INDAHNYA HAJI MABRUR
Tema ini kita angkat dengan pertimbangan dan urgensi sebagai berikut:
- Semoga saudara kita yang akan tiba dari tanah suci diberikan haji Mabrur
- Bagi yang sudah haji untuk menjaga dan memelihara kemabruran hajinya
- Semoga tema ini memberikan semangat kepada kita untuk melaksanakan ibadah haji sebagai pelengkap daripada rukun islam, dan semoga Allah mempermudah langkah kita untuk menuju rumah-Nya meskipun harus menunggu beberapa tahun.
Keindahan haji mabrur ini pada dasarnya bukan hanya bisa dinikmati oleh orang yang sudah berhaji, tapi bisa dinikmati oleh setiap muslim meskipun belum berangkat haji.
Definisi Haji Mabrur
Imam Nawawi dalam syarah Muslim: “Haji mabrur itu ialah haji yang tidak dikotori oleh dosa, atau haji yang diterima Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yang tidak ada riya, tidak ada sum’ah tidak rafats dan tidak fusuq”.
Kenapa tema ini diberi judul indahnya haji mabrur?
Karena dimanapun kita hidup, jika tidak dikotori oleh dosa, alangkah indahnya hidup ini. Bayangkan, adakah suasana dalam rumah tangga yang lebih indah melebihi ketika suami, istri dan anak taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Apalah enaknya mempunyai suami kaya raya namun sering berbuat dosa dan menzhalimi anak dan istrinya?!
Itulah sebabnya dalam surah Al Furqan, orang-orang beriman sama-sama berdoa kepada Allah agar anak dan istrinya menjadi penyejuk mata.
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَاماً )الفرقان: 74(
“Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (Kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”. (Al Furqan: 74)
Imam Al Hasan Al Bashri Rahimahullahu ditanya mengenai ayat di atas. Beliau pun berkata,
أن يُري الله العبد المسلم من زوجته، ومن أخيه، ومن حميمه طاعة الله. لا والله ما شيء أقر لعين المسلم من أن يرى ولدا، أو ولد ولد، أو أخا، أو حميما مطيعا لله عز وجل.
“Yang ingin dilihat Allah pada hamba muslim dari istri, saudara, dan sahabat karibnya adalah mereka semua taat pada Allah. Wallahi, demi Allah, tidak ada sesuatu yang lebih menyenangkan pandangan mata seorang muslim melebihi ketaatan pada Allah yang ia lihat pada anak, cucu, saudara dan sahabat karibnya”.
Dalil yang berkaitan dengan Haji Mabrur
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَاتٌ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُواْ مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللّهُ وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُوْلِي الأَلْبَابِ (البقرة: 197)
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi[122], barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, Maka tidak boleh rafats[123], berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan Sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa[124] dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal“. (Al Baqarah: 197)
[122] ialah bulan Syawal, Zulkaidah dan Zulhijjah.
[123] Rafats artinya mengeluarkan perkataan yang menimbulkan birahi yang tidak senonoh atau melakukan hubungan suami istri.
[124] maksud bekal takwa di sini ialah bekal yang cukup agar dapat memelihara diri dari perbuatan hina atau minta-minta selama perjalanan haji.
Apa itu rafats?
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Yunus bahwa Abdullah bin Umar pernah mengatakan, “Ar-Rafats berarti mencampuri isteri dan membicarakan hal itu dengan orang laki-laki maupun perempuan, jika yang demikian itu diucapkan dengan lisan mereka.”
Atha’ bin Abi Rabah mengatakan, “Ar-rafats berarti jima‘ (senggama) dan selain itu, misalnya ucapan kotor.” Lebih lanjut Atha’ menuturkan, “Mereka memakruhkan kata sindiran yang kotor ketika sedang berihram.”
Dan Thawus mengatakan, “Yang dimaksud ar-rafats adalah seorang laki-laki mengatakan kepada isterinya, jika aku telah bertahallul, aku akan mencampurimu.”
Dan Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, “ar-rafats berarti mencampuri isteri, mencium, atau kedipan mata, serta mengucapkan kata-kata kotor kepadanya.”
Lalu apa itu Fusuq?
