Sunnah Di Bawah Ancaman
Oleh:Ustadz Dr. Daud Rasyid, MA.
Hadits memiliki kedudukan yang strategis dan sangat urgen dalam ajaran Agama Islam. Hal itu terjadi karena, Hadits menjadi sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an. Posisi hadits seperti ini tidak hanya dijelaskan oleh Nabi SAW. bahkan juga oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal itu dapat dilihat dalam surah Al Maidah ayat 92, An Nisaa’ ayat 65 dan lain-lain.
Oleh karena posisinya yang strategis itu, maka hadits terus menerus dikaji dan diriwayatkan. Termasuk dalam kajian hadits itu adalah naqd al-hadits (kritik hadits). Kritik hadits itu sendiri telah ada dan dilakukan oleh para sahabat Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Misalnya, kasus Umar yang mengecek kebenaran sebuah riwayat yang menerangkan bahwa Nabi telah menceraikan isteri-isterinya, juga pengecekan yang dilakukan sahabat-sahabat lain semacam Abu Bakar al-Shiddiq, Ali ibn Abi Thalib dan lain-lain diyakini sebagai cikal bakal ‘ilmu naqd al-hadits (ilmu kritik hadits). Baik kritik matan maupun sanad..
Kajian hadits ternyata tidak hanya milik kaum Muslimin, tetapi para orientalis pun tak ketinggalan melakukan kajian tersebut. Tersebutlah nama-nama semacam Ignaz Goldziher, Joseph Schact, Alferd Guilame dan lain-lain, yang melakukan kritik terhadap Hadits. Berbeda dengan kritik yang dilakukan kaum muslimin, kritik yang mereka lakukan sungguh mencengangkan. Aktivitas orientalisme dalam memurtadkan ummat dari aqidahnya adalah dengan memisahkan ummat dari al Quran dan sunnah. Tahap pertama yang mereka lakukan adalah berusaha mementahkan sunnah dan hadist-hadist rasulullah SAW. Yang kemudian mengarahkan pada interpretasi Quran bukan berdasarkna sunnah, tapi logika saja.
Jadi, apabila kepercayaan kepada hadits bisa digoyahkan maka semakin besar pula ruang untuk menafsirkan alquran sesuai paham yang dibuat oleh kelompok atau masing-masing.
Seperti gaya orientalis untuk meragukan hadits/sunnah, adalah dengan berlindung dibalik sikap kritis yang sering digemborkan mereka dalam mengkaji nash-nash islam.
‘Jadi apa saja kita pertanyakan dulu keabsahannya’, kata mereka. Hal inilah yang membuat tertipunya sebagian sarjana muslim. Berpikir kritis tapi tidak menyebutkan apa yang harus dikritisi. Jika mengkritisi terhadap hal yang sudah pasti, ngawur namanya. Hasil pikiran manusia bisa dikritisi, tetapi jika wahyu, baik alquran maupun as sunnah yang dikritisi maka itu adalah suatu hal yang ngawur.
Orientalis mempertanyakan keabsahan hadits. Dari sisi apa? Dari sisi validitasnya. Sebab, ‘hadits tidak dicatat pada zaman nabi’, kata mereka. Ungkapan inilah yang diulang-ulang oleh murid-murid mereka (orientalis) yang berada di beberapa perguruan tinggi Indonesia.
Ketika hadits tidak memiliki otentitas sebagai sebuah ajaran yang bersumber dari Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam, maka ia tidak dapat menjadi sumber ajaran Islam, ketika ia tidak otentik dari Nabi, sehingga tidak mungkin Hadis dapat digunakan sebagai sumber ajaran Islam.
Mempertanyakan kandungan hadits yang tidak sesuai dengan logika manusia, sebagaimana kaum Rasionalis. Membenturkan hadits dengan logika. Tapi sebenarnya, akal itu relatif, sementara wahyu adalah absolute. Maka bagaimana mungkin suatu yang absolute ditundukkan dan diukur kebenarannya oleh alat ukur yang relatif?! Tidak mungkin. Ada juga yang mempertanyakan hadits karena bertentangan dengan sains.
Bantahan Terhadap Validitas Hadits
Penulisan hadits telah terlaksana pada zaman nabi Shallallahu Alaihi Wasallam masih hidup oleh para sahabat. Jika mereka berkata, jika hadits baru ditulis pada zaman imam bukhari adalah merupakan dusta penipuan ilmiyah.
Sejarah telah mencatat adanya beberapa naskah tulisan hadits yang bersifat pribadi dari beberapa sahabat dan tabi’in. Para sahabat dan tabi’in yang mempunyai naskah hadits antara lain sebagai berikut.
