- info@darussalam.id
- 021 8493 2440
Tradisi Ro’an di Pesantren: antara Tabarruk dan Kehati-hatian
- Home
- Artikel Islami
- Tradisi Ro’an di Pesantren: antara Tabarruk dan Kehati-hatian
Insiden yang menimpa Pesantren Al Khoziny di Buduran, Sidoarjo, menyentuh hati banyak pihak. Kabar bahwa sejumlah santri ikut ngecor bangunan hingga terjadi peristiwa maut menimbulkan keprihatinan mendalam. Publik pun bertanya-tanya, mengapa para santri ikut bekerja layaknya tukang bangunan? Bukankah tugas utama mereka adalah belajar di kelas dan mengaji di pesantren?
Pertanyaan semacam ini muncul dari cara pandang masyarakat modern yang menilai pendidikan sebatas aktivitas akademik di ruang kelas. Padahal, bagi dunia pesantren, kegiatan seperti ro’an, khidmah, dan tabarrukan adalah bagian integral dari sistem pendidikan yang telah mengakar kuat dalam sejarah Islam Nusantara.
Dalam tradisi pesantren, ro’an berarti kerja bakti bersama yang dilakukan santri, baik untuk kepentingan pondok maupun masyarakat sekitar. Aktivitas ini bukan semata kegiatan yang bersifat fisik, tapi juga mengandung pendidikan nilai dan spiritualitas yang sangat mendalam. Akar spiritualnya berpijak pada perintah Alquran tentang pentingnya tolong-menolong dalam kebaikan, sebagaimana firman Allah,
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” (QS. al-Ma’idah [5]: 2)
Ayat ini sering menjadi ruh dari praktik ro’an di banyak pesantren. Pendidikan di pesantren menempatkan kegiatan keilmuan dan pengabdian sosial dalam satu kesatuan yang integratif. Santri dididik agar memahami ilmu agama secara mendalam, sekaligus mampu mengekspresikan nilai-nilai keislaman itu dalam bentuk kepedulian sosial dan kontribusi nyata di lingkungan sekitarnya. Ro’an atau kerja bersama menjadi bentuk nyata dari ukhuwah (persaudaraan) dan ta’awun (kerja sama) yang melahirkan rasa tanggung jawab dan solidaritas sosial yang tinggi.
Dalam pandangan kiai, kegiatan seperti ngecor, membersihkan lingkungan, memperbaiki bangunan, atau membantu tetangga, bukanlah pekerjaan kasar yang menurunkan martabat santri. Sebaliknya, itu adalah madrasah kehidupan yang mengajarkan nilai-nilai luhur Islam seperti keikhlasan, disiplin, dan kebersamaan.
Dunia pesantren mengenal adagium penting, “Man lam yakhdim lam yafham”, Barang siapa tidak pernah berkhidmah, maka ia tidak akan memahami (ilmu) dengan sempurna. Artinya, ilmu tidak hanya dicapai melalui pengajaran (ta‘lim), tetapi juga melalui pengabdian (khidmah). Dalam tradisi ini, mengabdi kepada pondok dan masyarakat adalah bagian dari proses pencarian ilmu itu sendiri.
Dari sinilah pesantren menumbuhkan generasi santri yang berilmu dalam agama, berdaya dalam kehidupan sosial, dan memiliki kemandirian dalam menjalani peran-peran kemasyarakatan. Di pelbagai daerah, santri diajarkan keterampilan praktis seperti menyervis motor, memperbaiki alat-alat pertanian, atau membangun rumah. Semua ini melatih mereka agar mampu berkiprah di tengah masyarakat dengan bekal kemandirian. Pendidikan di pesantren pada hakikatnya adalah pendidikan integral, yakni menggabungkan aspek keilmuan, moralitas, dan keterampilan hidup (life skills).
Namun, dalam konteks sekarang, kita tidak bisa menutup mata terhadap aspek keselamatan dan tata kelola kegiatan. Insiden di Sidoarjo menjadi pengingat bahwa setiap amal baik tetap harus dijalankan dalam koridor hifzh al-nafs atau menjaga keselamatan jiwa, salah satu tujuan utama dalam maqashid as-syari‘ah. Dalam hukum Islam, ada kaidah penting yang menyatakan,
دَرْءُ المَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ المَصَالِحِ
“Mencegah kerusakan harus didahulukan daripada meraih kemaslahatan.”