(وَلاَ فُسُوقَ) “(Dan jangan berbuat) kefasikan.” Muqsim dan beberapa ulama lainnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas, “Yaitu segala perbuatan maksiat.” Sedangkan ulama lainnya menuturkan, “Yang dimaksud al-fusuq di sini adalah caci maki”. Demikian dikatakan Ibnu Abbas dan Umar. Mereka ini berpegang pada apa yang ditegaskan sebuah hadits shahih, Rasulullah Shallallahu Alaihi W sallam bersabda:
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوْقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
“Mencaci maki orang muslim itu merupakan suatu kefasikan dan memerangi-nya merupakan kekafiran.”
Sedangkan adh-Dhahhak mengatakan, “al-fusuq berarti memberi gelar buruk.”
Yang benar adalah mereka yang mengartikan al-fusuq di sini segala bentuk kemaksiatan, sebagaimana Allah Ta’ala melarang kezhaliman pada bulan-bulan haji, meskipun kezhaliman itu sendiri sebenarnya dilarang sepanjang tahun, hanya saja pada bulan-bulan haji hal itu lebih ditekankan lagi. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman:
مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُـرُمٌ ذَلِكَ الدِّيْـنُ الْقَيِّمُ فَلاَتَظْلِمُوْا فِيْهِنَّ أَنْفُسَكُمْ “Di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya dirimu dalam bulan yang empat itu”. (QS. At-Taubah: 36)
Dia juga berfirman tentang tanah haram: Î وَمَن يُرِدْ فِيهِ بِإِلْحَادٍ بِظُلْمٍ نُّذِقْهُ مِنْ عَذَابٍ أَلِيـمٍ Ï “Barangsiapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zhalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebagian siksa yang pedih”. (QS. Al-Hajj: 25) Wallahu a’lam.
Dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim diriwayatkan dari Abu Hazim, dari Abu Hurairah Radhiallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
مَنْ حَجَّ هَذَا الْبَيْتَ، فَلَمْ يَرْفَثْ وَلَمْ يَفْسُقْ، خَرَجَ مِنْ ذُنُوْبِهِ كَيَوْمٍ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
“Barangsiapa yang menunaikan ibadah haji ke rumah ini (Baitullah), lalu ia tidak melakukan rafats, dan tidak pula berbuat kefasikan, maka ia akan keluar dari dosa-dosanya seperti ketika ia dilahirkan oleh ibunya”.
Lalu apa itu Jidal?
وَلاَ جِدَالَ فِـي الْحَـجِّ “Dan (tidak boleh) ber-bantah-bantahan pada masa mengerjakan haji.” Mengenai firman-Nya ini terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama, tidak boleh berbantah-bantahan pada waktu haji dalam mengerjakan manasik. Dan Allah Ta’ala telah menjelaskan hal itu secara tuntas dan sempurna. Sebagaimana Waqi’ menceritakan, dari al-’Ala’ bin Abdul Karim, aku pernah mendengar Mujahid membaca, Î وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ Ï “Dan (tidak boleh) berbantah-bantahan pada (masa mengerjakan) haji,” seraya mengatakan, Allah telah menjelaskan bulan-bulan haji yang di dalamnya tidak terdapat berbantah-bantahan di kalangan umat manusia.
Masih mengenai firman-Nya ini, Hisyam meriwayatkan dari Ibnu Abbas, katanya: “Yang dimaksudkan adalah bertengkar dalam haji”.
Sedangkan Abdullah bin Wahab meriwayatkan dari Imam Malik kata-nya, Allah Ta’ala berfirman, Î وَلاَ جِدَالَ فِـي الْحَجِّ Ï Maksudnya, -Wallahu a’lam- bahwa orang-orang Quraisy pada waktu haji berwukuf di Masy’arilharam di Muzdalifah, sedang orang-orang Arab dan juga yang lainnya berwukuf di Arafah, mereka saling berbantah-bantahan. Satu kelompok menyatakan, “Kami yang lebih benar.” Dan kelompok lainnya mengaku, “Kamilah yang lebih benar.” Demikian itulah pendapat kami. Wallahu a’lam.
Inti dari pendapat-pendapat tersebut yang menjadi pilihan Ibnu Jarir, yaitu penghentian perselisihan dalam manasik haji. Wallahu a’lam.
Pendapat kedua, yang dimaksud dengan berbantah-bantahan di sini adalah perselisihan. Ibnu Jarir meriwayatkan, dari Abdullah bin Mas’ud, me-ngenai firman Allah Ta’ala, Î وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ Ï ia mengatakan, “Yang dimaksud adalah jika engkau mencaci sahabatmu sampai engkau membuatnya marah.”