- Abdullah bin Amr bin Ash Radhiyallahu Anhu (65 H)
Abdullah bin Amr bin Ash Radhiyallahu Anhu adalah salah seorang sahabat yang selalu menulis apa yang pernah didengarnya dari Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Tindakan ini pernah didengar oleh orang-orang Quraisy, mereka mengatakan,
أَتَكْتُبُ كُلَّ شَيْءٍ تَسْمَعُهُ وَرَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم بَشَرٌ يَتَكَلَّمُ فِي الْغَضَبِ ، وَالرِّضَا ، فَأَمْسَكْتُ عَنِ الْكِتَابِ ، فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم ، فَأَوْمَأَ بِأُصْبُعِهِ إِلَى فِيهِ ، فَقَالَ : اكْتُبْ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا يَخْرُجُ مِنْهُ إِلاَّ حَقٌّ.
“Apa engkau menulis semua yang telah kau dengar dari Nabi? Sedang beliau itu hanya manusia, kadang-kadang berbicara dalam suasana suka dan kadang-kadang berbicara dalan suasana duka?” Atas teguran tersebut, ia segera menanyakan tentang tindakannya kepada Rasulullah. Maka, jawab Rasulullah, “Tulislah! Demi Zat yang nyawaku ada di tangan-Nya, tidaklah keluar daripadanya, selain haq.” (HR. Abu Dawud)
Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu juga pernah mengatakan: “Tidak ada satu pun sahabat Nabi yang haditsnya melebihi aku selain Abdullah bin Amru, ia menulisnya sedangkan aku tidak menulisnya.” (Fathul Baari: 1/217)
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mengizinkan Abdullah bin Amr bin Ash untuk menulis apa-apa yang didengarnya dari beliau karena ia adalah salah seorang penulis yang baik. Naskah ini disebut dengan Ash-Shahifah ash-Shadiqah, karena ditulisnya secara langsung dari Rasulullah.
Naskah hadits Ash-Shadiqah berisikan hadits sebanyak 1000 hadits, dan dihafal serta dipelihara oleh keluarganya sepeninggal penulisnya. Cucunya yang bernama Amr bin Syu’aib meriwayatkan hadits-hadits tersebut sebanyak 500 hadits. Bila naskah Ash-Shadiqah ini tidak sampai kepada kita menurut bentuk aslinya, dapat kita temukan secara kutipan pada kitab Musnad Ahmad, Sunan Abu Dawud, Sunan An-Nasai, Sunan At-Tirmidzi, dan Sunan Ibnu Majah.
Lembaran ini bernilai penting secara ilmiah. Ini adalah dokumen sejarah yang menjadi bukti penulisan hadits dengan izin Rasul.
- Jabir bin Abdullah al-Anshari Radhiyallahu Anhu (78 H)
Naskah haditsnya disebut Shahifah Jabir. Qatadah bin Da’amah as-Sudusy memuji naskah Jabir ini dengan katanya, “Sungguh, shahifah ini lebih kuhafal daripada surat Al-Baqarah.”
- Shahifah Abu Bakar As Sidiq (Lembaran Abu Bakar As Siddiq)
Di riwayatkan dari Anas Bin Malik Sesungguhnya Abu Bakar pernah mengutusnya untuk mengambil sedekah dari kaum muslimin, dan menuliskan di lembaran tersebut faraid Sedekah dan disana juga terdapat cap cincin Rasulullah”.
- Shahifah Ali Bin Abi Thalib (Lembaran Ali Bin Abi Thalib)
Di riwayatkan oleh Abi Juhaifah
عن أبي جحيفة قال: قلت لعلي هل عندكم كتاب ؟ قال: لا ، إلا كتاب الله أو فهم أعطيه رجل مسلم أو ما في هذه الصحيفة . قال: قلت فما في هذه الصحيفة ؟ قال: العقل وفكاك الأسير ولا يقتل مسلم بكافر.
“Aku bertanya kepada Ali Bin Thalib, apakah engkau mempunyai sesuatu yang tertulis dari Rasulullah?”. Ali menjawab, “Tidak, kecuali Kitabullah, atau pemahaman yang kuberikan kepada seorang muslim, atau yang ada di lembaran ini”.
Aku berkata, apa yang di dalam lembaran itu?, beliau menjawab, “Al Aql (diyat), serta hukum tentang tawanan perang, dan janganlah seorang muslim membunuh orang kafir”.
