Sirah Nabawiyah: UMRATUL QADHA
Kajian Muslimah. Ust. DR. Aminullah, MA
Sebelum memasuki uraian tentang umratul qadha’ yaitu umrah pengganti. Kita mesti mengetahui tentang perjanjian Hudaibiyah. Perjanjian Hudaibiyah adalah perjanjian antara Kaum Muslimin Madinah, dalam hal ini dipimpin oleh Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam dengan kaum musyrikin Mekkah. Ini terjadi pada pada bulan Dzulqa’dah tahun ke-6 setelah beliau hijrah dari Mekah ke Madinah. Perjanjian ini terjadi di Lembah Hudaibiyah, berada di pinggiran Kota Mekah.
Berawal dari mimpi Rasulullah yang melihat dirinya bersama para sahabat memasuki masjidil haram, mengambil kunci ka’bah, melaksanakan thawaf dan umrah. Mimpi Rasulullah tersebut diberitahukan kepada para sahabat-sahabatnya bahwa beliau telah mendapat ilham dalam mimpi hakiki, bahwa insya Allah mereka akan memasuki Mesjid Suci dengan aman tenteram, dengan kepala dicukur atau digunting tanpa merasa takut.
Terilhami dari mimpi tersebut Rasulullah bersama para sahabat yang berjumlah 1400-1500 orang berangkat ke Makkah tanpa membawa senjata, kecuali yang biasa dibawa oleh para musafir, yaitu pedang yang berada di sarungnya, tujuan mereka adalah thawaf dan umroh.
Berita tentang Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam dan rombongannya serta tujuan kepergiannya hendak menunaikan ibadah haji itu sudah sampai juga kepada Quraisy. Akan tetapi dalam hati mereka timbul rasa hawatir. Masalahnya buat mereka adalah sebaliknya. Mereka menduga kedatangannya hanya sebagai suatu tipu muslihat saja. Dengan begitu Muhammad mau menipu supaya dapat memasuki Mekah, karena mereka dan golongan Ahzab pernah pula terlarang tak dapat memasuki Madinah. Apa yang mereka ketahui tentang lawan mereka yang hendak memasuki Tanah Suci melakukan Umrah itu serta apa yang sudah diumumkan di seluruh jazirah bahwa sebenarnya mereka hanya didorong oleh rasa keagamaan hendak menunaikan kewajiban yang sudah juga diakui oleh seluruh orang Arab. Walaupun demikian, tidak akan dapat mengubah keputusan Quraisy hendak mencegah Muhammad memasuki Mekah; betapa pun besarnya pengorbanan yang harus mereka lakukan guna melaksanakan keputusan mereka itu.
Oleh karena itu sebuah pasukan tentara yang barisan berkudanya saja terdiri dari 200 orang. Pasukan ini maju ke depan supaya dapat merintangi Muhammad masuk Ibukota (Makkah). Mereka maju terus sampai dapat bermarkas di Dhu Tuwa.
Ketika kaum Muslimin sampai di Hudaibiyah. Al-Qashwa’ (unta milik Nabi) berlutut. Kaum Muslimin menduga ia sudah terlalu lelah. Tetapi Nabi berkata: “Tidak. Ia (unta itu) ditahan oleh yang menahan gajah dulu dari Mekah.
Kedua pihak masing-masing sekarang sedang memikirkan langkah berikutnya. Nabi sendiri tetap berpegang pada langkah yang sudah digariskannya sejak semula, mengadakan persiapan untuk ‘umrah, yaitu suatu langkah perdamaian dan menghindari adanya pertempuran, kecuali jika pihak Quraisy menyerangnya atau mengkhianatinya, tak ada jalan lain iapun harus menghunus pedang.
Sebaliknya Quraisy, mereka masih maju-mundur. Terpikir oleh mereka mengutus beberapa orang terkemuka dari kalangan mereka. satu sisi untuk menjajagi kekuatannya dan sisi lain untuk merintangi jangan sampai Muhammad dan pasukannya masuk Mekah.
Peristiwa Bai’atur Ridhwan
Nabi pun segera memanggil Utsman bin ‘Affan dan diutusnya kepada Abu Sufyan bin Harb dan pemuka-pemuka Quraisy lainnya. Ketika memasuki Mekah, Utsman bertemu Aban bin Sa’id yang kemudian memberikan jiwar (perlindungan) selama ia bertugas membawa tugas itu sampai selesainya. Sekarang Utsman berangkat menemui pemimpin-pemimpin Quraisy itu dan menyampaikan pesannya. Tetapi kata mereka kepadanya: “Utsman, kalau engkau mau bertawaf di Ka’bah, berthawaflah.”