Demikian pula yang diriwayatkan Muqsim dan adh-Dhahhak dari Ibnu Abbas. Wallahu a’lam.
Dalam musnadnya, Imam Abd bin Humaid meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, katanya, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
مَنْ قَضَى نُسُكَهُ، وَسَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ، غُفِرَلَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَمْبِهِ
“Barangsiapa menuntaskan manasiknya dan kaum muslimin selamat dari lidah dan tangannya, maka ia akan diberikan ampunan atas dosa-dosa yang telah lalu darinya.”
Diantara Bentuk Indahnya Haji Mabrur
Banyak hadits Rasulullah yang berbicara tentang keutamaan Haji Mabrur, dan keutamaan tersebut kita pahami dan kita pandang sebagai sesuatu yang indah dalam hidup ini.
- Haji Mabrur bagaikan anak yang baru dilahirkan
- Dikosongkan dari permasalahan-permasalahan jiwa
- Merasakan kebahagiaan dan kesenangan
- Haji Mabrur menggambarkan masa depan yang lebih baik
- Haji Mabrur mengembalikan kepada Fithrah (mudah menerima islam)
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
“Barang siapa yang haji dan ia tidak rafats dan tidak fusuq, ia akan kembali pada keadaannya saat dilahirkan ibunya.” (HR. Muslim dan lainnya)
- Di akherat akan dimasukkan ke Syurga
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : اَلْعُمْرَةُ إِلَى اَلْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا, وَالْحَجُّ اَلْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا اَلْجَنَّةَ
Dari Abu Hurairah Radhiallahu Anhu berkata: ”Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Umrah satu ke Umrah lainnya adalah penebus dosa antara keduanya, dan haji yang mabrur tidak ada pahala baginya selain surga”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Kriteria Haji Mabrur
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin Rahimahullahu menyebutkan empat kriteria haji mabrur, yaitu:
- Ikhlas karena Allah Azza wa Jalla, bukan karena riya’ seperti ingin mendapatkan pujian dan penghormatan dari masyarakat, dan juga bukan karena sum’ah seperti menceritakan bahwa ia sudah berhaji dengan tujuan agar dipanggil Pak haji atau Bu hajah.
- Mutaba’ah mengikuti tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam manasiknya, sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لِتَأ خُذُوا عني مَنَا سِكَكُمْ
Hendaknya kamu mengambil dariku tuntunan manasik kalian. (Shahih Muslim)
- Harta yang dipakai untuk haji adalah dari harta yang halal, bukan dari harta yang haram seperti riba, hasil dari perjudian atau hasil dari merampas hak orang lain, atau hasil korupsi dan lain sebagainya, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ : يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنْ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ : وَقَالَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ، ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ
“Wahai manusia, sesungguhnya Allah Azza wa Jalla itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik pula. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan kepada kaum Mukminin seperti yang Dia perintahkan kepada para Rasul. Allah Azza wa Jalla berfirman,’Wahai para Rasul! Makanlah dari (makanan) yang baik-baik, dan kerjakanlah kebajikan”. [al-Mu’minun /23: 51]
Dan Allah Azza wa Jalla berfirman: ’Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepada kamu’ [al-Baqarah/2:172]
Kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menyebutkan orang yang bepergian dalam waktu lama; rambutnya kusut, berdebu, dan menengadahkan kedua tangannya ke langit,’Wahai Rabb-ku, wahai Rabb-ku,’sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan diberi kecukupan dengan yang haram, bagaimana doanya akan dikabulkan?”. (Shahih Muslim)
- Terbebas dari perbuatan rafats (jima’ atau perkataan dan perbuatan yang mengarah ke sana), dan fusuq (kefasikan), serta jidal (berdebat bukan dalam rangka menegakkan kebenaran). [20]. Hal ini sebagaimana penjelasan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits beliau:
مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
“Barangsiapa mealakukan haji ikhlas karena Allah Azza wa Jalla tanpa berbuat keji dan kefasikan, maka ia kembali tanpa dosa sebagaimana waktu ia dilahirkan oleh ibunya”.
Ulama yang lain menyebutkan bahwa tanda haji mabrur adalah amal perbuatan seseorang setelah menunaikan ibadah haji lebih baik dibandingkan sebelumnya.
Wallahu Ta’ala A’lam
Oleh: Ahmad Samiun Jazuli, MA. (Hud/Darussalam.id)
Copyright 2023, All Rights Reserved
Leave Your Comments