KEMENANGAN DIBALIK PERJANJIAN HUDAIBIYA
Oleh: Ustadz. Muhammadun Abdul Hamid, MA
Enam tahun lamanya sudah sejak Nabi dan sahabat-sahabatnya hijrah dari Makkah ke Madinah. Selama itu mereka terus-menerus bekerja keras, terus-menerus dihadapkan kepada peperangan, kadang dengan pihak Quraisy, adakalanya pula dengan pihak Yahudi. Sementara itu Islampun makin tersebar luas dan makin kuat.
Muslimin Mengumumkan Naik Haji
Pada suatu pagi ketika sedang berkumpul di masjid, tiba-tiba Nabi memberitahukan kepada mereka bahwa beliau telah mendapat ilham dalam mimpi, bahwa insya Allah mereka akan memasuki Masjid Suci dengan aman tenteram, dengan kepala dicukur atau digunting tanpa merasa takut.
Begitu mereka mendengar berita mengenai mimpi Rasulullah itu, serentak mereka mengucap; Alhamdulillah. Secepat kilat berita ini telah tersebar ke seluruh penjuru Medinah. Tetapi bagaimana caranya memasuki Masjid Suci itu? Dengan perang-kah? Ataukah orang-orang Quraisy secara paksa harus dikosongkan? Atau barangkali Quraisy dengan tunduk menyerah membukakan jalan?
Tidak. Tak ada pertempuran, tak ada perang. Bahkan Nabi mengumumkan kepada orang ramai supaya pergi menunaikan ibadah haji dalam bulan Dzulhijjah yang suci.
Dikirimnya utusan-utusan kepada kabilah-kabilah yang bukan dari pihak Muslimin, dianjurkannya mereka supaya ikut bersama-sama pergi berangkat ke Baitullah, dengan aman, tanpa ada pertempuran.
Jika Quraisy masih juga bersikeras hendak memeranginya dalam bulan suci, hendak melarang orang Arab pergi ke Masjid Suci, maka takkan ada orang-orang Arab yang mau mendukung sikap Quraisy atau akan membantu mereka melawan kaum Muslimin.
Dua Perkemahan Bertemu
Nabi mengumumkan kepada semua orang supaya berangkat menunaikan ibadah haji. Kepada kabilah-kabilah di luar Muslimin juga dimintanya berangkat bersama-sama. Tetapi ada juga dari kabilah-kabilah di luar Muslimin yang masih menunda-nunda, seperti Juhainah dan Muzainah.
Pada bulan Dzulqa’dah tahun ke-6 H sebagai salah satu bulan suci, Nabi berangkat dengan rombongan dari kaum Muhajirin dan Anshar, serta beberapa kabilah Arab yang mau menggabungkan diri. Nabi menunjuk Numailah bin Abdullah al-Laitsi sebagai imam sementara di Madinah.
Jumlah mereka yang berangkat ketika itu sebanyak 1400-1500 orang. Nabi membawa binatang kurban terdiri dari 70 ekor unta, dengan mengenakan pakaian ihram, dengan maksud supaya orang mengetahui, bahwa beliau datang bukan mau berperang, melainkan khusus hendak berziarah dan mengagungkan Baitullah.
Rombongan pun sampai di Dzul-Hulaifa, sebuah desa yang berjarak enam atau tujuh mil jauhnya dari Madinah. Rombongan menyiapkan kurban dan mengucapkan talbiah.
Binatang kurban pun dilepaskan dan disebelah kanan masing-masing hewan itu diberi tanda. Tiada seorang juga dari rombongan haji itu yang membawa senjata selain pedang tersarung yang biasa dibawa orang dalam perjalanan. Isteri Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam yang ikut serta dalam perjalanan ini ialah Ummu Salamah Radhiallahu Anha.
Berita tentang Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam dan rombongannya serta tujuan kepergiannya hendak menunaikan ibadah haji itu sudah sampai juga kepada Quraisy. Akan tetapi dalam hati mereka timbul rasa khawatir. Masalahnya buat mereka adalah sebaliknya. Mereka menduga kedatangannya hanya sebagai suatu tipu muslihat saja. Dengan begitu Muhammad mau menipu supaya dapat memasuki Makkah, karena mereka dan golongan Ahzab pernah pula terlarang tak dapat memasuki Madinah. Apa yang mereka ketahui tentang lawan mereka yang hendak memasuki Tanah Suci melakukan Umrah itu serta apa yang sudah diumumkan di seluruh jazirah bahwa sebenarnya mereka hanya didorong oleh rasa keagamaan hendak menunaikan kewajiban yang sudah juga diakui oleh seluruh orang Arab, tidak akan dapat mengubah keputusan Quraisy hendak mencegah Muhammad memasuki Makkah; betapa pun besarnya pengorbanan yang harus mereka lakukan guna melaksanakan keputusan mereka itu.