“Saya tidak akan melakukan ini sebelum Rasulullah bertawaf,” jawab Usman. “Kedatangan kami kemari hanya akan berziarah ke Rumah Suci, akan memuliakannya, kami ingin menunaikan kewajiban ibadah di tempat ini. Kami telah datang membawa hewan qurban, setelah disembelih kami pun akan kembali pulang dengan aman.”
Quraisy menjawab, bahwa mereka sudah bersumpah tahun ini Muhammad tidak boleh masuk Mekah dengan kekerasan. Pembicaraan antara ‘Utsman bin ‘affan sebagai utusan Rasulullah saw dengan orang-orang kafir Quraisy menjadi lama, dan lama pula Utsman menghilang dari Muslimin. Desas-desus segera timbul di kalangan mereka bahwa pihak Quraisy telah membunuhnya secara gelap dan dengan tipu-muslihat.
Pihak Muslimin di Hudaibiyah sudah gelisah sekali memikirkan keadaan Utsman. Terbayang oleh mereka kelicikan Quraisy serta tindakan mereka membunuh Usman dalam bulan suci. Semua agama orang Arab tidak membenarkan seorang musuh membunuh musuhnya yang lain di sekitar Ka’bah atau di sekitar Makkah yang suci.
Kemudian, Rasulullah memanggil sahabat-sahabatnya sambil beliau berdiri di bawah sebatang pohon dalam lembah itu. Mereka semua berbaiat (berjanji setia) kepada Rasulullah untuk tidak akan beranjak sampai mati sekalipun. Mereka semua berikrar kepada Rasulullah dengan iman yang teguh, dengan kemauan yang keras. Semangat mereka sudah berkobar-kobar hendak mengadakan pembalasan terhadap pengkhianatan dan pembunuhan itu. Mereka menyatakan ikrar kepada Rasulullah (yang kemudian dikenal dengan nama) Bai’at ar-Ridhwan.
Selesai Muslimin mengadakan ikrar itu Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam menepukkan sebelah tangannya pada yang sebelah lagi sebagai tanda ikrar buat Utsman seolah ia juga turut hadir dalam Bai’at ar-Ridhwan itu. Dengan ikrar ini pedang-pedang yang masih tersalut dalam sarungnya itu seolah sudah turut guncang. Tampaknya bagi Muslimin perang itu pasti pecah. Masing-masing mereka tinggal menunggu saat kemenangan atau gugur sebagai syahid dengan rela hati.
Sementara mereka dalam keadaan seperti itu tiba-tiba tersiar pula berita bahwa Utsman tidak terbunuh. Dan tidak lama kemudian disusul pula dengan kedatangan Utsman sendiri ke tengah-tengah mereka itu. Tetapi, sungguhpun begitu ikrar Ridhwan ini tetap berlaku, seperti halnya dengan Ikrar ‘Aqabah Kedua, sebagai tanda dalam sejarah umat Islam. Nabi sendiri senang sekali menyebutnya, sebab disini terlihat adanya pertalian yang erat sekali antara dia dengan sahabat-sahabatnya, juga memperlihatkan betapa besar keberanian mereka itu, bersedia terjun menghadapi maut, tanpa takut-takut lagi. Barangsiapa berani menghadapi maut, maut itu takut kepadanya. Dia malah akan hidup dan memperoleh kemenangan.
Perundingan antara kedua belah pihak dimulai lagi. Pihak Quraisy mengutus Suhail bin ‘Amr dengan pesan: “Datangilah Muhammad dan adakan persetujuan dengan dia. Dalam persetujuan itu untuk tahun ini ia harus pulang. Jangan sampai ada kalangan Arab mengatakan, bahwa dia telah berhasil memasuki tempat ini dengan kekerasan.”
Isi Perjanjian Hudaibiyah
Sesampainya Suhail ke tempat Rasulullah, perundingan perdamaian dan syarat-syaratnya secara panjang lebar segera dibicarakan. Pihak Muslimin di sekeliling Nabi juga turut mendengarkan pembicaraan itu. Perjanjian damai inilah yang dikenal dengan nama “Shulhu Hudaibiyah.” Perdamaian ini memberi banyak pelajaran kepada para aktivis dakwah di sepanjang masa.
Pada awal-awal isi perjanjian ini terlihat merugikan kaum muslimin. Perjanjian ini disetujui oleh Rasulullah yang menuai kritik dari para sahabat. Namun setelah mendapat penjelasan dari Rasulullah akhirnya para sahabat setuju dan mengetahui bahwasanya isi perjanjian ini sangat menguntungkan bagi kaum muslimin.