- Hamam bin Munabbih (131 H)
Ia adalah seorang tabi’in alim yang berguru kepada sahabat Abu Hurairah ra dan banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Hadits-hadits tersebut kemudian ia kumpulkan dalam satu naskah yang dinamai Ash-Shahifah ash-Shahihah. Naskah itu berisikan hadits sebanyak 138 hadits.
Imam Ahmad di dalam musnadnya menukil hadits-hadits Humam bin Munabbih keseluruhannya. Dan Imam Bukhari banyak sekali menukil hadits-hadits tersebut ke dalam kitab sahihnya, terdapat dalam beberapa bab.
Dari beberapa bukti di atas, jelas sudah bahwa hadist telah ditulis secara pribadi oleh para sahabat dan tabi’in sejak abad pertama hijriyah. Sekaligus sebagai bantahan kepada pengusung orientalis yang memiliki anggapan bahwa hadits baru ditulis pada abad kedua atau hadits tidak pernah ditulis pada masa Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam.
Cara Syiah Meruntuhkan Hadits
Mereka meruntuhkan hadits langsung kepada jantungnya yaitu para sahabat. Mereka meruntuhkan kepercayaan kepada sahabat, bahkan mereka membangun kebencian luar biasa terhadap Abu Hurairah dan Aisyah Radhiyallahu Anhum. Dan memang itulah strategi mereka untuk meruntuhkan islam dan kaum muslimin.
Banyak kitab Sy’iah yang penuh dengan laknat dan pengkafiran terhadap orang yang sudah di ridhai dan di jamin masuk surga oleh Allah, baik dari kalangan muhajirin maupun anshar, Ahlu Badr, Ahlu Bai’atur Ridhwan serta semua sahabat kecuali hanya sedikit saja yang tidak mereka kafirkan, yang hampir bisa dihitung dengan jari.
Ibnu Taimiyah Rahimahullahu berkata: ”Sesungguhnya Syi’ah Rafidhah mengatakan: “Sesungguhnya kaum Muhajirin dan Anshar menyembunyikan nash-nash sehingga mereka kafir kecuali hanya sedikit saja, lebih dari 10 orang dan sesungguhnya Abu Bakar, Umar dan semisal keduanya adalah orang munafik, yang sebelumnya adalah iman kemudian kafir.”
Bahkan orang syi’ah membuat kaidah aneh yaitu hadits hanya bisa diterima jika diriwayatkan oleh ahlu bait.
Sahabat dan ulama’ hadits mana yang mengakui kaidah ini?? Padahal Rasulullah justru berpesan untuk selalu berpegang teguh kepada dua hal yaitu kitabullah dan sunnah-nya. Sunnah nabi itu ada dimana? Dalam catatan dan hafalan para sahabat.
Kaidah di atas tidak masuk akal bahkan secara naqli. Sebab, bagaimana mungkin ucapan nabi diterima hanya jika melalui jalur keluarganya saja?! Tidak mungkin Rasulullah 24 jam bersama Ali.
Sahabat ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu yang menyuruh Miqdad bin al-Aswad radhiyallahu ‘anhu untuk bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perihal dirinya yang sering mengeluarkan madzi, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يغـسل ذكره ويتـوضأ
“(Hendaklah) dia mencuci kemaluannya dan berwudhu’.” (Shahih, riwayat Bukhari dan Muslim)
Kenapa Ali tidak bertanya langsung kepada Rasulullah?? Dari kisah ini saja, dapat diketahui bahwa tidak mungkin seluruh persoalan disampaikan melalui satu orang meskipun ia salah satu anggota keluarga nabi yaitu mantu. Mesti ada hambatan psikologi dan sebagainya.
Kaum Rasionalis Menolak Hadits
Pengkultusan kepada akal adalah sumber semua kerusakan di alam semesta, akal dijadikan hakim bagi semua perkara, jika datang syari’at yang tidak dipahami oleh akal, maka syari’at itu akan ditolak.
Dengan pengkultusan pada akal inilah, maka manusia menolak seruan para rasul, karena para rasul mengajak manusia untuk mendahulukan wahyu diatas semua akal dan pemikiran, maka terjadilah pertarungan diantara para pengikut rasul dan para penentangnya.
Para rasionalis atau orang-orang yang terpengaruh dengan mereka, menolak berita-berita hadits yang (menurut anggapan mereka) tidak masuk akal. Padahal yang dimaksud akal oleh mereka sesungguhnya adalah pengalaman dan fenomena kehidupan yang dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan dan zaman tempat mereka berada. Harus diingat bahwa sesuatu yang dikatakan mustahil pada zamannya bisa menjadi hal yang biasa di zaman berikutnya. Jadi kaum rasionalis itu terjebak pada batas capaian kemampuan peradaban manusia di zamannya.
