahudi telah terpecah menjadi 71 (tujuh puluh satu) golongan atau 72 (tujuh puluh dua) golongan, dan kaum Nashrani telah terpecah menjadi 71 (tujuh puluh satu) atau 71 (tujuh puluh dua) golongan. Dan umatku akan terpecah menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan”. (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan lainnya)

عَنْ أَبِيْ عَامِرٍ الْهُوزَنِيْ عَنْ مُعَاوِيَّةَ بْنِ أَبِيْ سُفْيَانَ أَنَّهُ قَامَ فِيْنَا فَقَالَ أًلا إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ فِيْنَا فَقَالَ : أَلا إِنَّ مِنْ قَبْلِكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوْا عَلٰى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً، وَإِنْ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلٰى ثَلاثِ وَسَبْعِيْنَ اثْنَتَانِ وَسَبْعِوْنَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ

Dari Abu ‘Aamir Al-Huzaniy, dari Mu’awiyyah bin Abi Sufyan bahwasannya ia (Mu’awiyyah) pernah berdiri di hadapan kami, lalu ia berkata: Ketahuilah, sesungguhnya Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wasallam pernah bediri di hadapan kami, kemudian beliau bersabda: “Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) terpecah menjadi 72 (tujuh puluh dua) golongan, dan sesungguhnya umat ini akan terpecah menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan. (Adapun) yang tujuh puluh dua akan masuk neraka dan satu golongan akan masuk surga, yaitu ”Al-Jama’ah”. (HR. Abu Dawud, Ahmad, Hakim dan lainnya)

Mengapa Kita Harus Mengikuti Kehidupan Sahabat Radhiallahu Anhum?

Ibnu al-Qayyim Rahimahullah berkata: “Dan semua sahabat kembali ke­pada jalan Alloh, maka wajib bagi kita semua mengikuti jalan me­reka, baik dalam perkataan dan perbuatannya. Adapun mereka kembali kepada jalan Alloh Ta’ala, bacalah surat asy-Syura: 13. (I’lamul Muwaqi’in  4/113)

  • Kita bisa mengetahui aqidah dan cara ibadah dan muamalah lewat para   sahabat,   mereka telah lebih dahulu beriman, beramal dan berdakwah.
  • Mustahil umat Islam akan bersatu tanpa kembali kepada pemahaman    Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata: “Termasuk Ushul as-Sunnah yang pertama; Berpegang teguh dengan apa yang diilmui oleh para sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam (Ushul as-Sunnah: 25)

Ibnu Mas’ud Radhiallahu Anhu berkata: “Jika kamu ikut orang, ikutilah sahabat Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam, karena mereka adalah manusia yang paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, paling sedikit bebannya, yang paling mendapatkan petunjuk, yang paling baik perangai dan akhlaqnya. Mereka dipilih oleh Allah untuk menemani Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, maka kenalilah keutamaan mereka dan ikuti jejak mereka, karena mereka di atas jalan yang lurus”. (Dikeluarkan Ibnu Abdil Bar Kitab Jami’ Bayanil Ilmi: 1810)

Imam Malik rahimahullah berkata: “Dan tidak akan baik perkara umat pada zaman sekarang ini melainkan kembali seperti pendahulunya (para sahabat)”. (Lihat Qashidah Ibnu Abi Dawud, 1/62)

Kehidupan sahabat merupakan contoh kehidupan nyata yang sangat mengharukan, mengagumkan dan patut menjadi renungan, pelajaran dan contoh bagi kita semua. Sebagai contoh, para sahabat selalu mendengar dan taat kepada apa yang difirmankan oleh Allah Ta’ala dan apa yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.

Jodoh Untuk Julaibib

Namanya Julaibib, begitulah dia biasa dipanggil. Nama ini sendiri mungkin sudah menunjukkan ciri fisiknya yang kerdil dan pendek. Nama Julaibib adalah nama yang tidak biasa dan tidak lengkap. Nama ini, tentu bukan ia sendiri yang menghendaki. Bukan pula orangtuanya. Julaibib hadir ke dunia tanpa mengetahui siapa ayah dan ibunya. Demikian pula orang-orang, semua tidak tahu, atau tidak mau tahu tentang nasab Julaibib. Bagi masyarakat Yatsrib, tidak bernasab dan tidak bersuku adalah cacat sosial yang sangat besar.