Isi dari Perjanjian Hudaibiyah tersebut adalah:
- Tidak saling menyerang antara kaum muslimin dengan penduduk Makkah selama sepuluh tahun.
- Kaum muslimin menunda untuk Umroh dan diperbolehkan memasuki kota Makkah pada tahun berikutnya dengan tidak membawa senjata kecuali pedang dalam sarungnya serta senjata pengembara.
- Siapa saja yang datang ke Madinah dari kota Makkah harus dikembalikan ke kota Makkah.
- Siapa saja dari penduduk Madinah yang datang ke Makkah, maka tidak boleh dikembalikan ke Madinah.
- Kesepakatan ini disetujui oleh kedua belah pihak dan tidak boleh ada pengkhianatan atau pelanggaran
Kesepakatan lain dari Perjanjian Hudaibiyah ini adalah siapa saja dari kabilah arab yang lain boleh masuk dalam perjanjian Quraisy atau Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Dan perjanjian ini hanya berlaku bagi laki-laki, sedangkan wanita tidak di ikut sertakan.
Tak heran bila perjanjian ini sangat mengecewakan sebagian kaum Muslimin. Bahkan Umar bin Khattab sempat memprotes isi perjanjian ini. Umar bin Khattab Radhiallahu Anhu pergi menemui Abu Bakr Radhiallahu Anhu dan berkata kepadanya: “Abu Bakr, bukankah beliau utusan Allah?”
Abu Bakr: “Ya, memang!”
Umar: “Bukankah kita ini Muslimin?”
Abu Bakr: “Ya, memang!”
Umar: “Kenapa kita mau direndahkan dalam soal agama kita?”
Abu Bakr: “Umar, duduklah di tempatmu. Aku bersaksi, bahwa dia utusan Allah.”
Setelah itu Umar menemui Rasulullah. Diulangnya pembicaraan itu kepada Rasulullah dengan perasaan geram dan kesal. Tetapi hal ini tidak mengubah kesabaran dan keteguhan hati Nabi. Paling banyak yang dikatakannya pada akhir pembicaraannya dengan Umar itu ialah: “Aku hamba Allah dan RasulNya. Aku takkan melanggar perintahNya, dan Dia tidak akan menelantarkanku”.
Kesabaran Rasulullah terlihat pula ketika terjadi penulisan isi persetujuan itu, yang membuat beberapa orang Muslimin jadi lebih kesal. Rasulullah saw memanggil Ali bin Abi Talib dan bersabda: “Tulislah: Bismillahir-Rahmanir-Rahim (Dengan nama Allah, Pengasih dan Penyayang).”
“Stop!” kata Suhail. “Nama Rahman dan Rahim ini tidak saya kenal. Tapi tulislah: Bismikallahuma (Atas namaMu ya Allah).”
Kata Rasulullah pula: “Tulislah: Atas namaMu ya Allah.” Lalu sambungnya lagi: “Tulislah: Inilah yang sudah disetujui oleh Muhammad Rasulullah dan Suhail bin ‘Amr.”
“Stop,” sela Suhail lagi. “Kalau saya sudah mengakui engkau Rasulullah, tentu saya tidak memerangimu. Tapi tulislah namamu dan nama bapakmu.”
Lalu kata Rasulullah pula: “Tulislah: Inilah yang sudah disetujui oleh Muhammad bin Abdillah dengan Suhail bin Amr. Kedua belah pihak tidak akan mengadakan gencatan senjata selama sepuluh tahun. Barangsiapa dari golongan Quraisy menyeberang kepada Muhammad tanpa seijin walinya, harus dikembalikan kepada mereka, dan barangsiapa dari pengikut Muhammad menyeberang kepada Quraisy, tidak akan dikembalikan. Barangsiapa dari masyarakat Arab yang senang mengadakan persekutuan dengan Muhammad diperbolehkan, dan barangsiapa yang senang mengadakan persekutuan dengan Quraisy juga diperbolehkan. Untuk tahun ini Muhammad dan sahabat-sahabatnya harus kembali meninggalkan Mekah, dengan ketentuan akan kembali pada tahun berikutnya; mereka dapat memasuki kota dan tinggal selama tiga hari di Mekah dan senjata yang dapat mereka bawa hanya pedang tersarung dan tidak dibenarkan membawa senjata lain”. Perjanjian pun ditandatangani.
