Membumikan Dakwah Islamiyah
Kajian Yang Di Sampaikan Oleh Ust. Dr. Ahzami Samiun Jazuli, MA
Alquran adalah kitab suci Allah yang wajib dibaca oleh para hamba Allah di seluruh alam semesta. Sementara di tengah masyarakat ada bermacam-macam corak dakwah. Ada yang berdakwah mengajak manusia ke Surga, ada juga yang berdakwah mengajak manusia ke neraka Jahannam.
Sementara dakwah yang mengajak ke Surga juga bermacam-macam dan bervariasi. Ungkapan yang sering dijadikan bahan dakwah mereka adalah Islam rahmatan lil’alamin. Istilah ini harus dipahami dengan benar sesuai dengan pemahaman salafusshalih, sehingga nantinya tidak terjadi “kalimatnya benar tapi dimaksudkan kebatilan.”
Atas dasar inilah kita mengangkat tema “Membumikan Dakwah Islamiyah Rahmatan Lil A’lamin Dalam Perspektif Harakah”
Urgensi Tema
- Tema ini diangkat oleh alquran. Berarti alquran adalah Kitabud Dakwah. Banyak ayat yang berbicara tentang dakwah, diantaranya:
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْراً لَّهُم مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ (آل عمران: 110)
قُلْ هَـذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاْ وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللّهِ وَمَا أَنَاْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ (يوسف: 108)
ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ (النحل: 125)
- Alquran adalah Kitabur Rahmah
Inti daripada diutusnya Nabi Shallallallahu Alaihi wa Sallam adalah sebagai rahmat bagi semesta alam. Bahkan jika kita membaca alquran sesuai urutan penulisannya (bukan urutan turunnya) kita dapati ayat yang dibuka dengan redaksi rahmat ditutup juga dengan kalimat rahmat, sepertihalnya Bismillahirrahmanirrahim. Para ulama’ tafsir mengatakan bahwa hubungan Allah dengan seluruh hamba-Nya adalah hubungan kasih sayang dengan seluruh bentuknya. Shalat adalah rahmat, berjama’ah juga rahmat, rumah tangga adalah rahmat, berbangsa dan bernegara adalah rahmat. Sehingga yang dominan dalam hidup ini adalah rahmat, meskipun Allah Ta’ala juga mempunyai adzab.
- Alquran adalah kitab untuk seluruh alam (jin dan manusia) bukan untuk kaum tertentu
Allah Ta’ala berfirman,
تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيراً
“Maha Berkah dan Tinggi Allah yang telah menurunkan Al-Furqan kepada hamba-Nya, supaya ia menjadi pemberi peringatan pada seluruh alam.” (Al Furqan: 1)
- Alquran adalah Kitab Perjuangan
Di dalam sirah nabawiyah, kita dapati bahwa alquran itu digerakkan. Allah Ta’ala berfirman,
فَلَا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُم بِهِ جِهَاداً كَبِيراً
“Maka janganlah engkau taati (keinginan) orang-orang kafir, dan berjuanglah terhadap mereka dengannya (Al Quran) dengan (semangat) perjuangan yang besar.” (Al Furqan: 52)
Dalam ayat ini, diisyaratkan secara tegas bahwa kekafiran adalah musuh dan senjata untuk melawan mereka adalah Al-Quran. Allah Ta’ala memerintahkan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk berjihad melawan mereka dengan ilmu (Al Qur’an). Jika engkau melihat di antara mereka bersikap mendustakan dan berani terhadapmu, maka kerahkanlah kemampuanmu dan tidak berputus asa menunjuki mereka serta tidak meninggalkan dakwah karena keinginan mereka.
Ketika Rasulullah berada di Makkah dan Madinah, apakah nabi berjuang bersama alquran atau malah hanya menghafal alquran saja? Berjuang bersama alquran. Inilah yang kita maksudkan dengan dakwah islamiyah yang rahmatan lil ‘alamin dalam perspektif harakah.
Kenapa tema ini harus diangkat?
Agar jangan sampai salah paham dalam memahami istilah alquran. Diantara pemahaman yang keliru tersebut adalah tentang istilah “rahmat”. Begitu isu teroris, islam radikal menguat, sebagian orang beramai-ramai menyampaikan bahwa “kita harus berdakwah islamiyah yang rahmatan lil ‘alamin”. Ungkapan ini benar, tapi kita khawatir pemahamannya yang tidak tepat. Mari kita mulai dari sebagian pihak yang tidak jujur dalam memahami makna rahmatan lil ‘alamin.
