Follow us:

Mengolah Rasa Hati

Oleh:Ustadz M.Nuzul Dzikri, Lc.

Salah satu adab yang harus kita miliki jika ingin bahagia di dunia maupun akhirat adalah memfokuskan rasa dalam hati, bukan pada apa yang kita lihat, dengar, bukan apa yang kita miliki atau apa yang hilang dari kita. Hidup ini, semua tentang rasa. Persis seperti ketika memilih tempat makan untuk menghilangkan rasa lapar perut.

Lihatlah ketika Allah menjelaskan apa yang terjadi dengan Nabi Musa Alaihissalam beserta para pengikutnya saat dikejar oleh Fir’aun dan bala tentaranya.

فَلَمَّا تَرَاءى الْجَمْعَانِ قَالَ أَصْحَابُ مُوسَى إِنَّا لَمُدْرَكُونَ (الشعراء: 61)

“Maka setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa: “Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul”. (Asy Syu’ara’: 61)

Sebagian pengikut Nabi Musa Alaihissalam berkata, sungguh kita akan tertangkap, disiksa dan dibunuh oleh Fir’aun”. Sebab, di depan mereka terbentang Laut Merah. Lalu apa yang terjadi??

فَأَوْحَيْنَا إِلَى مُوسَى أَنِ اضْرِب بِّعَصَاكَ الْبَحْرَ فَانفَلَقَ فَكَانَ كُلُّ فِرْقٍ كَالطَّوْدِ الْعَظِيمِ{63}

“Musa menjawab: “Sekali-kali tidak akan tersusul; Sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak dia akan memberi petunjuk kepadaku”. Lalu kami wahyukan kepada Musa: “Pukullah lautan itu dengan tongkatmu”. Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar. (Asy Syu’ara’: 62)

Mengapa sebagian pengikut Nabi Musa begitu pesimis, putus asa dan sebagainya?? Dan kenapa Nabi Musa begitu optimis bahwa mereka tidak akan tertangkap dan pasti akan menemukan jalan keluar?? Karena sebagian pengikut Nabi Musa berorientasi dengan apa yang mereka lihat, sementara Nabi Musa fokus dengan rasa, bukan apa yang beliau lihat. Beliau sibuk menumbuhkan rasa yakin kepada Allah bahwa jika beliau menolong Allah, pasti Allah Ta’ala akan memberikan pertolongan-Nya. Suatu konsep Ilahiyah yang pasti.

Bayangkanlah!! Ketika musuh mengejar di belakang sedang yang dihadapan adalah laut yang membentang, siapa yang tidak pesimis, down dan tidak galau?? Sehingga muncul perkataan, “Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul”.

Perlu kita ketahui, disaat Nabi Musa mengucapkan bahwasanya Rabb-Nya selalu menyertainya, beliau juga tidak tahu apa rencana Allah setelahnya. Karena wahyu baru turun beberapa saat setelahnya. Hal itu karena beliau tetap yakin akan mendapatkan jalan keluar dan pertolongan dari Allah.

Ini adalah konsep hidup untuk bahagia. Jangan fokus terhadap apa yang kita lihat dan dengan apa yang kita dengar.

Terkadang kita marah ketika kita dighibah, digunjing oleh orang lain. Namun Imam Hasan Al Bashri justru memberikan hadiah kepada siapa yang mengghibahinya. Pada suatu hari, Hasan Al-Bashri mendapat kabar dari salah seorang  kawannya kalau ia telah dighibahi oleh seseorang.

Mendengar kabar tersebut, Hasan Al-Bashri menjadi bersyukur dan ia segera mengutus seseorang untuk mengirimkan emas permata kepada orang yang mengghibahinya. Emas permata itu diwadahi oleh Hasan Al-Bashri di dalam sebuah baki tertutup seraya berpesan agar utusan tersebut berkata kepada si penerima hadiah itu sebagai berikut:

“Telah sampai kepadaku sebuah berita bahwa berbaik hati mengirim amal kebajikanmu kepadaku. Oleh karena itu, aku hadiahkan seluruh isi baki ini kepadamu.”

Dalam hal ini, tampak sekali bahwa Hasan Al-Bashri justru tidak marah ketika ia dighibahi oleh seseorang. Ia malah bersyukur atas perbuatan orang lain yang membicarakan tentang kekurangan dirinya. Sebab ia menyadari betul, bahwa dibalik itu semua, ia justru bakal memperoleh banyak pahala kebajikan secara gratis.

Apabila kita bisa memahami setiap kejadian buruk yang menimpa kita dengan cara demikian, niscaya kita akan bisa mensyukuri setiap fitnah atau ujian yang datang menerpa diri kita. Sayangnya, dalam kehidupan sehari-hari, kita malah acap melakukan aksi yang jauh lebih buruk dari yang dilakukan orang lain terhadap diri kita.

Bahaya Ghibah

Anas bin Malik Radhiallahu Anhu berkata: Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda

مَرَرْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِيْ عَلَى قَوْمٍ يَخْمِشُوْنَ وُجُوْهَهُمْ بِأَظَافِرِيْهِمْ, فَقُلْتُ : يَا جِبْرِيْلُ مَنْ هَؤُلآءِ؟ قَالَ : الَّذِيْنَ يَغْتَابُوْنَ النَّاسَ, وَيَقَعُوْنَ فِيْ أَعْرَاضِهِمْ

“Pada malam isra’ aku melewati sebuah kaum yang mereka melukai (mencakar) wajah-wajah mereka dengan kuku-kuku mereka”, lalu aku berkata: ”Siapakah mereka ya Jibril?”, Beliau berkata: ”Yaitu orang-orang yang mengghibahi manusia, dan mereka mencela kehormatan-kehormatan manusia”. (HR. Ahmad, Abu Dawud dan lainnya)

Berkata Al-Hasan Al-Bashri, كَفَّارَةُ   الْغِيْبَةِ   أَنْ تَسْتَغْفِرَ لِمَنِ اغْتَبْتَهُ “Penebus dosa ghibah adalah engkau meminta ampunan bagi orang yang engkau ghibahi”.