الشَّهْرُ الْحَرَامُ بِالشَّهْرِ الْحَرَامِ وَالْحُرُمَاتُ قِصَاصٌ فَمَنِ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُواْ عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى عَلَيْكُمْ وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ (البقرة: 194)
“Bulan Haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut dihormati, berlaku hukum qishaash. oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa”. (Albaqarah: 194)
Terlaksananya ‘Umratul Qadha’ Pada Tahun Ke Tujuh Hijriyah
Akhirnya, setahun setelah perjanjian ditandatangani dan disepakati, Nabi dan para sahabat dapat memasuki kota Makkah untuk beribadah haji di Ka’bah. Kaum musyrik Quraisy membiarkan mereka tinggal di Makkah selama tiga hari. Kesempatan ini digunakan oleh Nabi untuk memanggil kaum muslim agar bersiap-siap untuk berangkat menunaikan umrah, yang disebut ‘Umrah al-Qadha’, pengganti umrah yang tidak terlaksana pada tahun sebelumnya karena dilarang kaum musyrik Quraisy.
لَقَدْ صَدَقَ اللَّهُ رَسُولَهُ الرُّؤْيَا بِالْحَقِّ لَتَدْخُلُنَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ إِن شَاء اللَّهُ آمِنِينَ مُحَلِّقِينَ رُؤُوسَكُمْ وَمُقَصِّرِينَ لَا تَخَافُونَ فَعَلِمَ مَا لَمْ تَعْلَمُوا فَجَعَلَ مِن دُونِ ذَلِكَ فَتْحاً قَرِيباً (الفتح: 27)
“Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya, tentang kebenaran mimpinya dengan Sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat”. (Al Fath: 27)
Kaum Muslimin menyambut panggilan itu. Ada di antara kaum Muhajirin yang sudah tujuh tahun meninggalkan Makkah, dan kaum Anshar yang memang sudah punya hubungan dagang dengan Makkah sudah rindu sekali hendak berziarah ke Ka’bah. Oleh karenanya anggota rombongan itu telah bertambah 2.000 orang dari 1.400 orang pada tahun yang lalu (tahun ke enam Hijiriyah).
Sesuai dengan isi perjanjian Hudaibiyah, tidak seorang pun dari mereka dibolehkan membawa senjata selain pedang tersarung. Namun Rasulullah masih selalu khawatir akan adanya pengkhianatan. Seratus orang pasukan berkuda di bawah komando Muhammad bin Maslamah disiapkan berangkat lebih dulu dengan ketentuan jangan melampaui Makkah. Dan bila sampai di Marr’uz Zahran supaya mereka menyusur ke sebuah wadi tidak jauh dari sana.
Sesuai dengan isi perjanjian Hudaibiyah, tidak seorang pun dari mereka dibolehkan membawa senjata selain pedang tersarung. Namun Rasulullah masih selalu khawatir akan adanya pengkhianatan. Seratus orang pasukan berkuda di bawah komando Muhammad bin Maslamah disiapkan berangkat lebih dulu dengan ketentuan jangan melampaui Makkah. Dan bila sampai di Marr’uz Zahran supaya mereka menyusur ke sebuah wadi tidak jauh dari sana.
Ternak kurban yang dibawa oleh kaum Muslimin digiring didepan mereka, terdiri dari 60 ekor unta, didahului oleh Muhammad diatas untanya sendiri al-Qashwa’. Kaum Muslimin berangkat dari Madinah dengan hati penuh damba hendak memasuki Ummul Qura (Makkah) dan berthawaf di Baitullah. Setiap Muhajirin menunggu ingin melihat daerah tempat ia dilahirkan, ingin melihat rumah tempat ia dibesarkan, teman-teman yang ditinggalkan. Mereka ingin menghirup udara harum tanah airnya yang suci itu, dengan penuh rasa hormat dan syahdu ingin menyentuh tanah kudus yang penuh berkah itu. Tanah yang telah melahirkan Rasul, dan tempat wahyu pertama kali diturunkan.
Orang-orang yang sudah pernah dirintangi hendak menunaikan kewajiban suci itu berangkat dengan penuh kegembiraan, akan memasuki Makkah dalam keadaan aman, dengan bercukur rambut tanpa merasa takut lagi.
Ketika Quraisy mengetahui kedatangan Rasulullah dan sahabat-sahabatnya, mereka segera keluar dari Makkah, sesuai dengan bunyi persetujuan Hudaibiyah. Mereka pergi ke bukit-bukit terdekat dan mereka memasang kemah di tempat tersebut. Ada pula yang berteduh di bawah-bawah pohon. Dari atas bukit Abu Qubais dan dari atas Hira, atau dari semua ketinggian yang dapat langsung tembus Makkah, orang-orang Quraiys hendak melihat kawan-kawannya yang dulu terusir.
