PERINTAH PALING AGUNG DAN LARANGAN PALING BESAR DALAM ISLAM (Lanjutan Pembahasan Al Ushul Ats Tsalatsah)
Oleh:Ustadz Dr. Suroso Abdussalam
وأعظم ما أمر الله به التوحيد، وهو إفراد الله بالعبادة . وأعظم ما نهى عنه الشرك وهو دعوة غيره معه والدليل قوله تعالى
“Perkara terbesar yang diperintahkan Allah adalah tauhid, yaitu mengesakan Allah dalam beribadah. Dan perkara terbesar yang dilarang oleh Allah adalah syirik, yaitu menyembah sesuatu yang lain di samping menyembah Allah. Dalilnya adalah firman Allah:
وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئاً
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.” (An Nisa’: 36)
Perkataan penulis “perintah Allah yang paling agung adalah tauhid yakni mengesakan Allah dalam beribadah.”
Secara etimologi makna tauhid berasal dari “wahhada-yuwahhidu-tauhidan” yakni menjadikannya esa tidak ada duanya.
Penulis mendefinisikan tauhid dengan pengesaan Allah dalam ibadah. Beliau menghendaki definisi tauhid yang para rasul diutus untuk merealisasikannya. Sebenamya makna tauhid secara umum ialah pengesaan Allah dalam rububiyah, uluhiyah dan nama serta sifat-sifat Allah. Ini adalah pembagian tauhid yang tiga. Adapun penulis di sini mendefinisikan tauhid dengan pengesaan Allah dalam beribadah yaitu untuk menerangkan jenis tauhid yang menjadi sumber persengketaan (antara rasul dan umatnya). Untuk menegakkan tauhid inilah para rasul diutus, diturunkan kitab-kitab suci dan disyariatkan jihad yaitu untuk tauhid uluhiyah. Dan makna mengesakan Allah dalam ibadah ialah dalam niat, perkataan dan perbuatan yaitu mengesakan Allah dalam perkataan, perbuatan dan niat. Ibadah yang dimaksud penulis adalah ibadah syar’iyyah yaitu tunduk kepada segala perintah syariat yang Allah turunkan. Perintah syariat yang Allah turunkan ialah melaksanakan hukum yang telah dibebankan.
Makna Ibadah
Ibadah secara etimologi berarti merendahkan diri serta tunduk. Di dalam syara’, ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya satu.
قال شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله: العبادة هي طاعة الله بامتثال ما أمر الله به على ألسنة الرسل. وقال أيضاً: العبادة هي اسم جامع لكل ما يحبه الله ويرضاه من الأقوال والأعمال الظاهرة والباطنة
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullahu menyatakan, “Ibadah adalah melakukan ketaatan kepada Allah yaitu dengan melaksanakan perintah Allah yang disampaikan melalui lisan para rasul”.
Beliau juga menjelaskan, “Ibadah adalah istilah yang meliputi segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, berupa ucapan (lesan atau hati) maupun perbuatan, yang tampak maupun yang tersembunyi”.
Jadi, ibadah mencakup seluruh tingkah laku seorang mukmin jika perbuatan itu diniatkan sebagai qurbah (pendekatan diri kepada Allah) atau apa-apa yang membantu qurbah itu. Seperti halnya berdoa, shalat, shaum dan sebagainya. Bahkan adat kebiasaan yang dibolehkan secara syari’at (mubah) dapat bernilai ibadah jika diniatkan sebagai bekal untuk taat kepada-Nya. Seperti tidur, makan, minum, jual-beli, bekerja mencari nafkah, nikah dan sebagainya. Berbagai kebiasaan tersebut jika disertai niat baik (benar) maka menjadi bernilai ibadah yang berhak mendapatkan pahala. Dan tidaklah ibadah itu terbatas pada syi’ar-syi’ar yang biasa dikenal semata.
Perkataan penulis “dan larangan yang terbesar adalah syirik”.
Asal makna syirik adalah bagian. Seseorang dikatakan menyekutukan Allah apabila dia memberikan bagian (hak Allah) kepada sesuatu yang lain. Ataupun seorang beribadah kepada Allah juga beribadah kepada selain-Nya.
Dan larangan Allah yang terbesar adalah larangan berbuat syirik. Karena hak yang paling besar adalah hak Allah -Hak tersebut ialah mengesakan Allah dalam ibadah. Jika Allah disekutukan dengan sesuatu yang lain berarti telah menyia-nyiakan hak yang terbesar tersebut. Dalam sebuah hadits yang diriwayatican dari Abdullah bin Mas’ud ia berkata: “Aku bertanya kepada Rasulullah —atau Rasulullah ditanya: “Dosa apakah yang paling besar?”