Oleh karena Itulah Hasan Al-Basri Berkata: “aku tidak pernah menggibah siapapun, karena aku takut menjadi orang yang rugi dihari kiamat nanti”.

Dunia Adalah Permainan

Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah membuat pernyataan resmi tentang hakekat kehidupan dunia bagi manusia. Yaitu bahwa kehidupan dunia hanyalah permainan. Sebagaimana yang namanya permainan, maka dunia tidaklah pantas disikapi dengan keseriusan dan kesungguhan dalam melayani tuntutannya. Allah Ta’ala juga menjelaskan bahwa beberapa hal (sebagai contoh) dari apa-apa yang dianggap sebagai hal-hal penting dalam kehidupan dunia, sebenarnya semua itu hanyalah bagaikan fatamorgana.

Sebaliknya, Allah Ta’ala menganjurkan manusia untuk bersikap sebaliknya tehadap apa yang merupakan kebalikan/lawan dari kehidupan dunia, yaitu kehidupan akhirat. Jika terhadap kehidupan dunia manusia hendaknya mensikapinya hanya sebagai permainan dan selayaknya tanpa sikap serius apalagi berusaha keras, maka terhadap kehidupan akhirat yang merupakan kebalikan atau lawan dari kehidupan dunia, hendaknya manusia bersikap serius dan bahkan berkompetisi. Allah Ta’ala juga menjanjikan luasnya akhirat dan ampunan yang disediakan.

Ujian hidup berupa senang maupun susah sudah ditentukan sebelumnya sehingga manusia tak perlu menyesali atau memaksakan kehendak. Sikap yang pas dalam menghadapi takdir memang bukan hal mudah. Terutama ketika menghadapi peristiwa yang sangat menyedihkan, atau sangat berat, manusia benar-benar harus menempatkan dirinya dengan se-tepat-tepatnya. Manusia harus mengambil sikap bersabar atas ujian dan tetap bersangka baik pada Allah padahal ia sedang susah atau gundah. Itulah ujian, semua ujian memang diadakan untuk menguji sampai ke titik-titik batas kesanggupan.

Perasaan Dan Persepsi

Perasaan manusia, persepsi manusia atas sesuatu bukanlah alat ukur obyektif. Perasaan manusia dapat saja berlebihan, sedangkan persepsinya mungkin saja keliru. Dalam menghadapi musibah, ada orang yang merasa ujian itu tak sanggup ia hadapi. Ia menganggap ujian tersebut terlalu berat baginya. Ini persepsinya sendiri. Padahal Allah Ta’ala sudah menyatakan dalam Al Qur’an bahwa seseorang tidak akan dibebani lebih dari kadar kesanggupannya (Al Baqarah: 286). Allah Yang Maha Tahu telah mengukur kadar kesanggupan orang tersebut dan ia sesungguhnya mampu menghadapinya, namun ia telah menyesatkan dirinya dengan mempersepsikan musibah tersebut terlalu besar atau berat bagi dirinya. Persepsi ini kemudian dilanjutkan dengan prasangka buruk terhadap Allah, menyangka bahwa Allah tidak adil, menyangka bahwa Allah telah menghukum dirinya dengan kehinaan dan musibah. Sekali lagi ini adalah persepsi manusia yang keliru.

Jika membaca atau mendengar kisah Nabi Ayyub Alaihissalam yang tertimpa penyakit kusta selama 18 tahun, barangkali sebagian kita akan simpati, sedih bahkan menganggap ujian tersebut tidak layak diberikan kepada beliau. Namun apa yang sebenarnya dirasakan oleh beliau??

Jawabannya adalah karena cobaan dan ujian merupakan nikmat. Orang-orang shalih justru gembira sekiranya mendapat cobaan seperti telah mendapat kesenangan. Rasullullah Shallallahu Alaihi Wasallam menyebutkan bahwa para Nabi telah ditimpa cobaan berupa penyakit, kemiskinan dan yang lainnya kemudian beliau bersabda:

وَ إِنْ كَانَ أَحَدُهُمْ لَيَفْرَحُ بِاْلبَلاَءِ كَمَا يَفْرَحُ أَحَدُكُمْ بِالرَّخَاءِ

 “…Dan sesungguhnya salah seorang diantara mereka benar-benar merasa gembira karena mendapat cobaan, sebagaimana salah seorang merasa gembira karena telah mendapatkan kelapangan.” (HR. Ibnu Majah)

Dari Abdullah Bin Umair, dari Ummul ‘Ala’ ia berkata: Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam menjenguk saya saat saya sakit, beliau bersabda, “gembiralah wahai Ummu ‘ala’, penyakit seorang muslim akan menghapus dosanya, bagaikan api yang membakar bahan bahan buruk pada emas dan perak”. (HR. Bukhari)

Wallahu Ta’ala A’lam

Leave Your Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copyright 2023, All Rights Reserved