Kaum Muslimin mendatangi Makkah dari arah utara. Abdullah bin Rawahah saat itu memegang tali kekang Al-Qashwa’ (unta yang ditunggangi Rasulullah), sedang para sahabat terkemuka lainnya berada di sekeliling Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam.
Barisan yang berjalan di belakang mereka itu terdiri dari orang-orang yang berjalan kaki dan yang duduk di atas unta. Begitu Rumah Suci (Ka’bah) terlihat di hadapan mereka, serentak kaum Muslimin menggemakan kalimat talbiyah, “Labbaika, Allahumma labbaika!” Dengan hati dan jiwa tertuju semata-mata kepada Allah Yang Maha Agung.
Berthawaf di Ka’bah
Pada pemandangan yang unik itulah mata penduduk Mekah tertaut. Sementara suara yang keluar dari kalbu menggema: Labbaika, labbaika! tetap menembus telinga dan menggetarkan jantung mereka.
Sesampainya Rasulullah di masjid, beliau menyelubungkan dan menyandangkan kain jubahnya di badan dengan membiarkan lengan kanan terbuka sambil mengucapkan: “Allahuma irham imra’an arahum al-yauma min nafsihi quwatan.” (“Ya Allah, berikanlah rahmat kepada orang, yang hari ini telah memperlihatkan kemampuan dirinya”)
Kemudian beliau menyentuh sudut hajar aswad (batu hitam) dan berlari-lari kecil, yang diikuti oleh sahabat-sahabat, juga dengan berlari-lari. Setelah menyentuh ar-rukn’l-yamani (sudut selatan) ia berjalan biasa sampai menyentuh hajar aswad, lalu berlari-lari lagi berkeliling sampai tiga kali dan selebihnya dengan berjalan biasa. Setiap beliau berlari, kedua ribu kaum Muslimin itu juga ikut berlari-lari, dan setiap beliau berjalan mereka pun ikut pula berjalan. Dalam pada itu pihak Quraisy menyaksikan semua itu dari atas bukit Abu Qubais. Pemandangan ini sangat mempesonakan mereka. Tadinya orang bicara tentang Muhammad dan sahabat-sahabatnya itu, bahwa mereka sedang berada dalam kesulitan, dalam keadaan susah payah. Tetapi apa yang mereka lihat sekarang ternyata menghapus segala anggapan tentang kelemahan Muhammad dan sahabat-sahabatnya itu.
Selesai berthawaf mengelilingi Ka’bah, Rasulullah memimpin mereka berpindah ke bukit Shafa dan Marwa yang dilalui dari atas kendaraannya sebanyak tujuh kali, seperti halnya orang Arab dahulu. Kemudian mereka menyembelih ternak kurban dan bercukur. Dengan demikian selesailah ibadah umrah tersebut.
Keesokan harinya (hari ke-2), Rasulullah memasuki Ka’bah dan tinggal disana sampai waktu shalat dluhur. Pada waktu itu berhala-berhala masih banyak memenuhi Ka’bah. Tetapi meskipun begitu, Bilal naik juga ke atap Ka’bah lalu menyerukan adzan untuk menunaikan shalat dluhur di tempat tersebut. Kemudian Nabi shalat dengan bertindak sebagai imam, atas duaribu kaum Muslimin di Rumah Suci itu. Selama tujuh tahun sebelumnya mereka terlarang melakukan shalat menurut pimpinan Islam di tempat itu.
Tiga Hari Di Makkah
Kaum Muslimin tinggal selama 3 hari di Makkah seperti sudah ditentukan dalam Perjanjian Hudaibiya, sesudah kota itu dikosongkan dari penduduk. Selama tinggal di situ kaum Muslimin tidak mengalami sesuatu gangguan. Kalangan Muhajirin menggunakan kesempatan tersebut untuk menengok rumah-rumah mereka dan mengajak pula sahabat-sahabatnya dari pihak Anshar turut menengoknya. Seolah mereka semua adalah penduduk kota yang aman itu. Mereka semua bertindak menurut tuntunan Islam, setiap hari menjalankan kewajiban kepada Rabb mereka dengan melakukan shalat dan samasekali menghilangkan sikap tinggi diri, yang kuat membimbing yang lemah, yang kaya membantu yang miskin. Nabi sendiri di tengah-tengah mereka sebagai seorang ayah yang penuh cinta dan dicintai. Yang seorang di ajaknya tertawa, yang lain di ajaknya bergurau. Tetapi semua yang dikatakannya selalu yang sebenarnya.