Tampilan fisik dan kesehariannya juga menjadi alas an sulitnya orang lain ingin berdekat-dekat dengannya. Wajahnya jelek terkesan sangar, pendek, bunguk, hitam, dan fakir. Kainnya usang, pakaiannya lusuh, kakinya pecah-pecah tidak beralas. Tidak ada rumah untuk berteduh, tidur hanya berbantalkan tangan, berkasurkan pasir dan kerikil. Tidak ada perabotan, minum hanya dari kolam umum yang diciduk dengan tangkupan telapak tangan. Abu Barzah, pemimpin Bani Aslam, sampai-sampai berkata tentang Julaibib, “Jangan pernah biarkan Julaibib masuk diantara kalian! Demi Allah jika dia berani begitu, aku akan melakukan hal yang mengerikan padanya!” demikianlah keadaan Julaibib pada saat itu.

Namun jika Allah berkehendak menurunkan rahmatNya, tidak satu makhluk pun bisa menghalangi. Julaibib menerima hidayah, dan dia selalu berada di shaf terdepan dalam shalat maupun jihad. Meski hampir semua orang tetap memperlakukannya seolah ia tiada, tidak begitu dengan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Julaibib yang tinggal di shuffah Masjid Nabawi, suatu hari ditegur oleh Sang Nabi, “Julaibib…”, begitu lembut beliau memanggil, “Tidakkah engkau menikah?”

“Siapakah orangnya Ya Rasulallah, yang mau menikahkan putrinya dengan diriku ini?” kata Julaibib.

Julaibib menjawab dengan tetap tersenyum. Tidak ada kesan menyesali diri atau menyalahkan takdir Allah pada kata-kata maupun air mukanya. Rasulullah juga tersenyum. Mungkin memang tidak ada orang tua yang berkenan pada Julaibib. Tapi hari berikutnya, ketika bertemu dengan Julaibib, Rasulullah menanyakan hal yang sama. “Julaibib, tidakkah engkau menikah?”. Dan Julaibib menjawab dengan jawaban yang sama. Begitu, begitu, begitu. Tiga kali. Tiga hari berturut-turut.

Dan di hari ketiga itulah, Sang Nabi menggamit lengan Julaibib dan membawanya ke salah satu rumah seorang pemimpin Anshar. “Aku ingin menikahkan putri kalian”, kata Rasulullah pada si empunya rumah”.

“Betapa indahnya dan betapa barakahnya”, begitu si wali menjawab berseri-seri, mengira bahwa sang Nabi lah calon menantunya. “Ooh.. Ya Rasulallah, ini sungguh akan menjadi cahaya yang menyingkirkan temaram di rumah kami.”

“Tetapi bukan untukku”, kata Rasulullah, “ku pinang putri kalian untuk Julaibib”

“Julaibib?”, nyaris terpekik ayah sang gadis

“Ya. Untuk Julaibib.”

“Ya Rasulullah”, terdengar helaan nafas berat. “Saya harus meminta pertimbangan istri saya tentang hal ini”

“Dengan Julaibib?”, istrinya berseru, “Bagaimana bisa? Julaibib berwajah lecak, tidak bernasab, tidak berkabilah, tidak berpangkat, dan tidak berharta. Demi Allah tidak. Tidak akan pernah putri kita menikah dengan Julaibib”

Perdebatan itu tidak berlangsung lama. Sang putri dari balik tirai berkata anggun, “Siapa yang meminta?” Sang ayah dan sang ibu menjelaskan.

“Apakah kalian hendak menolak permintaan Rasulullah? Demi Allah, kirim aku padanya. Dan demi Allah, karena Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam yang meminta, maka tiada akan dia membawa kehancuran dan kerugian bagiku”. Sang gadis yang shalehah lalu membaca ayat ini:

“Dan tidaklah patut bagi lelaki beriman dan perempuan beriman, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”. (QS. Al Ahzab: 36)

Tak terbanyang kebahagiaan yang meliputi hati Julaibib Radhiallahu Anhu. Istri yang shalihah akan segera menjadi pendamping hidupnya. Kehidupan baru akan segera ia jalani.