Oleh karena itu sebuah pasukan tentara yang barisan berkudanya saja terdiri dari 200 orang, oleh Quraisy segera dikerahkan dan pimpinannya diserahkan kepada Khalid bin’l-Walid dan ‘Ikrima bin Abi Jahl. Pasukan ini maju ke depan supaya dapat merintangi Muhammad masuk Ibukota (Makkah). Mereka maju terus sampai dapat bermarkas di Dhu Tuwa.
Sebaliknya rombongan Nabi meneruskan perjalanannya sampai di ‘Usfan, sebuah desa yang terletak antara Makkah dan Medinah, sekitar 60 km dari Makkah. Di sana Nabi bertemu dengan Bisyr bin Sufyan al-Ka’bi dari suku Banu Ka’b. Nabi menanyakan kalau-kalau orang itu mengetahui berita-berita sekitar Quraisy.
“Mereka sudah mendengar tentang perjalanan tuan ini,” jawabnya.
“Lalu mereka berangkat dengan mengenakan pakaian kulit harimau. Mereka berhenti di Dhu Tuwa dan sudah bersumpah bahwa tempat itu sama-sekali tidak boleh tuan masuki. Sekarang Khalid bin’l-Walid dengan pasukan berkudanya sudah maju terus ke Kira’l-Ghamim.”
Kira’l-Ghamim adalah sebuah wadi di depan ‘Usfan, sekitar 8 mil (± 12 km).
“Celaka Quraisy!” kata Muhammad.
“Mereka sudah lumpuh karena peperangan. Apa salahnya kalau mereka membiarkan saya berhubungan dengan orang-orang Arab yang lain itu. Kalaupun orang-orang Arab itu sampai membinasakanku, itulah yang mereka harapkan, dan jika Allah memberi kemenangan kepadaku, mereka akan masuk Islam secara beramai-ramai. Jika mereka tidak masuk Islam, mereka pasti akan berperang, sebab mereka mempunyai kekuatan. Demi Allah, Quraisy jangan salah. Sesungguhnya aku akan terus memperjuangkan apa yang diutuskan Allah kepadaku sampai nanti Allah memberikan kemenangan atau sampai leher ini putus terpenggal”.
Rasulullah Memelihara Perdamaian
Rasulullah bermusyawarah dengan para sahabatnya yang akhirnya diputuskan mengalihkan jalur perjalanan untuk menghindari bentrokan fisik. Sesampainya kaum muslimin di sebuah tempat yang bernama “Tsanuyyatul Mirar” sebuah daerah di lembah hudaibiyah yang berjarak 30 Km dari Mekkah
Beberapa utusan Quraisy datang silih berganti untuk menanyakan maksud kedatangan Rasulullah dan sahabatnya ke Madinah. Hasil pembicaraan utusan pertama yaitu Budail bin Waraqa dengan Rasulullah, ia menjelaskan kepada pemuka Quraisy kedatangan Muhammad bahwa beliau hendak berziarah dan menunaikan ibadah haji. Utusan ke-dua yaitu Mikhraz bin Hafsh juga menjelaskan kepada pemuka Quraisy kedatangan Muhammad bahwa beliau hendak berziarah dan menunaikan ibadah haji. Utusan ke-tiga, Al Hulais bin Alqamah mengusulkan kepada pemuka Quraisy agar memperbolehkan kaum muslimin berziarah dan menunaikan haji. Utusan ke-empat Urwah bin Mas’ud menyarankan dan memperingatkan pemuka Quraisy bahwa mereka tidak akan mampu mengalahkan kaum muslimin.
Rasulullah pun mengirim utusannya kepada pihak Quraisy. Diantaranya adalah Khirasy bin Umayyah Radhiallahu Anhu, dalam perjalanan, untanya ditikam oleh pengacau pihak Quraisy dan Khirasy hampir tewas. Kemudian Utsman bin Affan Radhiallahu Anhu, pihak Quraisy tidak mengizinkan Muhammad masuk Makkah pada tahun ini. Karena terjadi dialog yang sangat alot, membuat Utsman tertahan selama 3 hari dan terlambat kembali ke pasukan kaum muslimin.