Perkawinan Nabi dengan Maimunah
Ummul Fadhl isteri Abbas bin Abdul Muththalib paman Nabi, telah mewakili Maimunah saudaranya ketika perkawinannya dilangsungkan. Maimunah ketika itu berusia duapuluh enam tahun, dan ia adalah bibi Khalid bin Walid dari pihak ibu. Ummul Fadhl meminta Abbas suaminya bertindak mewakili Maimunah dalam mengawinkan saudaranya itu. Maimunah sendiri setelah melihat keadaan umat Islam dalam ‘umratul-qadha’ hatinya tertarik sekali kepada Islam. Kemudian datang Abbas yang meminang keponakannya itu agar ia sudi mengawini Maimunah. Tawaran ini diterima oleh Muhammad dan beliau memberi mas kawin sebesar 400 dirham.
Waktu 3 hari yang sudah ditentukan menurut Perjanjian Hudaibiyah telah berakhir. Akan tetapi dengan perkawinannya dengan Maimunah itu Nabi ingin memperpanjang waktunya supaya mendapatkan jalan lebih baik dalam mengadakan saling pengertian dengan pihak Quraisy.
Akan tetapi pada waktu itu juga dari pihak Quraisy Suhail bin ‘Amr dan Huwaitib bin ‘Abd’l ‘Uzza datang kepada Rasulullah dengan mengatakan: “Waktumu sudah habis; silahkan keluar.”
“Apa salahnya kalau kamu membiarkan aku selama melangsungkan perkawinan berada di tengah-tengah kamu? Kami akan membuat jamuan dan kalian ikut hadir,” demikian jawaban Rasulullah kepada mereka, dengan kesadaran betapa dalamnya ‘umratul-qadha’ itu meninggalkan kesan dalam hati penduduk Makkah, betapa benar hal itu mempesonakan mereka, membuat sikap permusuhan mereka jadi reda. Ia mengetahui, bahwa kalau mereka mau memenuhi undangannya untuk perjamuan itu dan dapat saling mengadakan dialog, maka dengan mudah pintu Makkah akan terbuka di hadapannya. Dan ini pulalah yang dikuatirkan oleh Suhail dan Huwaitib, dan karena itu mereka berkata lagi: “Kami tidak memer]ukan jamuanmu. Keluar sajalah”.
Dengan tidak ragu-ragu Rasulullah mengalah kepada permintaan mereka sesuai dengan perjanjian yang harus dilaksanakan. Kepada segenap Muslirnin diumumkan siap-siap meninggalkan tempat. Sesudah itu beliau pun berangkat dengan diikuti kaum Muslimin. Ketika itu yang tinggal ialah Abu Rafi’, bekas budaknya yang kemudian menyusul membawa Maimunah ke tempat yang bernama Sarif dan pernikahan dilangsungkan di sana. Dan Maimunah sebagai Ummul-Mu’minin adalah isteri Nabi yang terakhir yang masih hidup 50 kemudian sesudah Nabi wafat. Ia minta dikuburkan di tempat Rasulullah melangsungkan perkawinannya. Salma, janda pamannya Hamzah dan saudara perempuan Maimunah serta ‘Ammara (puteri Hamzah) yang masih perawan belum kawin, telah menjadi tanggungan Rasulullah pula.
Muslimin Kembali Ke Madinah
Kaum Muslimin sudah sampai dan sudah menetap lagi di Madinah. Dalam pada itu Rasulullah pun yakin bahwa ‘umratul-qadha’ itu telah meninggalkan pengaruh yang cukup besar dalam hati Quraisy dan seluruh penduduk Makkah. Juga beliau yakin bahwa sebagai akibat semua itu akan timbul pula peristiwa-peristiwa penting yang berjalan dengan cepat.
Islamnya Khalid Bin Walid
Sejarah telah membenarkan keyakinannya. Begitu beliau kembali ke Madinah, Khalid bin Walid, Jenderal Kaveleri kebanggaan Quraisy dan pahlawan perang Uhud itu telah berdiri di tengah-tengah sidang masyarakatnya sendiri sambil berkata:
“Sekarang nyata sudah bagi setiap orang yang berpikiran sehat, bahwa Muhammad bukan tukang sihir, juga bukan seorang penyair. Apa yang dikatakannya adalah firman Allah Rabb semesta alam. Setiap orang yang punya hati nurani berkewajiban menjadi pengikutnya.”