Rasulullah menjawab:
أن تجعل لله ندًّا وهو خلقك
“Engkau menyekutukan Allah sementara Dia-lah yang telah menciptakanmu….” (Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Bukhary dan Muslim)
Rasulullah bertanya kepada Mu’adz Bin Jabal Radhiallahu Anhu,
أتدري ما حق الله على عباده ؟ قال : الله ورسوله أعلم . قال : حق الله على عباده أن يعبدوه ولا يشركوا به شيئاً
“Hai Muadz, tahukah engkau apakah hak Allah atas hamba-Nya?” Muadz menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Rasulullah bersabda: “Hak Allah atas hamba-Nya ialah hendaknya mereka menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan suatu yang lain.” (Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Bukhary dan Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa Allah mempunyai hak atas hamba-Nya. Barangsiapa menyia-nyiakan hak tersebut berarti ia telah menyia-nyiakan hak yang terbesar.
Perkataan penulis “yaitu berdo’a (beribadah) kepada selain Allah”
Ini adalah definisi syirik yaitu menjadikan tuhan yang lain selain Allah, sama halnya berupa malaikat atau seorang rasul atau seorang wali, atau seorang yang dianggap shalih dan dekat dengan Allah atau batu ataupun seorang manusia yang mereka sembah sebagaimana mereka menyembah Allah. Bentuk ibadah tersebut bisa berupa berdoa kepadanya, meminta bantuan kepadanya, mempersembahkan sembelihan atau nadzar untuknya atau bentuk-bentuk ibadah yang lainnya. Inilah syirik besar. Karena doa merupakan ibadah, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Nu’man Bin Basyir bahwa Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
الدعاء هو العبــادة
“Doa adalah ibadah.” [Dikeluarkan oleh At-Tirmidzy, Ibnu Majah, Abu Daud, Ahmad, Al-Bukhary dalam Kitab Al-Adabul Mufrad, Al Hakim, berkata At-Tirmidzy hadits hasan shahih]
Karena doa adalah ibadah maka tidak boleh ditujukan kepada selain Allah. Barangsiapa menujukan ibadah kepada selain Allah maka dia telah melakukan dosa syirik dan kekafiran, yang pelakunya diancam kekal di dalam neraka.
Ancaman Perbuatan Syirik
Banyak sekali dalil yang menerangkan ancaman berbuat syirik. Diantara dalil-dalil tersebut adalah sebagai berikut.
إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاءُ وَمَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْماً عَظِيماً (النساء: 48)
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia Telah berbuat dosa yang besar”. (An Nisaa’: 48)
إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاءُ وَمَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً بَعِيداً (النساء: 116)
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya”. (An Nisaa’: 116)
إِنَّهُ مَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللّهُ عَلَيهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ (المائدة: 72)
…..”Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, Maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun”. (Al Maidah: 72)
عَنْ جَابِرٍ ، قَالَ : قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، مَا الْمُوجِبَتَانِ ؟ ، قَالَ : ” مَنْ مَاتَ لا يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ ، وَمَنْ مَاتَ يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا دَخَلَ النَّارَ
Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu Anhu berkata, “Seseorang laki-laki bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan dua hal yang pasti dipenuhi?’ Kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Barangsiapa mati dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu niscaya dia masuk surga. Dan barangsiapa mati dalam keadaan mempersekutukan Allah dengan sesuatu niscaya dia masuk neraka”. (HR. Muslim)
Selain hadits tersebut di atas masih banyak hadits-hadits dan keterangan lainnya yang mengandung peringatan Rasulullah kepada umatnya tentang syirik dan beberapa perantaranya.