Namun, kiranya angan-angan itu serasa hilang, ketika panggilan jihad mengetuk hatinya. Karena pada saat yang bersamaan, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam memerintahkan kepada kaum muslimin agar berjihad di jalan Allah. Julaibib Radhiyallahu anhu dalam kebimbangan. Ia bingung manakala harus memilih antara istri shalihah, kebahagiaan, atau mati syahid yang selama ini dicita-citakannya?! Akhirnya, ternyata kerinduan terhadap mati syahid di medan perang menjadi pilihannya.

Maka berangkatlah Julaibib Radhiallahu Anhu menuju medan perang. Dia tinggalkan calon istrinya yang shalihah dan kebahagiaan yang akan segera ia peroleh, demi menyambut panggilan Rabbnya, yaitu berjihad di jalan-Nya.

Sudah menjadi kebiasaan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Beliau sangat memberi perhatian kepada para sahabatnya usai peperangan. Biasanya beliau Shallallahu Alaihi Wasallam menanyakan siapa saja yang syahid dalam peperangan itu.

Rasulullah bertanya kepada para sahabatnya: “Siapa saja yang gugur di jalan Allah?”

Mereka menjawab: “Fulan dan fulan, wahai Rasulullah”.

 

Mereka tidak menyebutkan nama yang dicari oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yakni Julaibib Radhiallahu Anhu. Maka Rasulullah kembali menanyakan kepada para sahabat, dan jawaban mereka sama.

Kemudian beliau Shallallahu Alaihi Wasallam berseru: “Sesungguhnya aku telah kehilangan salah seorang sahabatku, Julaibib. Carilah ia!”

Para sahabat segera mencari jasad Julaibib Radhiallahu Anhu. Dan mereka mendapatkan jasadnya tersungkur. Di sekelilingnya terdapat tujuh jasad orang kafir. Segeralah para sahabat memberitahukan kepada Rasulullah tentang Julaibib Radhiallahu Anhu, maka Rasulullah segera menghampiri jasadnya. Beliau Shallallahu Alaihi Wasallam berdiri di sampingnya dan bersabda: “Dia telah membunuh tujuh orang ini, kemudian mereka membunuhnya. Sesungguhnya, ia adalah aku, dan aku adalah dia”. Rasulullah mengucapkannya sebanyak tiga kali. Kemudian, dengan penuh lemah lembut dan kasih sayang beliau Shallallahu Alaihi Wasallam mengangkat jasadnya dan menyandarkan di lengannya.

Para sahabat mempersiapkan liang lahat untuknya, dan Rasulullah terus menyandarkan jasad Julaibib Radhiallahu Anhu di lengannya, sampai akhirnya ia dikuburkan. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmatinya.

Itulah akhir kehidupan Sahabat Julaibib Radhiallahu Anhu. Beliau menutup lembaran-lembaran amalnya dengan mati syahid di jalan Allah. (Usud al-Ghabah fi Ma’rifati ash-Shahabah)

Semangat Sahabat Jabir Bin Abdullah Menuntut Ilmu

Jabir bin Abdullah Radhiallahu Anhu pernah melakukan perjalanan 2 bulan bolak-balik dari Madinah ke Syam, hanya untuk menanyakan satu hadits saja. Beliau mendengar sebuah hadits yang diucapkan di Madinah: “kelak pada hari kiamat, manusia akan dikumpulkan dalam keadaan telanjang badan dan kaki, serta tidak berkhitan”, kemudian Jabir bertanya kepada orang yang mengucapkan hadits itu: “apakah kamu mendengarnya dari Rasulullah? “Tidak, saya mendengarnya dari Abdullah bin Unais”, “sekarang dimanakah ia tinggal? “Di Syam, jawabnya”. Lalu Jabir pulang untuk menukar perabotannya dengan kuda, dan berangkat menuju ke Syam. Setelah bertemu dengan Abdullah bin Unais di Syam, ia kaget, gerangan apa yang membuat Jabir datang ke Syam dari Madinah, apakah ada urusan besar yang ingin dilakukan? Jabir tidak cerita apapun kecuali hanya ingin mengetahui kejelasan hadits yang di dengarnya bahwa “kelak pada hari kiamat, manusia akan dikumpulkan dalam keadaan telanjang badan dan kaki, serta tidak berkhitan”, lalu bertanya: “apakah engkau mendengar langsung dari Rasulullah? Iya, saya mendengarnya dari Rasulullah, jawab Abdullah bin Unais. Kemudian Jabir kembali pulang ke Madinah.