‘Ikrimah bin Abi Jahl merasa ngeri sekali mendengar kata-katanya itu. “Khalid,” kata ‘Ikrimah kemudian, “engkau telah bertukar agama”. Selanjutnya terjadi percakapan antara mereka sebagai berikut:
Khalid : Aku tidak bertukar agama, tetapi aku mengikuti agama Islam.
‘Ikrimah: Tak ada orang akan berkata begitu di kalangan Quraisy selain engkau.
Khalid : Mengapa?
‘Ikrimah: Ya, sebab Muhammad sudah menjatuhkan derajat ayahmu ketika ia dilukai. Pamanmu dan sepupumu sudah dibunuhnya di Badr. Demi Allah, aku tidak akan masuk Islam dan tidak akan mengeluarkan kata-kata seperti kau itu, Khalid. Engkau tidak melihat Quraisy yang sudah berusaha hendak membunuhnya?
Khalid : Itu hanya semangat dan fanatisme jahiliyah. Tetapi sekarang, setelah kebenaran itu bagiku sudah jelas, demi Allah aku mengikut agama Islam.
Setelah itu Khalid lalu mengutus pasukan berkudanya kepada Nabi menyatakan dirinya masuk Islam dan mengakuinya. Berita masuk Islamnya Khalid kemudian sampai juga kepada Abu Sufyan. Khalid pun dipanggil.
“Benarkah apa yang kudengar tentang engkau?” tanya Abu Sufyan. Setelah dijawab oleh Khalid, bahwa memang benar, Abu Sufyan marah-marah seraya berkata:
“Demi Latta dan ‘Uzza. Kalau aku sudah mengetahui apa yang kau katakan benar, niscaya engkaulah yang akan kuhadapi, sebelum aku menghadapi Muhammad”.
“Dan memang itulah yang benar, apa pun yang akan terjadi”
Terbawa oleh kemarahannya ketika itu juga Abu Sufyan maju hendak menyerangnya. Tetapi ‘Ikrimah yang pada waktu itu turut hadir segera bertindak mengalanginya seraya berkata: “Abu Sufyan, sabarlah. Seperti engkau, aku juga kuatir kelak akan mengatakan sesuatu seperti kata-kata Khalid itu dan ikut ke dalam agamanya. Kamu akan membunuh Khalid karena pandangannya itu, padahal seluruh Quraisy sependapat dengan dia. Sungguh aku kuatir, jangan-jangan sebelum bertemu tahun depan seluruh penduduk Mekah sudah menjadi pengikutnya”.
Islamnya ‘Amr bin Ash dan ‘Utsman bin Thalhah
Sekarang Khalid sudah pergi meninggalkan Makkah ke Madinah. Ia menggabungkan diri ke dalam barisan Muslimin.
Sesudah Khalid, ikut pula ‘Amr bin ‘Ash dan ‘Utsman bin Thalhah penjaga Ka’bah, masuk Islam. Dengan masuknya mereka ke dalam agama Islam, maka banyak pula penduduk Makkah yang turut menjadi pengikut agama ini. Dengan demikian kedudukan Islam makin menjadi kuat, dan terbukanya pintu Makkah buat Rasulullah sudah tidak diragukan lagi.
Hikmah Dari ‘Umratul Qadha’
- Semakin memberikan keyakinan bahwa janji Allah pasti benar. Hal ini ditunjukkan dalam surah Al Fath ayat 27.
- Totalitas ajaran dan moralitas islam yang ditampilkan oleh Rasulullah dan para sahabat dalam Umrah Qadha’ ini memberikan pengaruh yang sangat positif bagi perkembangan islam selanjutnya. Hal ini terbukti dengan masuknya beberapa pemimpin kafir Quraisy ke dalam islam.
Hal ini juga menunjukkan bahwa hidayah Allah Ta’ala itu akan sampai kepada diri manusia melalui banyak cara, tidak monoton dengan satu cara. Sebagaimana masuk islamnya Umar bin Khattab Radhiallahu Anhu karena mendengarkan bacaan alquran. Atau islamnya Hamzah bin Abdul Muththallib karena pembelaan dan perlindungan beliau kepada Rasulullah, keponakannya sendiri.
Perang Mu’tah
Perang ini berlangsung pada bulan Jumadil Awal tahun 8 Hijriyah. Mu’tah adalah sebuah desa dekat Syam yang sekarang bernama Kurk, terletak di sebelah Tenggara Laut Mati.