Al-Imam an-Nawawi Rahimahullahu berkata, “Masuk nerakanya seorang musyrik berlaku secara umum, dia akan masuk neraka dan kekal di dalamnya. Tidak ada perbedaan antara ahlul kitab kalangan Yahudi, Nasrani, dan para penyembah patung serta seluruh orang kafir dari kalangan orang-orang murtad dan Mu’aththilah (golongan yang meniadakan nama dan sifat Allah Ta’ala) …” (Lihat Taisir al-‘Azizil Hamid)
Peringatan Syirik Kecil
Syirik yang ini tidak menyebabkan pelakunya keluar dari agama tetapi dapat mengurangi pahala dan terkadang dapat menghapuskan pahala amal kebaikan seperti perbuatan riya’. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam,
عَنْ مَحْمُودِ بْنِ لَبِيدٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ إنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ ، قَالُوا وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ “الرِّيَاءُ”
Dari Mahmud bin Labid, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda “Sesuatu yang paling aku khawatirkan akan menimpa kalian adalah syirik kecil” para sahabat bertanya “Wahai Rasulullah apa yang dimaksud dengan syirik kecil itu? Beliau menjawab “Riya’”. (HR. Ahmad)
Apabila Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam mewanti-wantikan riya’ kepada para sahabatnya yang telah mentauhidkan Allah dalam beribadah, mengharap kepada Allah dan sesuatu yang diperintahkan kepada mereka berupa ketaatan kepadanya, lalu mereka berhijrah dan berjihad melawan orang-orang yang kafir kepada Allah; mereka (sahabat) telah mengenal apa yang didakwahkan oleh Nabi mereka, dan sesuatu yang diturunkan oleh Allah dalam Kitab-Nya berupa keikhlasan, dan berlepas diri dari syirik. Maka bagaimanakah seorang yang tidak ada bandingannya dengan para sahabat dalam perkara ilmu dan amal; lalu tidak merasa takut kepada dosa syirik yang disebut dengan “RIYA”.
Riya’ yaitu adalah mengamalkan ibadah dengan niat untuk mendapatkan bagian dunia, baik berupa puijan, harta, kedudukan, wanita, dan semacamnya dan dia termasuk syirik ashghar atau syirik khafyi.
Demikian juga halnya dengan bersumpah atas nama selain Allah, sumpah dengan menyebut bapak-bapaknya, ibu-ibunya, anak-anaknya atau sumpah dengan atas nama kepercayaan dan lain-lain.
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَدْرَكَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ وَهُوَ يَسِيرُ فِي رَكْبٍ يَحْلِفُ بِأَبِيهِ فَقَالَ أَلَا إِنَّ اللَّهَ يَنْهَاكُمْ أَنْ تَحْلِفُوا بِآبَائِكُمْ مَنْ كَانَ حَالِفًا فَلْيَحْلِفْ بِاللَّهِ أَوْ لِيَصْمُتْ
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah dari Malik dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar Radhiallahu Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menjumpai Umar bin Khattab yang sedang berjalan di atas hewan tunggangannya, dan ia bersumpah dengan nama ayahnya. Maka Rasulullah menegur; “jangan, tahukah kamu bahwa Allah melarang kalian bersumpah dengan nama ayah-ayah kalian? “Barangsiapa yang bersumpah, hendaklah bersumpah dengan nama Allah, atau lebih baik diam”. (HR. Bukhari)
Meskipun peringatan yg terdapat dalam hadits-hadits Nabi itu sangat keras tetapi banyak sekali kaum muslimin yang melakukan sesuatu yang dilarang oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Dalam kenyataannya banyak kaum muslimin yang banyak melakukan berbagai macam perbuatan syirik sehingga kemusyrikan dan bid’ah sedemikian rupa dilakukan secara teratur seakan-akan hal tersebut merupakan perbuatan yang bersumber dari agama. Padahal memperlihatkan ketauhidan dan kemurnian beragama itu hanya kepada Allah merupakan sesuatu yang telah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Orang yang berpegang teguh terhadap perintah tersebut dengan mencegah kemusyrikan dan perbuatan bid’ah maka dia akan berhadapan dengan orang-orang bodoh dan orang-orang musyrik. Dan tidak ada daya dan kekuatan selain atas pertolongan Allah. Di mana mereka ini merupakan orang-orang yang menyebarkan kebencian kepada orang-orang shaleh dan berpaling dari agama yang benar. Dengan demikian kemungkaran dihadapan orang-orang yang sesat dianggap sebagai perbuatan baik dan perbuatan yang baik dianggap sebagai perbuatan mungkar.
Apabila telah mengetahui bahaya perbuatan syirik, hendaknya kita tidak meremehkan syirik. Nabi Ibrahim Alaihissalam saja berdoa kepada Allah Ta’ala agar dijauhkan dari syirik, sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَـذَا الْبَلَدَ آمِناً وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعْبُدَ الأَصْنَامَ
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata, “Wahai Rabbku, jadikanlah negeri ini (Makkah) negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari menyembah berhala-berhala.” (Ibrahim: 35)
Jika Nabi Ibrahim Alaihissalam saja berdoa agar dijauhkan dari kesyirikan, bagaimana dengan kita? Apakah merasa aman dari perbuatan syirik?!
Wallahu Ta’ala A’lam
Copyright 2023, All Rights Reserved
Leave Your Comments