Peristiwa Bai’atur Ridhwan
Rasulullah dan kaum muslimin gelisah karena Utsman belum juga kembali. Hal itu juga yang membuat beliau mengumpulkan sahabat, kemudian bersabda “kami tidak akan meninggalkan tempat ini sebelum kami memerangi kaum Quraisy”. Rasulullah mengajak kaum muslimin untuk berbaiat dibawah pohon besar yang ada ditempat itu. Sebanyak 1400 – 1500 orang melakukan baiat kepada Rasulullah. Rasulullah bersabda “Tidak akan masuk neraka seseorang pun dari orang yang telah berbaiat di bawah sebatang pohon kayu itu”.
Sementara mereka dalam keadaan seperti itu tiba-tiba tersiar pula berita bahwa Utsman tidak terbunuh. Dan tidak lama kemudian disusul pula dengan kedatangan Utsman sendiri ke tengah-tengah mereka itu. Tetapi, sungguhpun begitu Ikrar Ridzwan ini tetap berlaku, seperti halnya dengan Ikrar ‘Aqaba Kedua, sebagai tanda dalam sejarah umat Islam. Nabi sendiri senang sekali menyebutnya, sebab disini terlihat adanya pertalian yang erat sekali antara dia dengan sahabat-sahabatnya, juga memperlihatkan betapa besar keberanian mereka itu, bersedia terjun menghadapi maut, tanpa takut-takut lagi. Barangsiapa berani menghadapi maut, maut itu takut kepadanya. Dia malah akan hidup dan memperoleh kemenangan.
Perundingan Antara Kedua Belah Pihak Dimulai Lagi
Quraisy yang mengetahui kondisi tersebut, segera mengutus Suhail bin Amr untuk membuat perjanjian damai dengan kaum muslimin. Dengan pesan: “Datangilah Muhammad dan adakan persetujuan dengan dia. Dalam persetujuan itu untuk tahun ini ia harus pulang. Jangan sampai ada kalangan Arab mengatakan, bahwa dia telah berhasil memasuki tempat ini dengan kekerasan”. Perjanjian damai inilah yang dikenal dengan nama “Shulhu Hudaibiyah.”
Sesampainya Suhail ke tempat Rasulullah, perundingan perdamaian dan syarat-syaratnya secara panjang lebar segera pula dibicarakan. Sekali-sekali pembicaraan itu hampir saja terputus, yang kemudian dilanjutkan lagi, mengingat bahwa kedua belah pihak sama-sama ingin mencapai hasil. Pihak Muslimin di sekeliling Nabi juga turut mendengarkan pembicaraan itu.
Ada beberapa orang dari mereka ini yang sudah tidak sabar lagi melihat Suhail yang begitu ketat dalam beberapa masalah, sedang Nabi menerimanya dengan cukup memberikan kelonggaran. Kalau tidak karena kepercayaan Muslimin yang mutlak kepada Nabi, kalau tidak karena iman mereka yang teguh kepadanya, niscaya hasil persetujuan itu tidak akan mereka terima. Akan mereka hadapi dengan perang supaya dapat masuk ke Makkah atau sebaliknya.
Abu Bakr dan Umar
Sampai pada akhir perundingan itu Umar bin’l-Khattab pergi menemui Abu Bakr dan berkata kepadanya: “Abu Bakr, bukankah beliau utusan Allah?”
Abu Bakr : “Ya, memang!”
Umar : “Bukankah kita ini Muslimin?”
Abu Bakr : “Ya, memang!”
Umar : “Kenapa kita mau direndahkan dalam soal agama kita?”
Abu Bakr : “Umar, duduklah di tempatmu. Aku bersaksi, bahwa dia utusan Allah.”
Setelah itu Umar menemui Rasulullah. Diulangnya pembicaraan itu kepada Rasulullah dengan perasaan geram dan kesal. Tetapi hal ini tidak mengubah kesabaran dan keteguhan hati Nabi. Paling banyak yang dikatakannya pada akhir pembicaraannya dengan Umar itu ialah:
“Aku hamba Allah dan RasulNya. Aku takkan melanggar perintahNya, dan Dia tidak akan menelantarkanku”.
Penulisan Perjanjian
Ketika terjadi penulisan isi persetujuan itu, yang membuat beberapa orang Muslimin jadi lebih kesal. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam memanggil Ali bin Abi Talib dan bersabda: “Tulislah: Bismillahir-Rahmanir-Rahim (Dengan nama Allah, Pengasih dan Penyayang).”
“Stop!” kata Suhail. “Nama Rahman dan Rahim ini tidak saya kenal. Tapi tulislah: Bismikallahuma (Atas namaMu ya Allah).”
Kata Rasulullah pula: “Tulislah: Atas namaMu ya Allah.” Lalu sambungnya lagi: “Tulislah: Inilah yang sudah disetujui oleh Muhammad Rasulullah dan Suhail bin ‘Amr.”