Mulanya Rasulullah mengutus Harits bin Umair Al-Azli, untuk menyampaikan surat kepada Gubenur Bashra, Hanits bin Abi Syamr Al-Ghassani yang diangkat oleh kaisar Romawi. Surat Nabi itu, sebagaimana surat-surat beliau lainnya, berisi ajakan masuk Islam. Sewaktu Harits bin Umair sampai di Mu’tah, ia ditangkap oleh seorang tokoh pemerintah yang pro Romawi. Penguasa itu kemudian bertanya apakah dia (Harits) diutus oleh Muhammad dan kemana tujuannya? Walaupun sudah dijelaskan oleh Harits, namun penguasa itu tetap memutuskan untuk menangkapnya. Begitulah Harits bin Umair ditangkap dan terus dibunuh.
Sungguh keterlaluan perbuatan mereka itu. Dan baru kali ini seorang utusan Nabi mengalami nasib yang begitu mengenaskan, sehingga Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam memutuskan untuk menggempur mereka. Pasukan yang berjumlah 3.000 orang telah siap dengan komando tertinggi dipercayakan kepada Zaid bin Haritsah. Bila gugur, maka Zaid digantikan oleh Ja’far bin Abi Thalib. Dan jika Ja’far gugur digantikan oleh Abdullah bin Rawahah.
Kepada komandan dan wakil-wakil komandan itu Rasulullah menginstruksikan agar terlebih dahulu meminta pertanggungjawaban pemimpin Mu’tah yang telah membunuh Harits bin Umair, untuk kemudian menyerunya memeluk agama Islam. Jika mereka enggan, perangilah dia demi agama Allah. Kemudian Nabi saw. mewasiatkan agar tentara Islam tidak melakukan kejahatan, tidak merampas atau mencuri harta rakyat, tidak membunuh anak-anak, kaum wanita, dan orang-orang yang sudah tua, tidak merusak bangunan-bangunan masyarakat, tidak merusak tanam-tanaman, dan tidak membunuh orang yang tidak melawan.
Setelah dilepas oleh Rasulullah, berangkatlah pasukan besar itu menuju Desa Ma’an. Di sana mereka mendapat kabar, angkatan bersenjata Heraklius (Kaisar Romawi) sudah siap menyambut mereka dengan jumlah yang begitu besar, terdiri dari angkatan bersenjata Romawi dan orang-orang Arab Nasrani. Dikabarkan pula, pasukan musuh itu telah sampai di Desa Balqa’ di Damaskus.
Setelah bermusyawarah, diperoleh kesepakatan pasukan Islam itu perlu meminta bantuan kepada Rasulullah atau instruksi-instruksi lain yang lebih mungkin dilaksanakan. Tetapi Abdulllah bin Rawahah berpendirian lain. “Demi Allah, kalian tidak berani perang, padahal kalian ingin syahid. Kita berperang bukan mengandalkan banyaknya jumlah dan hebatnya kekuatan. Sebaliknya kita ini berperang karena agama Allah yang telah menempatkan pada martabat mulia. Kini kita tidak punya pilihan selain menang atau mati syahid,” katanya memberikan semangat.
Peperangan dimulai. Zaid bin Hanitsah gugur. Kemudian bendera dipegang oleh Ja’far bin Abi Thalib yang tidak dapat turun dan kudanya. Tangan kanan dan kirinya putus terkena pedang musuh dan bendera terpaksa dipeluknya, hingga beliau meninggal pula akibat luka-luka yang tidak kurang dari 70 lubang.
Bendera seterusnya dipegang oleh Abdullah bin Rawahah. Tetapi kemudian beliau pun terbunuh juga. Karena ketiga orang komandan telah tewas, maka pimpinan dipercayakan kepada Khalid bin Walid yang baru pertama kali berperang di bawah bendera Islam. Diaturnyalah siasat sedemikian rupa hingga berhasil melepaskan pasukan Islam dari bahaya maut untuk seterusnya kembali bersama pasukan ke Madinah.
Perang Mu’tah ini merupakan perang pertama kaum Muslimin di luar semenanjung jazirah Arab. Sekalipun Nabi tidak turut serta, namun perang ini diklasifikasikan sebagai ghazwah, mengingat jumlah tentara Islam yang dikerahkan mencapai 3.000 orang.
Selain itu, Khalid bin Walid yang telah memimpim pasukan Islam dalam perang ini dengan demikian kehebatannya, diberi gelar oleh Rasulullah dengan sebutan Saifullah, “Si Pedang Allah”.
Wallahu Ta’ala A’lam
Copyright 2023, All Rights Reserved
Leave Your Comments