Maka, semangat ro’an yang luhur tidak boleh mengabaikan aspek keselamatan dan profesionalisme. Pesantren perlu melakukan penyesuaian manajerial agar kegiatan semacam ngecor tetap aman bagi para santri. Bukan berarti menghapus tradisi itu, tetapi mengatur ulang dengan prosedur keselamatan yang memadai.
Misalnya, melibatkan tenaga ahli bangunan sebagai pendamping, membatasi keterlibatan santri sesuai usia dan kemampuan, atau menjadikan kegiatan tersebut bagian dari pelatihan keterampilan terstruktur.
Dengan langkah demikian, nilai spiritual dan pendidikan karakter tetap terjaga, sementara risiko kecelakaan dapat diminimalkan. Ini merupakan bentuk aktualisasi dari keseimbangan antara nilai tabarrukan atau mencari berkah dengan tahadhdhur atau kehati-hatian. Pesantren tidak perlu meninggalkan jati dirinya sebagai lembaga pembentuk akhlak, tetapi perlu menyempurnakan tata kelolanya sesuai dengan tuntutan zaman.
Kita harus memandang peristiwa di Sidoarjo sebagai momentum refleksi kolektif. Jangan sampai tradisi yang luhur disalahpahami atau dicitrakan negatif hanya karena faktor kelalaian teknis. Sebaliknya, masyarakat perlu memahami bahwa pesantren memiliki sistem pendidikan khas yang menekankan keseimbangan antara ilmu, amal, dan adab.
Sebagai langkah konstruktif, pesantren dapat memperkuat aspek keselamatan melalui beberapa langkah nyata.
Pertama, membuat standar operasional kegiatan ro’an yang jelas dan berbasis keselamatan, termasuk prosedur penggunaan alat berat, pengawasan, dan pelatihan dasar bagi santri.
Kedua, membangun kemitraan dengan lembaga pelatihan keterampilan atau politeknik, sehingga kerja fisik santri tidak hanya bernilai ibadah, tetapi juga bernilai edukatif dan diakui secara kompetensi.
Ketiga, memperluas peran pengasuh dan alumni dalam pendampingan kegiatan-kegiatan teknis agar nilai khidmah tetap berjalan dalam koridor aman dan produktif.
Keempat, pemerintah dan ormas Islam juga dapat memberikan dukungan regulatif dan pelatihan keselamatan bagi pesantren, tanpa mengintervensi nilai-nilai keagamaan dan kemandirian mereka.
Pesantren telah berabad-abad menjadi benteng moral bangsa. Dari sana lahir ulama, pemimpin, dan warga yang tangguh. Nilai-nilai seperti gotong royong, ikhlas, dan tanggung jawab yang diajarkan melalui ro’an telah membentuk wajah Islam Indonesia yang ramah dan berakar kuat di masyarakat. Tugas kita bersama adalah menjaga agar nilai-nilai itu tetap hidup, sambil memastikan keselamatan dan kesejahteraan para santri sebagai prioritas utama.
Dengan cara itulah pesantren meneguhkan perannya sebagai lembaga pendidikan yang melahirkan manusia berilmu, berakhlak mulia, dan memiliki kesadaran mendalam terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal. Inilah keseimbangan yang diajarkan Islam, yakni antara berkah dan kehati-hatian, antara spiritualitas dan profesionalisme. Sebagaimana pesan Nabi Saw:
“Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang ketika bekerja, ia melakukannya dengan itqan (profesional dan sempurna).”
Spirit ro’an tetaplah penting, tetapi harus dilaksanakan dengan semangat itqan dan amanah, agar pesantren terus menjadi mercusuar peradaban yang menebarkan ilmu, keikhlasan, dan keselamatan bagi semua.
Penulis: Prof. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Anggota Dewan Pendidikan Tinggi Kemdiktisaintek RI, alumnus Pondok Pesantren Darussalam Ciamis Jawa Barat. (UYR/Republika/Kemenag)
Copyright 2023, All Rights Reserved
Leave Your Comments