Sebagai contoh yaitu hadits tentang lalat yang jatuh ke minuman. Berdasarkan hadits, minuman itu tak perlu dibuang, namun justru dengan menenggelamkan lalat tersebut ke dalam minuman dan setelah itu lalat dibuang, kemudian minuman tersebut bisa diminum kembali. Hadits itupun sesungguhnya telah menerangkan permasalahannya.
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ عُتْبَةَ بْنِ مُسْلِمٍ مَوْلَى بَنِي تَيْمٍ عَنْ عُبَيْدِ بْنِ حُنَيْنٍ مَوْلَى بَنِي زُرَيْقٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِي إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ كُلَّهُ ثُمَّ لِيَطْرَحْهُ فَإِنَّ فِي أَحَدِ جَنَاحَيْهِ شِفَاءً وَفِي الْآخَرِ دَاءً
Qutaibah menceritakan kepada kami, Ismâ’îl bin Ja’far menceritakan kepada kami dari ’Utbah bin Muslim Maulâ (mantan budak) Banî Taim dari ’Ubaid bin Hunain Maulâ Banî Zuraiq dari Abu Hurairoh Radhiyallâhu ’anhu, bahwa Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam bersabda: ”Apabila seekor lalat jatuh ke dalam wadah minum kalian, maka celupkanlah seluruh tubuhnya kemudian buanglah, karena sesungguhnya pada salah satu sayapnya terdapat obat dan pada sayap lainnya terdapat penyakit.” (HR. Bukhari)
Kaum rasionalis tergesa-gesa menolak hadits tersebut karena berpijak pada informasi kesehatan yang sederhana bahwa lalat itu pembawa kuman penyakit. Padahal jika mereka tidak apriori dan kemudian mencari pengetahuan yang lebih kredibel akan terbukti bahwa ketika lalat itu ditenggelamkan maka sayap satunya sebagai penawar akan bereaksi dan menawarkan (membuat tawar) penyakit. Dan kasus ini telah diuji di laboratorium di Eropa dan membenarkan hadits tersebut.
Mereka menganggap hadist-hadist tersebut hanya akan membuat orang lari dari Islam. Sebagaimana ketika mereka mendengarkan hadits-hadits tentang diangkatnya Nabi Isa Alaihis Salam dalam keadaan hidup, akan turunnya beliau pada akhir zaman, berita tentang Dajjal (yang sudah ada wujudnya dalam keadaan terbelenggu) atau tentang Ya’juj dan Ma’juj yang terus menerus berupaya untuk keluar dari benteng yang dibuat oleh Dzulqarnain, atau peristiwa superdahsyat sepanjang peradaan manusia yaitu isra’ dan mi’raj dan lain-lainnya, mereka benar-benar gelisah, panas dadanya seraya berkata, “Untuk apa hadits-hadits seperti ini disampaikan, akan menjadikan manusia semakin jauh dari Islam”. Mereka mengucapkan ucapan olok-olok celaan dan berbagai macam ucapan penolakan terhadap hadits-hadits tersebut karena memang peristiwa-peristiwa tersebut tidak rasional.
Tetapi tahukah kita bahwa memang tidak ada yang tidak mungkin dalam jagat raya ini kalau sudah Allah Ta’ala berkehendak. Sungguh kalau saja di hati mereka ada keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya mereka tidak akan bersikap sinis dengan hadits. Orang-orang yang beriman akan semakin beriman dengan berita-berita hadits tersebut. Mereka akan semakin yakin bahwa hari kiamat telah dekat dan benar-benar akan terjadi. Kemudian mereka takut kepada Allah dan beramal dengan amalan yang shalih.
Namun sayang, mereka (kaum rasionalis dan mu’tazilah) adalah orang-orang yang mengambil pelajaran dari orientalis kafir yang tidak mau percaya (baca:beriman) kepada hadits, kecuali setelah “dibuktikan” secara akal. Padahal, betapa banyak perkara-perkara ghaib yang akal, telinga, mata dan seluruh panca indera kita tidak dapat membuktikannya. Ciri khas orang yang taqwa adalah beriman kepada hal-hal ghaib yang tidak dapat diraba oleh panca indera manusia.
“Alif Laam Miim. Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib yang mendirian shalat dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugrahkan kepada mereka.”(Al-Baqarah: 1-3)
Wallahu Ta’ala A’lam
Copyright 2023, All Rights Reserved
Leave Your Comments