Sahabat Yang Bersih Hatinya Dijanjikan Masuk Surga

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: “Pada suatu hari kami sedang duduk-duduk bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Beliau lalu bersabda:

يَطْلُعُ عَلَيْكُمُ الْآنَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ

“Saat ini akan muncul kepada kalian seorang laki-laki dari kalangan penghuni surga.”

Tiba-tiba muncul seorang laki-laki dari kalangan sahabat Anshar, jenggotnya masih meneteskan bekas air wudhu, sedang tangan kirinya memegang kedua sandalnya.

Keesokan harinya, saat kami sedang duduk-duduk bersama bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam, beliau kembali bersabda:

يَطْلُعُ عَلَيْكُمُ الْآنَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ

“Saat ini akan muncul kepada kalian seorang laki-laki dari kalangan penghuni surga.” Tak berapa lama kemudian, laki-laki Anshar yang sama kembali muncul di hadapan kami.

Keesokan harinya, saat kami sedang duduk-duduk bersama bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam, beliau kembali bersabda:

يَطْلُعُ عَلَيْكُمُ الْآنَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ

“Saat ini akan muncul kepada kalian seorang laki-laki dari kalangan penghuni surga.” Tak berapa lama kemudian, laki-laki Anshar yang sama kembali muncul di hadapan kami. Jenggotnya masih meneteskan bekas air wudhu, sedang tangan kirinya memegang kedua sandalnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam kemudian berdiri dan kami pun bubar. Pada saat itulah Abdullah bin Amru bin Ash mengikuti laki-laki Anshar yang tiga kali muncul di hadapan kami setelah disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam.

“Saya sedang terlibat cek-cok dengan ayah saya. Saya telah bersumpah tidak akan masuk ke rumahnya selama tiga hari. Jika Anda berkenan, saya ingin menginap di rumah Anda selama tiga hari ini.” Kata Abdullah bin Amru, mencari-cari alasan untuk bisa menginap di rumah sahabat Anshar tersebut.

“Ya, silahkan.” Jawab sahabat Anshar tersebut.

Anas bin Malik berkata: “Abdullah bin Amru bin Ash telah menceritakan bahwa ia telah menginap di rumah sahabat Anshar tersebut selama tiga malam. Selama itu, Abdullah bin Amru tidak pernah melihatnya sedikit pun melakukan shalat malam. Jika ia terbangun di waktu malam, ia hanya membolak-balikkan badannya di atas ranjangnya, berdzikir dan bertakbir, kemudian tidur kembali. Ia baru bangun kembali jika waktunya melaksanakan shalat Subuh.”

Abdullah bin Amru berkata, “Hanya saja aku tidak pernah berbicara kecuali hal-hal yang baik. Tiga malam telah berlalu dan aku hampir saja menganggap remeh amal perbuatannya. Maka aku pun menceritakan kepadanya tujuanku.

“Wahai Abdullah (hamba Allah), sebenarnya antara aku dan bapakku tidak ada kemarahan, juga tidak ada hal yang mengharuskanku meninggalkannya. Namun aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda sebanyak tiga kali tentang dirimu:

يَطْلُعُ عَلَيْكُمُ الْآنَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ

“Saat ini akan muncul kepada kalian seorang laki-laki dari kalangan penghuni surga.”

Maka engkau muncul sebanyak tiga kali. Oleh karena itu aku ingin tidur di rumahmu agar aku bisa melihat amal perbuatanmu, sehingga aku bisa meneladaninya. Namun aku tidak melihatmu melakukan banyak amal kebajikan. Jika begitu, amalan apa yang menyampaikanmu kepada kedudukan yang telah disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam tersebut?”