“Stop,” sela Suhail lagi. “Kalau saya sudah mengakui engkau Rasulullah, tentu saya tidak memerangimu. Tapi tulislah namamu dan nama bapakmu.”
Lalu kata Rasulullah pula: “Tulislah: Inilah yang sudah disetujui oleh Muhammad bin Abdillah dengan Suhail bin ‘Amr. Kedua belah pihak tidak akan mengadakan gencatan senjata selama sepuluh tahun. Barangsiapa dari golongan Quraisy menyeberang kepada Muhammad tanpa seijin walinya, harus dikembalikan kepada mereka, dan barangsiapa dari pengikut Muhammad menyeberang kepada Quraisy, tidak akan dikembalikan. Barangsiapa dari masyarakat Arab yang senang mengadakan persekutuan dengan Muhammad diperbolehkan, dan barangsiapa yang senang mengadakan persekutuan dengan Quraisy juga diperbolehkan. Untuk tahun ini Muhammad dan sahabat-sahabatnya harus kembali meninggalkan Makkah, dengan ketentuan akan kembali pada tahun berikutnya; mereka dapat memasuki kota dan tinggal selama tiga hari di Makkah dan senjata yang dapat mereka bawa hanya pedang tersarung dan tidak dibenarkan membawa senjata lain”. Perjanjian pun ditandatangani.
Pada awal-awal isi perjanjian ini terlihat merugikan kaum muslimin. Perjanjian ini disetujui oleh Rasulullah yang menuai kritik dari para sahabat. Namun setelah mendapat penjelasan dari Rasulullah, akhirnya para sahabat setuju dan mengetahui bahwasanya isi perjanjian ini sangat menguntungkan bagi kaum muslimin.
Isi dari Perjanjian Hudaibiyah tersebut adalah:
- Tidak saling menyerang antara kaum muslimin dengan penduduk Makkah selama 10 tahun.
- Kaum muslimin menunda untuk Umroh dan diperbolehkan memasuki kota Makkah pada tahun berikutnya dengan tidak membawa senjata kecuali pedang dalam sarungnya serta senjata pengembara.
- Siapa saja yang datang ke Madinah dari kota Makkah harus di kembalikan ke kota Makkah.
- Siapa saja dari penduduk Madinah yang datang ke Makkah, maka tidak boleh dikembalikan ke Madinah.
- Kesepakatan ini disetujui oleh kedua belah pihak dan tidak boleh ada pengkhianatan atau pelanggaran
Kesepakatan lain dari Perjanjian Hudaibiyah ini adalah siapa saja dari kabilah arab yang lain boleh masuk dalam perjanjian Quraisy atau Rasulullah. Dan perjanjian ini hanya berlaku bagi laki-laki, sedangkan wanita tidak di ikut sertakan.
Rasa Kekecewaan Kaum Muslimin Terhadap Rasulullah
Begitu selesai penulisan kesepakatan itu, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam berkata kepada para sahabatnya: “Berdirilah, sembelihlah korban kemudian bercukurlah.”
Kata (rawi): “Demi Allah, tidak ada seorang pun yang berdiri sampai beliau ucapkan tiga kali.”
Ketika tidak ada dari mereka yang berdiri seorang pun, beliau masuk menemui Ummu Salamah dan menceritakan apa yang beliau terima dari sikap kaum muslimin.
Kemudian Ummu Salamah berkata: “Wahai Nabi Allah, apakah anda suka hal itu (mereka melaksanakannya)? Keluarlah, jangan bicara dengan siapa pun lalu sembelihlah korban, panggil tukang cukurmu dan bercukurlah.”
Beliau pun keluar dan tidak bicara dengan siapa pun sampai melakukan saran Ummu Salamah tersebut. Beliau mulai menyembelih korbannya dan memanggil tukang cukurnya lalu bercukur.
Tatkala para sahabat melihat hal itu, mereka segera bangkit dan menyembelih korban mereka dan sebagian mencukur yang lain sampai hampir-hampir mereka bunuh-bunuhan karena menyesal (tidak segera melaksanakan perintah beliau).
Tak lama kemudian, datanglah para wanita yang sudah beriman kepada beliau. Di antaranya Ummu Kultsum bintu ‘Uqbah bin Abi Mu’ith. Lalu datang pula keluarganya menyusul dan meminta kepada beliau agar Ummu Kultsum diserahkan kepada mereka. Namun beliau tidak menyerahkannya kepada mereka. Allah Ta’ala menurunkan ayat:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ
(Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka) sampai kepada ayat: بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ (Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir). Pada waktu itu pula ‘Umar menceraikan kedua istrinya yang masih musyrik. Kemudian salah seorang dinikahi oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan yang lainnya dinikahi oleh Shafwan bin ‘Umayyah.