Ada aktivis dakwah yang dakwahnya sejuk. Saking sejuk dakwahnya ia berani mengatakan, “kita adalah manusia biasa, jadi wajar jika ada diantara kita yang berbuat dosa. Tetapi islam adalah agama toleran, alquran menyatakan bahwa tidak ada paksaan dalam agama. Jadi kita harus menyadari bahwa hidup di Indonesia memang beragam. Jadi, kita harus menghargai orang yang tidak puasa.”
Apakah kita tidak ingat bahwa ketika Nabi berdakwah dan berkhutbah seolah-olah memberikan komando terhadap sebuah pasukan? Hal itu menggambarkan kesungguhan Nabi dalam memberikan peringatan kepada umatnya. Maka jangan sekali-kali membiarkan kemunkaran, karena jika suatu kaum membiarkan kemunkaran, maka hampir-hampir Allah meratakan semuanya dengan adzab.
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda
إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوْا الْمُنْكَرَ فَلَمْ يُغِّيِروه ، أَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللَّهُ بِعِقَابِهِ
“Sesungguhnya orang banyak bila melihat kemungkaran lalu mereka tidak merubahnya, maka hampir saja Allah meratakan mereka semua dengan adzab-Nya”. (Musnad Imam Ahmad)
Pertanyaannya, agama Allah yang rahmat itu hanya pada ajaran tertentu atau pada seluruh ajaran Allah?
Toleransi adalah rahmat, sabar, memaafkan dan tersenyum juga rahmat. Dan jihad berperang di jalan Allah adalah rahmat, sikap yang tegas, tidak berbasa basi ketika melihat penyimpangan juga rahmat. Ajaran islam, seluruhnya rahmat. Maka “rahmat”, jangan sampai dipahami mengikuti selera manusia. Ridha manusia adalah tujuan yang tidak pernah akan dicapai. Jadi, rahmat harus dipahami secara benar dan komprehensif.
Mari kita hadirkan dakwah rahmatan lil ‘alamin. Suatu saat, Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu datang kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dengan membawa salinan dari kitab Taurat. Ia berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ ، هَذِهِ نُسْخَةٌ مِنْ التَّوْرَاةِ ، فَسَكَتَ ، فَجَعَلَ يَقْرَأُ وَوَجْهُ رَسُولِ اللَّهِ يَتَغَيَّرُ ، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ رَحْمَةُ اللَّهِ عَلَيهِ : ثَكِلَتْكَ الثَّوَاكِلُ ، مَا تَرَى مَا بِوَجْهِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ فَنَظَرَ عُمَرُ إِلَى وَجْهِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالَ : أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ غَضَبِ اللَّهِ ، وَمِنْ غَضَبِ رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، رَضِينَا بِاللَّهِ رَبًّا ، وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا ، وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ ، لَوْ بَدَا لَكُمْ مُوسَى فَاتَّبَعْتُمُوهُ وَتَرَكْتُمُونِي ، لَضَلَلْتُمْ عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ ، وَلَوْ كَانَ حَيًّا وَأَدْرَكَ نُبُوَّتِي لَاتَّبَعَنِي ” .
“Ya Rasulullah, ini salinan dari kitab Taurat.” Rasulullah diam, lalu mulailah ‘Umar membacanya dalam keadaan wajah beliau berubah. Melihat hal itu Abu Bakar berkata kepada ‘Umar: “Betapa ibumu kehilangan kamu, tidakkah engkau melihat perubahan pada wajah Rasulullah?” Umar melihat wajah Rasulullah (dan ia menangkap perubahan tersebut), maka ia berkata: “Aku berlindung kepada Allah dari kemurkaan Allah dan Rasul-Nya. Kami ridha Allah sebagai Rabb kami, Islam sebagai agama kami dan Muhammad sebagai Nabi kami.” Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: “Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seandai-nya Musa Alaihissalam muncul kepada kalian kemudian kalian mengikutinya dan meninggalkan aku, sungguh kalian telah sesat dari jalan yang lurus. Seandainya Musa masih hidup dan ia menemui masa kenabianku, niscaya ia akan mengikutiku.” (HR. Ad Darimi)
Kita juga masih ingat akan sahabat Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiyallahu Anhu, yang dikenal berhati lemah lembut, berpendapat bahwa mereka semua tanpa kecuali termasuk yang ingkar membayar zakat harus diperangi sebagaimana mereka yang murtad. Pendapat kedua mengatakan mereka harus diperangi kecuali mereka yang ingkar membayar zakat, sebab mereka masih tetap beriman. Umar, yang dikenal berwatak keras, berada di pihak kedua. Ia berkata: “Wahai Abu Bakar, bagaimana engkau memerangi mereka, padahal Rasulullah telah bersabda: “Saya di perbolehkan memerangi manusia sampai mereka mangatakan kalimah ‘La Illaha Illa’allah’. Maka barang siapa yang telah mengatakannya, maka harta dan jiwanya aman dari tindakan saya, kalau dengan hak, dan perhitungannya terserah kepada Allah”. Abu Bakar menjawab: “Demi Allah, saya akan memerangi mereka yang memisahkan sholat dan zakat. Karena sesungguhnya zakat adalah hak harta”. Akhirnya, Umar membenarkan pendapat Abu Bakar, dan para sahabat pun mendukung keputusannya.