Laki-laki Anshar itu menjawab, “Amal kebaikanku hanyalah amal yang telah engkau lihat. Hanya itu amalku.”

Abdullah bin Amru berkata: “Ketika aku hendak berjalan pulang, tiba-tiba laki-laki Anshar itu memanggilku kembali dan berkata:

مَا هُوَ إِلَّا مَا رَأَيْتَ، غَيْرَ أَنِّي لَا أَجِدُ فِي نَفْسِي لِأَحَدٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ غِشًّا، وَلَا أَحْسُدُ أَحَدًا عَلَى خَيْرٍ أَعْطَاهُ اللهُ إِيَّاهُ

“Amalku hanyalah amal yang telah engkau lihat. Namun di dalam jiwaku sama sekali tidak pernah terbetik rasa ghisy (tidak tulus) terhadap seorang muslim pun, dan aku juga tidak pernah iri kepada seorang pun atas sebuah nikmat yang Allah karuniakan kepadanya.”

Mendengar penuturan tersebut, Abdullah bin Amru berkataku:

هَذِهِ الَّتِي بَلَغَتْ بِكَ، وَهِيَ الَّتِي لَا نُطِيقُ

“Inilah sebenarnya amalan yang telah mengantarkanmu kepada kedudukan tersebut. Dan justru inilah amalan yang kami belum sanggup melakukannya.”

(HR. Ahmad, Abdur Razzaq, Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, Al-Baghawi dan An-Nasai dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata: Sanadnya shahih menurut syarat Bukhari dan Muslim)

Ketulusan Khalid bin Walid Saat Dilengserkan Dari Jabatan Jenderal

Di penghujung pertempuran menjelang akhir, datang seorang utusan kepada Khalid Bin Walid Radhiallahu Anhu. Utusan Khalifah yang baru, Umar Bin Khattab Radhiallahu Anhu yang menggantikan Abu Bakar Radhiallahu Anhu yang telah wafat. Surat itu berisi pemberhentian Khalid dari jabatannya sebagai panglima perang dengan Abu Ubaidah Radhiallahu Anhu sebagai pengganti.

Dengan tenang Khalid bin Walid membaca surat itu dan meminta kepada kurir untuk tidak memberitahukan isi surat kepada siapa pun sampai peperangan berakhir. Pertimbangan Khalid saat itu adalah khawatir instruksi dari Khalifah ini dapat memecah konsentrasi pasukan muslimin. Pertempuran terus berlanjut sampai akhirnya pasukan muslimin dapat mencapai kemenangan.

Usai pertempuran yang melelahkan, saat peluh masih membasah, luka masih belum terobati,  darah masih menetes di ujung pedang. Sang Pedang Allah bergegas menjumpai Abu Ubaidah untuk menyampaikan pesan pengangkatannya sebagai panglima pengganti dirinya. Pemecatan Khalid oleh Khalifah Umar bukan sama sekali dilandasi ketidaksukaan. Tapi lebih didasarkan atas firasyatul mu’min untuk menyelamatkan aqidah umat dan keimanan Khalid sendiri.

Kemenangan demi kemenangan yang dicapai Khalid dalam pertempuran menjadikan namanya harum semerbak, popularitasnya memuncak. Tapi prestasi spektakulernya ini membawa pada kecenderungan pengkultusan akan dirinya. Khalifah Umar membaca ini dan khawatir umat terperosok, begitu juga Khalid akan mendapatkan fitnah yang besar.

Selanjutnya Khalid kembali berjuang di bawah kendali mantan anak buahnya sebagai jundi al-muthi’ah tanpa mempedulikan statusnya yang “turun pangkat”. Ketika dikonfirmasi tentang pemecatan dirinya, beliau menjawab: “Aku berperang bukan untuk Abu Bakar dan Umar tapi karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala”.