Setelah itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai bertolak kembali ke Madinah. Saat kepulangan itulah turun surat Al-Fath (1-3):
إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُبِينًا*لِيَغْفِرَ لَكَ اللَّهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ وَيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكَ وَيَهْدِيَكَ صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا*وَيَنْصُرَكَ اللَّهُ نَصْرًا عَزِيزًا
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata, supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus, dan supaya Allah menolongmu dengan pertolongan yang kuat (banyak).”
Para sahabat pun bertanya: “Benarkah ini kemenangan, ya Rasulullah?”
“Ya,” sahut beliau. Kemudian kata mereka: “Selamat untuk engkau, ya Rasulullah. Tapi mana untuk kami?” Lalu Allah ‘Azza wa Jalla turunkan (ayat 4):
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَعَ إِيمَانِهِمْ وَلِلَّهِ جُنُودُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
“Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi, dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (Al Fath: 4)
Perdamaian Hudaibiyah ini merupakan kemenangan nyata dan pengantar kemenangan-kemenangan besar setelahnya. Di antara bentuk kemenangan perdamaian ini adalah sebagai berikut.
Pertama, kemenangan dakwah. Karena dengan perdamaian ini manusia mendapatkan rasa aman, sehingga orang lebih rasional. Maka Islam lebih berpeluang mengisi akal fikiran dan hati manusia, sehingga dalam kurun waktu dua tahun jumlah kaum muslimin bertambah secara spektakuler. Ibnu Hisyam Rahimahullahu menyatakan bahwa pada saat Hudaibiyah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam berangkat bersama sekitar 1400 shahabat, sedang dalam Fathu Makkah 2 tahun setelahnya beliau berangkat bersama 10.000 pasukan. Diantara yang masuk Islam di masa itu adalah Khalid bin Walid Radhiallahu Anhu dan Amr bin Ash Radhiallahu Anhu. Az-Zuhri mengatakan, “Islam belum pernah mendapatkan kemenangan yang melebihi kemenangan tersebut.
Kedua, optimalisasi potensi kaum muslimin untuk meluaskan teritorial dakwah dan menjalankan ajaran islam. Sebab perjanjian itu dapat mengurangi tekanan dan ancaman kekuatan musuh (terutama Quraisy), sehingga kaum muslimin dapat lebih leluasa membebaskan Jazirah Arab dari sisa-sisa Yahudi yang selalu berkhianat. Pada tahun 7 Hijriyah terjadilah perang Khaibar, di mana kaum muslimin mendapatkan rampasan perang besar. Rampasan itu hanya diberikan kepada kaum muslimin yang ikut perjanjian Hudaibiyah.
Ketiga, pengakuan eksistensi kekuasaan umat Islam. Tidak diragukan bahwa perjanjian damai yang dinamai oleh Al-Qur’an kemenangan yang agung ini, benar-benar berhak mendapatkan nama tersebut. Bahkan dapat dikatakan bahwa peristiwa itu merupakan fase penentu dalam sirah nabawiyah, sejarah Islam dan kekuatannya, atau dengan kata lain peristiwa terbesar sepanjang sejarah. Sebab Quraisy mengakui Nabi, Islam, serta eksistensi dan kekuatan keduanya. Mereka juga menganggap Nabi dan Islam sebagai rival yang sebanding.
Kaum Badui dan kaum munafiqin pun semakin segan dan takut dengan kekuasaan kaum muslimin. Sebab pada saat berangkat Umrah, mereka menyangka bahwa Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam dan sahabatnya tidak akan pulang ke Madinah dengan selamat. Ternyata, mereka kembali ke Madinah dengan mendapat pengakuan dari Quraisy.
Keempat, kematangan kaum muslimin. Sebab dengan peristiwa Hudaibiyah, para sahabat semakin tsiqah dengan pimpinannya, semakin mantab dengan fikrahnya, dan semakin yakin dengan kebersamaan Allah Ta’ala bersama mereka. Kematangan itu tergambar di Bai’atur Ridhwan dan tergambar secara jelas di penghujung Surat Al-Fath,
مُّحَمَّدٌ رَّسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاء عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاء بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعاً سُجَّداً يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِّنَ اللَّهِ وَرِضْوَاناً سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِم مِّنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْراً عَظِيماً (الفتح: 29)
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar”. (Al-Fath: 29)
Wallahu Ta’ala A’lam
Copyright 2023, All Rights Reserved
Leave Your Comments