Inilah diantara contoh dakwah yang rahmatan lil ‘alamin.
Bagaimana Agar Dakwah Membumi? Dakwah Harus Bersumber Dari Wahyu
Siapapun aktivis dakwah yang berafiliasi kepada jama’ah apapun, yang harus didakwahkan adalah wahyu Allah bukan pemikiran atau pendapat gurunya, supaya tidak ada fanatisme golongan atau kultus individu. Adapun jama’ah itu hanya sekedar wasilah (perantara).
Pada suatu hari, Rasulullah sedang berdakwah kepada para pembesar Quraisy di Mekkah. Di antara mereka terdapat Al-Abbas bin Abdul Muthalib, Umaiyah bin Khalaf, dan Utbah bin Rabiah. Mereka diminta untuk menyembah Allah. Bila mereka memeluk agama Islam, Rasulullah berharap orang lain pun akan memeluk agama Islam.
Ketika Rasulullah sedang berdakwah, tiba-tiba datang seorang lelaki tua yang buta. Ia adalah Abdullah bin Ummi Maktum. Sekalipun ia seorang yang buta. Ibnu Ummi Maktum memiliki semangat yang tinggi dalam mempelajari ajaran Islam. Ia menggunakan pendengarannya yang tajam untuk menangkap ajaran Rasulullah. Ia juga sering mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada Rasulullah.
Ia berkata, “Ya Rasulullah, bacakan dan ajarkan Al-Qur’an kepadaku.” Mendengar hal itu, Rasulullah mengerutkan wajahnya dan berpaling dari Abdullah. Kemudian, Abdullah berkata, “Ya Rasulullah, ajarkan kepadaku apa yang diajarkan Allah kepadamu.” Abdullah meminta hal tersebut berulang kali. Ia tidak mengetahui bahwa Rasulullah sedang berdakwah kepada pembesar di Mekkah. Rasulullah merasa terganggu karena Abdullah memotong pembicaraannya. Rasulullah bermuka masam dan berpaling dari Abdullah.
Kemudian, Allah menurunkan wahyu yang memerintahkan Rasulullah untuk melayani semua orang yang ingin mempelajari Islam dengan baik. Kisah ini berkaitan dengan ayat 1 – 11 Surat ‘Abasa. “Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman). Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), sedang ia takut kepada (Allah), maka kamu mengabaikannya. Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan.”
Setelah kejadian tersebut, Rasulullah selalu menyambut kedatangan Abdullah bin Ummi maktum dengan baik. Ia membentangkan serban sebagai tempat duduk Abdullah bin Ummi Maktum. Rasulullah melakukannya sebagai tanda hormatnya, ia berkata, “Ahlan biman atabany fihi rabbi” (Selamat datang kepada orang yang menyebabkan aku ditegur Allah). Ucapan salam itu adalah ucapan istimewa sebagai penghormatan dan rasa cinta Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada sahabatnya yang buta itu. Demikian pula ketika hendak berpisah dengannya, Rasulullah selalu bertanya, “Apakah yang engkau inginkan? Adakah sesuatu yang engkau kehendaki?
Maka jangan sekali-kali berani mendahului ketentuan Allah, karena timbangan yang pasti benar adalah timbangan wahyu. Sebab itu ada sebuah kaidah, “Tidak boleh berijtihad jika bertabrakan dengan nash.” Ijtihad itu, jika tidak ada nash dalam alquran dan as sunnah.
Wallahu Ta’ala A’lam
(haidar/darussalam.id)
Copyright 2023, All Rights Reserved
Leave Your Comments