Sahabat Adalah Orang Yang Paling Cepat Taubatnya

Dari Buraidah dia berkata: “Ma’iz bin Malik Al Aslami pergi menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah menzhalimi diriku, karena aku telah berzina, oleh karena itu aku ingin agar anda berkenan membersihkan diriku.” Namun beliau menolak pengakuannya. Keesokan harinya, dia datang lagi kepada beliau sambil berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah berzina.” Namun beliau tetap menolak pengakuannya yang kedua kalinya. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus seseorang untuk menemui kaumnya dengan mengatakan: “Apakah kalian tahu bahwa pada akalnya Ma’iz ada sesuatu yang tidak beres yang kalian ingkari?” mereka menjawab, “Kami tidak yakin jika Ma’iz terganggu pikirannya, setahu kami dia adalah orang yang baik dan masih sehat akalnya.” Untuk ketiga kalinya, Ma’iz bin Malik datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk membersihkan dirinya dari dosa zina yang telah diperbuatnya. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun mengirimkan seseorang menemui kaumnya untuk menanyakan kondisi akal Ma’iz, namun mereka membetahukan kepada beliau bahwa akalnya sehat dan termasuk orang yang baik. Ketika Ma’iz bin Malik datang keempat kalinya kepada beliau, maka beliau memerintahkan untuk membuat lubang ekskusi bagi Ma’iz. Akhirnya beliau memerintahkan untuk merajamnya, dan hukuman rajam pun dilaksanakan”.

Buraidah melanjutkan, “Suatu ketika ada seorang wanita Ghamidiyah datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, diriku telah berzina, oleh karena itu sucikanlah diriku.” Tetapi untuk pertama kalinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menghiraukan bahkan menolak pengakuan wanita tersebut. Keesokan harinya wanita tersebut datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sambil berkata, “Wahai Rasulullah, kenapa anda menolak pengakuanku? Sepertinya engkau menolak pengakuanku sebagaimana engkau telah menolak pengakuan Ma’iz. Demi Allah, sekarang ini aku sedang mengandung bayi dari hasil hubungan gelap itu.” Mendengar pengakuan itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sekiranya kamu ingin tetap bertaubat, maka pulanglah sampai kamu melahirkan.” Setelah melahirkan, wanita itu datang lagi kepada beliau sambil menggendong bayinya yang dibungkus dengan kain, dia berkata, “Inilah bayi yang telah aku lahirkan.” Beliau lalu bersabda: “Kembali dan susuilah bayimu sampai kamu menyapihnya.” Setelah mamasuki masa sapihannya, wanita itu datang lagi dengan membawa bayinya, sementara di tangan bayi tersebut ada sekerat roti, lalu wanita itu berkata, “Wahai Nabi Allah, bayi kecil ini telah aku sapih, dan dia sudah dapat menikmati makanannya sendiri.” Kemudian beliau memberikan bayi tersebut kepada seseorang di antara kaum muslimin, dan memerintahkan untuk melaksanakan hukuman rajam. Akhirnya wanita itu ditanam dalam tanah hingga sebatas dada. Setelah itu beliau memerintahkan orang-orang supaya melemparinya dengan batu. Sementara itu, Khalid bin Walid ikut serta melempari kepala wanita tersebut dengan batu, tiba-tiba percikan darahnya mengenai wajah Khalid, seketika itu dia mencaci maki wanita tersebut. Ketika mendengar makian Khalid, Nabi Allah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tenangkanlah dirimu wahai Khalid, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya perempuan itu telah benar-benar bertaubat, sekiranya taubat (seperti) itu dilakukan oleh seorang pemilik al-maks niscaya dosanya akan diampuni.” Setelah itu beliau memerintahkan untuk menshalati jenazahnya dan menguburkannya”.  (HR. Muslim)

Demikianlah alasan kenapa mereka dipilih Allah untuk menemani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang terbaik. Maka kenalilah keutamaan mereka, ikutilah jejak mereka, berpegang teguhlah dengan akhlak dan agama mereka semampu kalian, karena mereka merupakan generasi yang berada di atas Shirathal Mustaqim.

Wallahu Ta’ala A’lam
Ustadz Oemar Mita, Lc

(Ddn/Darussalam.id)

Leave Your Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copyright 2023, All Rights Reserved